Maya Amelia, seorang mahasiswi hukum Universitas Bangsa Mulya, tak pernah menyangka kalau takdir akan mempertemukannya dengan Adrian Martadinata pengacara muda,tampan,dan terkenal di kalangan sosialita.
Awalnya, Maya hanya mengagumi sosok Adrian dari jauh. Namun, karena sebuah urusan keluarga yang rumit, Adrian terpaksa menikahi Maya gadis magang yang bahkan belum lulus kuliah, dan tak punya apa-apa selain mimpinya.
Setelah Menikah Adrian Tak bisa melupakan Cinta Pertamanya Lily Berliana seorang Gundik kelas atas yang melayani Politisi, CEO, Pejabat, Dokter, Hingga Orang-orang yang punya Kekuasaan Dan Uang. Lily Mendekati Adrian selain karena posisi dirinya juga mau terpandang, bahkan setelah tahu Adrian sudah memiliki istri bernama Maya, Maya yang masih muda berusaha jadi istri yang baik tapi selalu di pandang sebelah mata oleh Adrian. Bahkan Adrian Tak segan melakukan KDRT, Tapi Ibunya Maya yang lama meninggalkannya kembali Greta MARCELONEZ asal Filipina untuk melindungi Putrinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Prolog
Seorang gadis berusia 19 tahun duduk termenung di sudut ruang tamu rumah kecil itu. Matanya menatap lekat-lekat sebuah foto lama.
Di dalam bingkai kayu yang sudah mulai kusam, tampak seorang wanita anggun bergaun merah muda, wajahnya cantik seperti perempuan Filipina.
Dalam foto itu, wanita tersebut menggendong seorang bayi merah, sementara di sampingnya berdiri seorang bocah perempuan berusia delapan tahun — itu Maya kecil.
Hening.
Maya menghela napas panjang. Ia tak pernah mengenal sosok perempuan itu secara nyata, hanya dari foto dan cerita yang berulang-ulang diceritakan ayahnya.
Tak lama kemudian, suara langkah kaki pelan terdengar. Ahmad, ayahnya, yang kini mulai menua, menghampiri Maya.
Lelaki itu menepuk pundak putrinya dengan lembut, senyum lelah terpahat di wajahnya.
“Ibu kamu akan pulang, Nak,” ucap Ahmad dengan suara pelan, seperti menenangkan diri sendiri.
Maya menoleh, menahan rasa jengkel yang menumpuk bertahun-tahun.
“Sampai kapan, Pak? Sampai aku lulus kuliah, atau sampai aku di akhirat nanti?” jawabnya ketus. Suaranya pelan, tapi penuh getir.
Ahmad terdiam. Nafasnya menghela panjang, berat, seperti tak tahu harus menjawab apa.
“Hush… jangan ngomong gitu, Maya. Dosa,” tegur Ahmad pelan.
Air mata Maya mengalir tanpa suara. Tangannya mengepal di atas lutut.
“Tapi gimana, Pak? Aku ini anak perempuan… aku juga butuh kasih sayang seorang ibu. Aku juga pengen ngerasain pulang ke rumah ada yang masakin, ada yang peluk, ada yang nasehatin kayak temen-temen aku. Tapi aku gak pernah dapet itu.”
Ahmad tak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menatap televisi yang baru saja dinyalakannya.
Di layar kaca, berita hukum sedang tayang. Tentang seorang wanita yang sedang memperjuangkan hak asuh anaknya, dibela oleh seorang pengacara muda yang terkenal karena keberaniannya melawan orang berkuasa. Namanya terpampang jelas: Adrian Martadinata.
Ahmad terkekeh kecil, seolah ingin mengalihkan suasana.
“Coba ya, seandainya kamu nikah sama dia. Hidup kamu aman, Maya.”
Maya mendengus sebal, meski dalam hatinya geli sendiri mendengar ide aneh Ayahnya.
“Apaan sih, Pak. Aku masih kuliah juga baru mau semester tiga. Udah mikirin nikah aja.”
Ahmad tersenyum tipis, menepuk kepala putrinya lembut.
“Namanya juga bapak- bapak. Bercanda, biar kamu gak sedih terus.”
Maya ikut tersenyum kecil, walau matanya masih basah.
Dalam hatinya, ia tahu... mungkin ibunya takkan pernah pulang. Tapi hidup harus tetap berjalan.
*
*
*
*
DI TEMPAT LAIN
Sementara itu, di sudut lain Jakarta, Adrian Martadinata baru saja keluar dari gedung pengadilan setelah memenangkan persidangan besar.
Wajahnya tetap dingin seperti biasa, tetapi layar ponselnya yang tiba-tiba menyala membuat langkahnya terhenti. Nama di layar itu cukup familiar: Lily Berliana.
Adrian mengangkat panggilan itu, menempelkan ponsel ke telinga sambil berjalan santai ke arah mobilnya.
"Halo, sayang. Kamu di mana?" suara lembut Lily terdengar manja dari seberang sana.
"Baru selesai sidang." Adrian menjawab singkat, seperti biasa.
"Aku lagi di tempat biasa, sayang. Kesini, ya. Aku punya kejutan buat kamu."
Nada suara Lily terdengar antusias, seolah sudah menyiapkan sesuatu dengan hati-hati.
Adrian hanya mengangkat alis malas. Tapi karena sudah terbiasa dengan gaya pacarnya yang kekanak-kanakan, dia menyalakan mesin mobil sport mewahnya tanpa banyak protes.
Dalam hitungan menit, mobil keluaran terbaru itu melaju mulus menuju sebuah apartemen elit di pusat kota Jakarta. Gedung tinggi dengan lobi marmer dan penjaga berseragam rapi menyambutnya seperti biasa.
