NovelToon NovelToon
JURUS-JURUS TERLARANG

JURUS-JURUS TERLARANG

Status: sedang berlangsung
Genre:Penyelamat
Popularitas:5.3k
Nilai: 5
Nama Author: Eka Magisna

Dimana masih ada konsep pemenang, maka orang yang dikalahkan tetap ada.

SAKA AKSARA -- dalam mengemban 'Jurus-Jurus Terlarang', penumpas bathil dan kesombongan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

AKSARA 13

Faaz Wardani sedang ditangani dokter saat Aryani diminta Saka untuk pulang saja ikut Pak Danu Saptaーpemilik Avanza yang membawa Faaz ke rumah sakit, sesuai tawaran pria paruh baya itu juga.

Di rumah ada istri dan anak-anak Pak Danu, mereka dekat dengan Aryani yang sudah jelas dipercaya Saka menitipkan ibunya malam ini tanpa harus lelah kembali ke Jakarta dengan motornya.

Aryani butuh istirahat, Saka cemas ibunya terbawa sakit. Dan wanita itu akhirnya mengiyakan permintaan Saka. “Mama di rumah Bu Danu, ya, Sak. Kamu jaga diri,” pesan Aryani dengan keletihan di wajah yang mulai pucat.

Saka mengangguki ibunya. “Iya, Ma.”

“Kamu hati-hati, Sak. Titip Faaz, ya." Pak Danu menambah pesan. “Besok beberapa warga pasti akan menjenguk. Kamu bisa giliran jaga sama mereka.”

“Iya, Pak. Makasih pertolongannya.”

“Sudah kewajiban kita sebagai sesama, terlebih Faaz orang baik yang banyak membantu warga.” Pak Danu tersenyum.

Kemudian pria itu bersama Aryani berlalu meninggalkan Saka seorang diri di luar ruangan tindak yang di dalamnya sedang menangani Faaz Wardani.

Sekitar setengah jam Saka mengarungi kecemasan seorang diri, berdiam dalam posisi merebah di atas kursi tunggu stainless berjumlah empat dudukan di depan ruangan. Tidak ada kegiatan bermain ponsel lebih dari membalas pesan singkat Aryani yang memintanya jangan terlalu cemas.

Tak lama pintu tersibak, dokter keluar dengan stetoskop yang masih mengalungi leher.

Melihat itu, Saka langsung berdiri dan gegas bertanya, “Gimana Bang Faaz, Dok?!”

Dokter itu seorang pria tua sudah beruban. Setelah membetulkan kacamatanya yang sedikit merosot, dia menjelaskan, “Beliau dalam kondisi koma karena terlambat penanganan. Hasil lab-nya akan keluar sekitar jam enam pagi. Kamu yang sabar, ya, Dek.” Dipulas senyum kebapakan, pundak Saka ditepuknya memberi dorongan kecil.

Dia pasti mengira Saka adiknya Faaz. Faktanya garis wajah mereka hampir sama meskipun tidak sedarah.

Entahlah, rancangan Tuhan kadang sulit dinalar.

Tidak mendapat jawaban jelas, Saka hanya mengangguk lemah. “Baik, Dok,” katanya pasrah, lalu bertanya ragu, “Kalo gitu, boleh gak saya masuk liat Bang Faaz di dalem, Dok?”

“Silakan. Tapi usahakan tidak mengganggu dengan suara ponsel dan lainnya.”

“Iya, baik, Dok.”

Setelah mendapat izin, Saka masuk ke dalam ruangan dan dokter berlalu pergi.

Langkah Saka terseret pelan mendekati ranjang yang di mana Faaz tergolek.

Pria itu masih belum sadarkan diri, wajah pucatnya nampak nahas dengan tabung oksigen menutup mulut, jarum infusan dan selangnya melintang di antara punggung telapak tangan, situasi yang melukis ketidakberdayaan.

“Abang yang sekuat itu kenapa tiba-tiba begini?” Saka mendesah. Dia yang sudah menduduki sebuah kursi di samping ranjang besi bercat putih itu diam menatap dengan ekspresi sedih. Pikirannya sesak dengan segala kemungkinan yang mendadak tersusun buruk membentuk kecemasan yang mendominasi secara absolut.

