Mati sebelum kematian, itulah yang dirasakan oleh Jeno Urias, pria usia 43 tahun yang sudah lelah dengan hidupnya. keinginannya hanya satu, mati secara normal dan menyatu dengan semesta.
Namun, Sang Pencipta tidak menghendakinya, jiwa Jeno Urias ditarik, dipindahkan ke dunia lain, Dunia Atherion, dunia yang hanya mengenal kekuatan sihir dan pedang. Dunia kekacauan yang menjadi ladang arogansi para dewa.
Kehadiran Jeno Urias untuk meledakkan kepala para dewa cahaya dan kegelapan. Namun, apakah Jeno Urias sebagai manusia biasa mampu melakukannya? Menentang kekuasaan dan kekuatan para dewa adalah hal yang MUSTAHIL bagi manusia seperti Jeno.
Tapi, Sang Pencipta menghendaki Jeno sebagai sosok legenda di masa depan. Ia mendapatkan berkah sistem yang tidak dimiliki oleh siapa pun.
Perjalanan panjang Jeno pun dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ex_yu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20. Gudang pemotongan hewan.
Bab 20. Gudang pemotongan hewan.
Dalam keheningan kamar yang hanya diterangi cahaya lampu sihir, Jeno terduduk di hadapan hologram Angelina, kebingungan menyelimuti wajahnya saat melihat katalog item sistem yang terbentang di hadapannya. Setiap barang tampak menggoda, namun harganya mencekik, sangat mencekik leher seperti dicengkeram oleh rentenir.
"Angelina, aku bahkan tidak tahu harus memilih yang mana... itu harganya, terlalu mahal!" keluhnya, jari-jarinya menggulir daftar yang tampak tak berujung.
"Izinkan saya memberikan rekomendasi, Tuan Jeno," suara Angelina lembut namun tegas, ia tidak memberikan tanggapan soal harga. "Prioritas utama adalah pedang atau belati dari bahan Mithril, logam tempaan itu dapat memotong sihir sekalipun. Kemudian pakaian anti-sihir untuk perlindungan, sepatu yang meningkatkan kecepatan, sarung tangan yang memperkuat genggaman, dan... topeng."
Jeno mengerutkan alis. "Topeng? Untuk apa, harganya sangat mahal?
"Untuk menyembunyikan identitas Anda saat di luar Kota Velden. Nama Jeno Urias akan segera menyebar ke seluruh benua. Tanpa topeng, Anda akan menjadi target pemburu hadiah, bangsawan yang tersinggung, bahkan penyihir yang ingin menguji kekuatan Anda." Angelina berhenti sejenak, sekali lagi ia mengabaikan keluhan soal harga, matanya berkilat dengan peringatan. "Tentu saja, jika Anda tidak takut dengan masalah, maka tidak perlu membeli topeng."
Jeno terdiam, mempertimbangkan. Namun kemudian ia tersenyum, senyuman yang menunjukkan keputusan yang telah bulat. "Aku tidak akan bersembunyi. Jika mereka mencari masalah, mereka akan menemukannya."
Melihat harga setiap item yang rata-rata mencapai satu jutaan lebih koin sistem pengalaman, Jeno merasakan ngeri di perutnya. Koin yang sulit didapatkan itu seolah menghilang begitu saja. Namun Angelina menjelaskan dengan sabar, "Setiap item telah disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi Anda. Ini bukan sekadar perlengkapan, melainkan investasi untuk kelangsungan hidup."
Dengan berat hati, Jeno mengeluarkan tujuh juta koin sistem. Ia membeli pedang Mithril yang berkilau dengan cahaya keperakan, Jubah Anti-Sihir Lv.3 yang terasa seperti sutra namun keras seperti baja, Sepatu Swiftwind yang ringan namun kokoh, dan sarung tangan penyerap Mana yang pas di tangannya. Ia juga membeli Elixir Penyembuh x5 yang berkilau merah jambu, Potion Anti-racun x3 berwarna hijau emerald, dan berbagai persediaan lain. Bahkan Tenda Portable Berlabel 'Void Shelter', yang merupakan tenda berkualitas tinggi untuk bermalam di hutan.