Sesampainya di depan pintu unit apartemen milik Lily, Adrian menekan bel.
Ding-dong.
Tak lama kemudian, pintu terbuka. Lily Berliana, wanita cantik dengan dandanan sempurna dan pakaian mewah, menyambutnya dengan senyum lebar. Di tangannya, ada sebuah kue kecil berbentuk... wajah Adrian sendiri.
"Selamat, honey! Karena kamu udah menangin kasus besar lagi hari ini!" ujar Lily riang sambil menunjukkan kue itu dengan bangga.
Adrian menatap kue aneh itu tanpa ekspresi. Bibirnya hanya bergerak tipis.
"Ini ide siapa?"
"Aku dong, siapa lagi? Lucu, kan?" Lily tertawa kecil.
Adrian hanya masuk tanpa bicara banyak. Di dalam, apartemen mewah itu sudah dipenuhi bunga, hadiah kecil, dan aroma parfum mahal yang menyengat.
Bagi Lily, ini kejutan romantis.
Bagi Adrian, ini cuma rutinitas basi yang ia jalani... sampai waktunya tiba, ia benar-benar harus memilih masa depan.
Adrian memasuki apartemen mewah itu tanpa banyak bicara. Ia langsung duduk di sofa, melepaskan jasnya, lalu mengendurkan dasi yang sejak tadi mencekik lehernya.
Lily mengikuti dari belakang dengan senyum genit. Ia meletakkan kue kecil di meja, memotongnya perlahan, lalu menyuapi Adrian dengan gaya manja khasnya.
Gaun ketat berwarna pastel membalut tubuhnya, rambut panjangnya di-blow rapi dengan ikal lembut di ujungnya, semakin menonjolkan kesan wanita sosialita yang penuh percaya diri.
Tanpa malu, Lily duduk di pangkuan Adrian, tangannya melingkar manja di leher pria itu.
"Cuma aku yang bisa rayain kemenangan kamu kayak gini, kan, sayang?" bisiknya genit.
Adrian menatap wajah cantik Lily, tersenyum tipis. Bagi orang lain, mungkin ini momen romantis. Bagi Adrian? Entah sejak kapan semua ini terasa hambar. Tapi karena ini sudah menjadi rutinitas mereka, ia membalas dengan cara yang biasa.
Tangan Adrian memegang dagu Lily, membawanya lebih dekat. Tanpa kata, bibirnya menempel rakus, menuntut lebih.
Ciuman yang awalnya lembut, berubah semakin dalam, semakin panas, sampai tangan Adrian memegang bokong Lily yang melekuk indah.
Namun tiba-tiba—
BRRR… BRRR…
Suara getaran ponsel memecah suasana. Adrian mengerling ke arah meja. Ponselnya menyala, nama yang tertera di sana cukup membuatnya tersadar seketika: Ibu.
Adrian mendesah pelan, melepaskan ciuman itu dengan malas.
"Untung ibu kamu nelpon. Coba kalau enggak, kita udah… you know," ucap Lily sambil terkikik, memainkan jemarinya di dada Adrian.
Adrian hanya diam, meraih ponselnya. Tatapannya sempat kosong sejenak.
Entah kenapa, di balik segala dosa yang sering mereka ulang, telepon dari sang ibu malam ini seperti teguran kecil yang menampar kesadarannya.
Tuhan memang punya banyak cara untuk menegur manusia. Kadang lewat hal sederhana, seperti dering telepon di tengah ciuman yang hampir kehilangan kendali.
Adrian menekan tombol hijau.
"Halo, Mah? Ada apa?" suaranya terdengar santai, tapi agak malas.
Dari seberang telepon, suara ibunya langsung terdengar tanpa basa-basi.
"Ibu mau ngomong sama kamu, cari perempuan baik-baik buat kamu nikahi. Jangan Lily. Ibu gak suka dia."
Adrian memejamkan mata sejenak, menahan napas. Dia sudah hafal arah pembicaraan ini.
"Mah, aku cinta sama Lily. Lagian… urusan pasangan masa mama ikut campur?" sahut Adrian datar.
Tapi ibunya langsung membalas dengan suara keras, penuh ancaman yang tak main-main.
"Kalau kamu masih kekeh sama Lily, Mama mendingan mati aja!"
Adrian terdiam. Suasana ruang tamu apartemen mewah itu mendadak hampa. Lily yang masih duduk di pangkuannya hanya menatap tanpa tahu isi percakapan.
"Mah... jangan ngomong yang enggak-enggak."
"Mama serius, Adrian. Denger ya… perempuan seperti Lily enggak akan pernah bawa kamu ke arah yang benar. Mama enggak minta banyak. Cari istri yang baik, bukan perempuan murahan."
Adrian mendesah panjang.
"Nanti kita bicarain lagi. Aku sibuk."
Telepon dimatikan. Lily menatap Adrian dengan wajah manja.
"Kenapa? Ibu kamu marah lagi, ya?" tanya Lily.
"Iya sayang," jawab Adrian sambil membelai rambut Lily dan wanita itu menyandar di dada bidang milih Adrian.
Adrian tak menjawab. Ia bersandar di sofa, menatap langit-langit apartemen yang begitu mewah… tapi rasanya hampa.
Pinginnya gak panjang-panjang awalan ceritanya...
malah kadang suka lebih seru kalau awalan nya langsung yg konflik atau sudah jadi nya aja 👍😁
Ditengah atau setelahnya baru dehh bisa di ceritakan lagi sedikit atau pelan-pelan proses dari awalan Konflik tsb 👍😁🙏
kalau di awalin sebuah perjalanan cerita tsb,kadang suka nimbulin boring dulu baca nya... kelamaan ke konflik cerita tsb nya 🙏🙏🙏