Tidak ada kata hingga waktu yang lama, pada akhir Saka mengalah pada rasa kantuknya.

Hingga tak terasa suara kumandang azan dari masjid di seberang rumah sakit membangunkannya yang terlelap dalam posisi kepala tersuruk di kasur yang direbahi Faaz, langsung menegak. Remang pandangan dikuceknya dengan sebelah tangan.

“Udah subuh aja,” katanya dengan suara serak. “Gua ketiduran.”

Diliriknya Faaz yang masih setia dengan pejamnya, lalu mendesah. “Saka ke masjid dulu, Bang. Saka mau sholat sekalian berdoa buat kesembuhan Abang. Saka mau merajuk sama Allah biar Abang cepet sehat kembali. Ingat, Bang ... Abang punya banyak utang jurus sama Saka. Jadi Abang gak boleh kenapa-napa.”

Seorang perawat muncul tanpa disadari Saka, tersenyum mendengar kalimat yang diujarkan anak muda itu seorang diri. “Amin, semoga Tuhan mendengar semua harapan dan do'a-do'a kamu, ya, Dek.”

Saka tersentak dan menoleh. “Eh, iya, Sus. Makasih,” katanya cengar-cengir malu.

“Ya sudah, kalau mau keluar silakan. Saya mau cek pasien dulu," kata perawat itu ramah, sembari mengangkat berkas pemeriksaan dan pulpennya ke depan dada.

“Oke, Sus. Titip abang saya, ya.”

“Iya.”

Saka pergi keluar menunaikan niatnya sekalian beli sarapan setelah itu. Nasi uduk rendang telur, anak muda itu melahapnya di bangku gerai.

Lalu lalang orang mulai ramai di suasana yang masih remang, Saka hanya salah satu dari mereka.

Beruntung hari Sabtu, dia libur. Tidak terbeban dengan fokus belajar keterampilan praktis dan industri di sekolahnya. Ya, setidaknya sampai besok.

Jam enam lewat sedikit, Saka kembali ke ruang perawatan Faaz Wardani. Di sana langsung disambut oleh dokter tua yang semalam bicara dengannya.

"Hasil lab-nya sudah keluar, mari ikut saya ke ruangan."

Saka mengangguk dan mengikuti dokter itu ke ruangannya yang berada di koridor sebelah kanan.

Time skip~

Beberapa saat kemudian, Saka sudah keluar dan mengantongi informasi dan penjelasan tentang sakit yang diderita Faaz.

Dari sikap yang ditunjukkan, sudah jelas anak itu tidak sedang baik-baik saja. Langkahnya terseret lambat ke arah ruang perawatan Faaz.

"Kanker lambung stadium 3,” Saka mengulangi penjelasan dokter dengan suara parau. Matanya mulai memanas. "Udah separah itu, kenapa Bang Faaz gak pernah bilang sama gua?"

Masuk ke ruangan, dia mendapati Faaz sudah dalam kondisi sadar.

"Sak!” Faaz tersenyum melihat anak itu, suara yang keluar setengah serak.

"Walopun muka Abang pucet, Abang tetep aja ganteng," katanya bercanda, tapi tak hilang raut sedihnya.

"Bisa aja kamu," tanggap Faaz. "Makasih ya, udah datang jauh-jauh dari Jakarta trus bawa Abang ke rumah sakit." Dia tahu itu dari perawat.

"Sama-sama, Bang." Kursi semalam kembali diduduki Saka. "Abis Abang ngeselin sih, malem nelepon tapi malah bikin kalang kabut. Jadi Saka langsung melejit ke rumah Abang deh."

Faaz terkekeh lemah. "Emang sakti sih kamu,” katanya. “Maafin Abang udah repotin kamu, ya.”

“Santai, Bang. Saka juga udah banyak nyusahin Abang. Anggep aja cicilan.” Saka tidak mau membahas penyakitnya dulu. Nanti akan merusak suasana.

“Ide bagus.”

Obrolan mereka ringan dan penuh canda. Faaz juga tidak terlihat ada niat memberitahu secara langsung sekarang tentang penyakitnya. Faaz pasti punya alasan, semisal tak ingin membuat cemas dan membebankan siapa pun, pikir positif Saka.

