Aruna terjebak ONS dengan seorang CEO bernama Julian. mereka tidak saling mengenal, tapi memiliki rasa nyaman yang tidak bisa di jelaskan. setelah lima tahun mereka secara tidak sengaja dipertemukan kembali oleh takdir. ternyata wanita itu sudah memiliki anak. Namun pria itu justru penasaran dan mengira anak tersebut adalah anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fatzra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
"Kau sudah gila!" bentak pria itu setelah bibirnya di gigit oleh Aruna, lalu mengusap darah segar yang tiba-tiba mengalir di sana.
"Saya mohon jangan lakukan ini lagi!" pekik Aruna, air matanya Meluncur begitu saja.
Pria itu menatap Aruna dengan tajam. "Lagi? Apa maksudmu, apakah sebelumnya aku pernah menciummu?" tanyanya curiga.
Kejadian lima tahun yang lalu, di anggap kesialan oleh Aruna. Sejujurnya ia sangat benci mengingat-ingat itu. Namun, ia tidak menyangka kalau pria itu akan mencarinya sampai sejauh ini. Ia hanya terpaku tidak mampu menjelaskan apa-apa.
tangan dan kaki Aruna terasa sakit. Tiba-tiba pria itu berjongkok di belakangnya melepas semua ikatannya. Wanita itu justru bingung kenapa ia di lepaskan.
Kaki Aruna terasa kram, ia mencoba berdiri. Namun, kehilangan keseimbangan dan dengan sigap pria itu menangkapnya. Mereka saling menatap sejenak, lalu Julian mendudukkan kembali wanita itu.
"Kau, jangan coba-coba kabur dariku!" pria itu berdesis di telinga Aruna.
Aruna mengembuskan napas panjang, lalu menatap nanar pria itu. "Apa yang Anda inginkan dari saya, Tuan? Kenapa terus mengusikku?" tanyanya dengan air mata yang tertahan di pelupuk mata.
Mata Julian menyipit, lalu menarik tubuh Aruna ke dalam pelukannya. "Aku hanya menginginkan jawabanmu dari semua pertanyaanku. Tapi kau terus menghindar," ucapnya mendadak lembut, tangannya menyelipkan rambut wanita itu ke belakang telinga.
Aruna mengerutkan kening merasa bingung, "Apa?"
Julian semakin mengeratkan tangannya, sehingga tubuh mereka tanpa sekat. "Apa yang terjadi malam itu, lima tahun yang lalu?"
Tubuh Julian di dorong Aruna menjauh dari nya. "Tidak ada. Tidak terjadi apa-apa," ucapnya dengan nada sedikit bergetar.
Napas Julian berembus cepat dadanya bergerak naik turun. Ia terkekeh, lalu menarik tangan Aruna ke atas dihimpit ke tembok. "Aku tidak mengerti kenapa kau selalu membodohiku. Jelas-jelas aku terbangun dengan tubuh telanjang dan kau masih bilang tidak terjadi apa-apa, Hah!" suara kerasnya menggelegar menggema di ruangan itu.
Aruna memejamkan mata serta meringis ngeri saat Julian berbicara dengan keras, ia membuka matanya perlahan, lalu menatap pria itu. "kau sudah selesai marah-marah?" tanyanya dengan santai.
Dengan cepat pria itu melepaskan tangan Aruna, bergerak salah tingkah. Entah kenapa dia jadi malu sendiri sudah marah-marah seperti itu. "Jawab saja pertanyaanku," ucapnya seraya berkacak pinggang.
Aruna menunduk, melirik ke kanan kiri. Ia harus menyiapkan jawaban yang logis. Ia menaikkan satu alisnya, lalu menatap pria itu. "Bukannya, setelah melepas semua pakaianmu kau tertidur pulas? Saat itu aku langsung keluar dari hotel. Memang tidak terjadi apa-apa," ucapnya, ia berharap pria itu akan percaya.
Tangan Julian terulur ke tembok, ia teringat anak laki-laki yang bersama Aruna kemarin. "Lalu siapa anak laki-laki itu? Kenapa sangat mirip denganku?" tanya ya seraya menatap wajah wanita itu dengan lekat.
Aruna mengembuskan nafas, tangannya mengepal. Dengan berat hati ia mengatakan, "Dia, anakku."
"Dia juga anakku, jelas kita begitu mirip," ucapnya percaya diri.
Aruna terkekeh. "Dia bukan anakmu, aku sudah menikah," jelas Aruna. Ia terpaksa harus berbohong. Namun, di hati kecilnya ia merasa bersalah karena telah menyembunyikan identitas anaknya.
Mata Julian terbelalak ucapan wanita itu sangat mengejutkannya. Perlahan ia memundurkan langkahnya, lalu membalikkan badan. "Ayo pulang," ucapnya.
"Pulang," batin Aruna. Ia masih tidak percaya, habis di culik tapi di antar pulang oleh si penculik. Di sisi lain ia merasa lega julian percaya dengan kata-katanya. Ia mengekori pria itu keluar dari rumahnya.