"Kekayaanku yang habis dalam sekejap mata," keluhnya, namun ada kepuasan tersembunyi dalam hatinya. Ia merasa lebih siap menghadapi dunia yang keras ini.
Setelah semua selesai, kelelahan menerpa tubuhnya. Jeno membaringkan diri di ranjang, dan dalam hitungan menit, ia tertidur pulas seperti mayat.
------
Di tengah malam, ketika dunia terlelap dalam keheningan, pintu kamar Jeno terbuka perlahan. Amelia Silverleaf melangkah masuk dengan hati-hati, langkahnya hampir tak bersuara. Ia melihat Jeno tertidur pulas, wajahnya begitu damai seperti bayi, sangat kontras dengan kekuatan mengerikan yang ia miliki.
Dengan tangan bergetar, ia menempatkan sepucuk surat di samping bantalnya. Matanya tak dapat lepas dari wajah Jeno yang terlihat begitu muda, polos, dan seperti tak bersalah dalam tidurnya.
"Maafkan aku," bisiknya, suaranya nyaris pecah. "Aku... aku telah melakukan tindakan bodoh. Menuduhmu tanpa bukti. Menyakiti hati seseorang yang... yang tidak bersalah." Air mata mengalir di pipinya. "Aku terlalu arogansi, terlalu cepat menghakimi. Maafkan penyihir bodoh ini."
Setelah berdiri beberapa menit dalam keheningan, Amelia akhirnya keluar dari kamar menuju lantai tiga ke kamarnya sendiri dengan perasaan hati yang berat.
Tidak lama setelah kepergian Amelia, bayangan gelap bergerak di luar jendela. Viconia masuk dengan gerakan yang halus seperti kucing, tidak menimbulkan suara sedikitpun. Ia melihat Jeno tertidur pulas, dan senyum misterius mengembang di bibirnya.
Tanpa ragu, ia melepaskan pakaiannya satu per satu, menyisakan pakaian dalam saja. Tubuhnya yang sempurna berkilau dalam cahaya bulan. Ia merebahkan diri di samping Jeno, memeluknya dengan lembut namun posesif.
"Aku akan selalu melindungimu," bisiknya di telinga Jeno, suaranya penuh dengan obsesi yang gelap. "Sampai kau mau bergabung dengan Faksi Kegelapan. Sampai kau menjadi milikku sepenuhnya."
------
Keesokan harinya.
Jeno bangun karena merasakan tubuh berat, dan terkejut melihat Viconia tertidur di sampingnya, tubuhnya yang nyaris telanjang terlihat sempurna dalam cahaya pagi. Sebagai pria normal, melihat kecantikan yang memukau itu membuat hasrat di pagi hari muncul seperti api yang berkobar.
Namun, logikanya langsung mengambil alih kekuasaan. Ia menahan napas, mencoba menenangkan diri. "Aku bukan anak kecil," batinnya dengan tegas. "Jiwaku sudah terlalu tua, terlalu berpengalaman untuk mudah terpengaruh. Ini jelas bukan kebetulan."
Ia beranjak dari tempat tidur dengan hati-hati, tidak ingin membangunkan Viconia. Matanya menangkap kilatan surat yang tidak ia ingat ada di sana tadi malam. Namun sebelum ia dapat mengambilnya, Viconia sudah bangun dan dengan cepat menyembunyikan surat itu.
Jeno tak ambil pusing dengan surat itu, ia melangkah masuk ke kamar mandi, membiarkan air dingin menenangkan pikiran dan tubuhnya. Ketika ia keluar dengan pakaian baru, jubah anti-sihir yang elegan dan sepatu Mithril yang berkilau, Viconia sudah rapi berpakaian, namun matanya melebar melihat penampilan Jeno yang baru.