Ketika pembicaraan sampai pada tahap membahas jurus-jurus yang dia ajarkan, wajah Faaz berganti serius. "Umm ... Sak. Gini .... Kamu pasti udah tahu soal penyakit Abang dari dokter, 'kan?”

Saka diam sebentar, lalu memberi satu kali anggukan tipis. “Iya, Bang.”

Faaz tersenyum, senyum yang selalu seteduh itu.

“Maaf kalo itu mengejutkan kamu,” katanya. “Abang yakin kamu paham akan kemana Abang pada akhirnya.”

“Bukan cuma Abang, Saka juga pasti akan pulang kok.” Bola mata Saka mulai memanas.

Faaz mengangguki, tak lepas bersama senyum.

“Kamu bener," ujarnya. “Tapi sepertinya Allah menempatkan Abang di antrean awal dibanding kamu.”

“Umur gak ada yang tahu, Bang!” hardik Saka dengan pemikiran paling mendasar. “Siapa tahu Saka duluan!”

Sempat-sempatnya Faaz terkekeh. “Gak akanlah, Sak! Kamu kuat begini.”

“Jangan sok tahu, Bang!” Saka menyemprot kesal. Hidungnya mulai ingusan, dia menghisapnya akibat dorongan rasa di dalam hati dan air mata yang menitik tak tahu malu.

Faaz benar-benar ingin terus mengolok, tapi tak bisa. “Jangan nangis, mati itu warisan yang gak bisa ditolak siapa pun.”

Saka terdiam.

Faaz mulai menata diri dengan menarik napas lalu mengembuskannya sedikit kasar.

“Oke," katanya setelah itu. Wajahnya yang sok tegar itu kembali ke mode serius. “Kaitan sama ... kenapa Abang telepon kamu dan bukannya orang yang deket dulu, ada sesuatu penting yang mau Abang sampaikan ke kamu, Sak. Abang takut gak sempat. Tapi malah beneran gak sempet, keburu ambruk.” Lalu terkekeh lagi.

Saka tidak merasa lucu.

“Soal buku yang pernah Abang ceritain sama kamu.”

“Ya.” Saka mendengarkan serius kali ini.

“Abang pikir ... mumpung masih sempat dan Abang masih kuat bicara kayak gini, udah saatnya buku itu berpindah tangan dari Abang ... ke tangan kamu, Saka.”

1
Machan
warisan🥺🤧
Machan
sini peluk dulu, Saka.
Machan
sedih lah mesti🥲
Machan
si mama milu
Machan
ajudan t a i pedut
Machan
aing tertawa paling kenceng


huahahahaha
Batsa Pamungkas Surya
bikin melo si saja yak
Be___Mei
susuk nggak tuh kwkwkwkw
Be___Mei
kwkwkwkwkwk selamat bergabung dalam hiruk pikuk dunia cinta yang membagongkan, Sak 🤣🤣 Liona, Gendhis, semoga nggak ada cewek lain yang pengen ketemu kamu langsung kek Liona sekarang yaaa 🤭🤭
Be___Mei
Pasti canggung banget ketawanya saka 🤣🤣
Be___Mei
Bau bau persaingan dua wanita mulai kecium. Semoga jalan cintamu nggak kayak trek ninja Hatori
Be___Mei
Lailahailallah, jadi serius mau langsung cap neng Gendhis pacar kamu, Sak? Sat set banget 🤣🤣
Be___Mei
Sak, woi!! Ini bagian dari rencana ape gimana nih? PD banget ente 🤣🤣
Be___Mei
Bisnis Garam cina? 😶
Be___Mei
Tarung dulu deh baru komentar. Ini contoh manusia liat produk dari bungkusnya doang
Batsa Pamungkas Surya
ini mantap banget
Wan Trado
bingung kan sak..?? gendhis atau liona yg menawarkan diri..??
sama-sama beresiko dan bermuara pada satu orang.. yordan..
Wan Trado
sak..?? sak semen kahh..?? 🤣
Batsa Pamungkas Surya
dan.... besok jawabnnya
Batsa Pamungkas Surya
ada misi apakah si Grayon kok menampakkan diri?
𝕸𝖆𝖌𝖎𝖘𝖓𝖆: Liat2 aja, Kak🤣
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!