Mereka masuk ke salah satu mobil mewah yang terparkir di garasi. Julian melajukan mobilnya perlahan, memasuki jalan utama. wanita di sebelahnya tampak sangat kelelahan.
"Kau tidak senang bertemu lagi denganku?" tanya pria itu dengan wajah datar.
Aruna terkekeh, bisa-bisanya pria itu menanyakan hal konyol. "Astaga, yang benar saja. Bahkan kau bukan orang yang menyenangkan," jawabnya.
Mendadak Julian menghentikan laju mobilnya , membuat Aruna nyaris terpental ke depan. Beruntung ia menggunakan sabuk pengaman, kalau tidak pasti kepalanya sudah benjol terbentur bagian depan mobil.
Pria itu tampak memikirkan sesuatu, menatap tajam ke arah Aruna. "Kau mau bermain-main sebentar?" tanyanya dengan senyum sumbang yang mencurigakan.
Seketika Aruna menoleh dengan cepat, apa maksud pria itu mengajaknya bermain? Ia menyipitkan mata penuh curiga. "Bermain-main, maksudnya?"
Tiba-tiba Julian menyalakan mesin mobilnya, lalu melaju dengan kecepatan tinggi. Aruna membelalakkan mata, berpegangan dengan erat, matanya terpejam. Apakah ini yang di sebut bermain-main?
"Kau mau mati? Berhenti sekarang juga!" teriak Aruna ketakutan.
Julian terbahak. "Ini hanya bermain," ucapnya semakin menekan gas mobilnya.
Aruna semakin pucat. Ia benar-benar takut akan mati, ia tidak rela jika harus meregang nyawa dengan pria itu. "Stop! Ini bukan permainan, melainkan tutorial menjemput ajal!" teriaknya histeris.
sekali lagi pria itu terbahak merasa puas melihat Aruna ketakutan seperti itu. "Di mana rumahmu?" tanya pria itu, seraya mengurangi kecepatan mobilnya.
"Jalan saja, sampai di pertigaan belok kanan," jawab Aruna dengan ekspresi datar.
Julian menganggukkan kepalanya, berasa jadi supir taxi. Tapi tidak apa-apa, dengan ia mengantar Aruna sampai rumahnya menjadi keuntungan besar baginya, ia bisa menyelidiki wanita itu lebih lanjut, karena ia tidak yakin ucapan wanita itu dapat di percaya atau tidak.
Beberapa menit kemudian mereka sampai di rumah Aruna. Pria itu memarkirkan mobilnya di pelataran rumah minimalis, dengan sentuhan modern itu.
Seorang anak laki-laki berlari membukakan pintu. "Mama!" teriaknya berlari memeluk ibunya.
"Raven, maaf Mama pulang terlambat," ucap Aruna, lalu menciumi pipi anak laki-laki dengan tubuh agak berisi itu.
Raven memanyunkan mulutnya menandakan ia sedang kesal. "Mama, kenapa pulang terlambat, Mama juga tidak bisa di hubungi, aku sangat kesal!" cicitnya terlihat menggemaskan.
Aruna memeluk Raven sejenak, lalu menatap lekat putranya itu. "Maafkan Mama, sayang. Pekerjaanku begitu banyak hari ini," ucapnya seraya membelai lembut pucuk kepala Raven.
Anak laki-laki itu berdecak kesal, lalu melipat tangan ke dada. "Seandainya Papa bekerja keras, pasti mama tidak akan seperti ini. Raven benci papa!" ucapnya kesal, air matanya luruh begitu saja.
Aruna tak kuasa menahan air matanya. "Raven, papamu tidak pernah salah. Maafkan Mama, ya. Semoga usaha mama lancar, jadi kita bisa bersama-sama," ucapnya seraya menghapus air matanya.
Sedari tadi Julian memperhatikan mereka, hatinya ikut bergetar, melihat anak laki-laki itu. Ia semakin yakin kalau itu adalah anaknya. Namun, Aruna bilang kalau sudah menikah, ia kembali ragu.
"Hai." Julian mencoba menyapa Raven.
Anak kecil itu menatapnya bingung. "Mama, paman tampan ini siapa?"
Aruna melirik pria itu. Namun, ia bingung bagaimana menjelaskannya kepada Raven, karena ia pun belum mengenal Julian. Kalau pun di bilang teman, rasanya ia tidak Sudi mengakuinya.
Pria itu mengulurkan tangannya. Seraya tersenyum. "Julian Rafael Maverick," ucapnya memperkenalkan diri.
Raven menyalami pria itu. "Wah, nama kita hampir mirip," ujar anak itu.
Aruna membelalakkan matanya, lalu membungkam mulut Raven dan bergegas mengajaknya masuk. Namun, baru akan melangkah seorang pria muncul dari balik pintu.
"Ada apa ini?" tanya pria itu.
Aruna terlihat semakin panik, lalu menggiring mereka semua masuk ke dalam rumah. Julian tersenyum sinis, entah rasanya tidak suka melihat pria itu.
"Jadi seleramu pria seperti itu?" ia membalikkan badan, lalu memutuskan untuk pulang ke rumahnya.
Terima kasih.