"Luar biasa," katanya dengan suara yang hampir berbisik. "Kau... kau terlihat seperti pangeran muda yang akan menaklukkan dunia. Gagah, tampan, dan begitu... menawan."
Jeno hanya menanggapi dengan candaan, mencoba mengabaikan tatapan intens Viconia. "Semua pria tampan dan gagah di pagi hari, terutama adik kecilnya yang tersembunyi."
Viconia tertawa dan buru-buru menggunakan sihir untuk berpakaian.
Jeno keluar dari kamar, tidak mengetahui bahwa surat dari Amelia telah dibaca oleh Viconia. Viconia buru-buru mengikutinya, langkahnya cepat namun anggun.
Dan kebetulan, Amelia Silverleaf sedang naik ke lantai dua untuk menemui Jeno. Melihat Jeno keluar dari kamar bersama Viconia yang masih terlihat sedikit berantakan, membuat amarahnya meledak.
"Apa yang telah kalian lakukan?!" teriaknya, mata hijaunya berkilat dengan kemarahan dan kecemburuan.
Sebelum kedua wanita itu mulai ribut, Jeno mengangkat tangan dengan gerakan yang tenang namun tegas. "Aku tidak suka di pagi hari ada yang ribut-ribut," katanya dengan suara yang dingin. "Jika kalian ingin bertengkar, cari tempat lain."
Kedua wanita itu terdiam, terkejut dengan nada otoritas yang keluar dari mulut Jeno.
------
Jeno turun ke lantai bawah untuk menemui Calista. Mengetahui tujuan Jeno, Calista mengajaknya ke gudang pemotongan hewan di belakang gedung serikat. Amelia dan Viconia mengikuti, bahkan mereka tidak sungkan-sungkan memeluk lengan Jeno dari kiri dan kanan.
Calista merasakan duri cemburu menusuk hatinya. "Sungguh beruntung," gumamnya pelan, "menjadi rebutan dua Penyihir Agung yang sangat terkenal."
Saat berada di gudang pemotongan, aroma darah dan daging segar menyeruak ke hidung mereka. Jeno menjual semua hasil buruannya. Victor, seorang pemotong daging yang bertubuh besar dengan tangan yang terlatih, terkejut melihat banyaknya hasil buruan Jeno. Calista, Amelia, dan Viconia juga terpukau.
"Astaga!" seru Victor dengan mata berbinar. "Ini... ini hasil buruan seorang petualang peringkat A! Apakah Anda juga menjual daging, kulit binatang, cakar, taring, dan tanduk?"
"Semuanya dijual," jawab Jeno singkat.
Victor kembali bersemangat, "Setiap monster dan binatang memiliki Batu Sihir, inti dari kekuatan mereka. Apakah itu juga dijual?"
Melihat Jeno bingung, Amelia menjelaskan dengan suara yang lembut, "Batu Sihir digunakan untuk menempa senjata, memperkuat sihir, dan meningkatkan kualitas senjata. Sangat berharga untuk seorang petualang dan penyihir." Ia menyarankan dengan tulus, "Sebaiknya kau menyimpan Batu Sihir untuk kebutuhanmu sendiri di masa depan."
Jeno mengangguk, mulai memahami nilai yang sesungguhnya dari kekayaan yang ia miliki. Di dunia ini, kekuatan tidak hanya datang dari skill, tetapi juga dari alat dan senjata yang tepat.
Namun di balik semua keramahan itu, ia tidak tahu bahwa dua wanita yang berebut perhatiannya masing-masing menyimpan agenda tersembunyi: satu mencari penebusan, yang lain mencari dominasi. Dan di antara keduanya, Jeno harus memilih jalan yang akan menentukan nasib tidak hanya dirinya, tetapi juga keseimbangan antara terang dan gelap di dunia ini yang mulai rusak.
Situ Sehat ??!