Cerita ini season dua dari Istri Kesayangan Bule Sultan. Bercerita tentang perseteruan antar ayah dan anak yang berlomba-lomba merebut perhatian Mommy nya.
"Hari ini Mommy akan tidak bersama ku."
"Tidak! Mommy milik adek!"
"Kalian berdua jangan bertengkar karena karena Mommy akan tidur dengan Daddy, bukan dengan kalian berdua."
"Daddy!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mawar Jk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 13
Tapi tap tap
"Mommy,"
Aidan dan Matthew berlari menghampiri Maizah yang sudah berada di dalam kamar bersama Arvid.
"Daddy!" Seru keduanya saat memasuki kamar mereka melihat Daddy nya mencium Mommy nya yang sedang duduk di tepi ranjang.
Tanpa ragu, Aidan memanjat kasur dan menubruk tubuh Arvid dari belakang.
"Daddy jangan cium Mommy!" katanya keras, wajahnya cemberut penuh protes. Tangan mungilnya menarik-narik rambut Arvid dengan niat memisahkan mereka.
"Eh, eh, aduh, sakit, sakit!" Arvid tergelak, berusaha melindungi kepalanya dari tangan Aidan yang tak kenal ampun.
Maizah tak bisa menahan tawa melihat kekacauan manis itu. Belum sempat ia merespons, Matthew sudah lebih dulu memeluknya erat dari samping.
"Mommy gak papa kan?" bisiknya penuh kekhawatiran.
"Gak papa, sayang," jawab Maizah lembut sambil mencium pipinya. Ia lalu duduk bersandar ke sandaran ranjang, membiarkan Matthew memeluknya seperti boneka kesayangan.
Sementara itu, Arvid masih menjadi korban ‘amukan cemburu’ Aidan.
"Sayang, Daddy gak nyakitin Mommy, kok," katanya sambil tertawa geli, meski rambutnya kini awut-awutan seperti habis disisir ayam.
"Tapi Daddy cium Mommy! Daddy curang!" Aidan mencibir, ekspresi wajahnya seperti singa kecil yang marah karena jatah perhatiannya direbut.
"Daddy sayang Mommy, makanya Daddy cium Mommy," jelas Arvid lembut.
"Tapi Aidan juga sayang Mommy!" katanya keras, lalu berpaling memeluk Maizah, mendorong Matthew sedikit ke samping agar bisa ikut bersandar di dada ibunya.
"Ya Allah, anak-anak Mommy nih lucu banget," ucap Maizah sambil tertawa kecil, memeluk keduanya di kanan dan kiri. "Nanti Mommy cium kalian juga, gimana?"
Aidan dan Matthew langsung tersenyum lebar. “Mau!”
Maizah pun mencium pipi kanan Aidan dan pipi kiri Matthew secara bergantian. Arvid hanya bisa memandangi mereka bertiga dengan senyum penuh cinta.
Arvid akhirnya ikut bersandar, meski kini duduk di ujung kasur karena Aidan menolak memberinya tempat di tengah.
“Daddy gak boleh duduk deket Mommy,” protes Aidan lagi, sambil menunjuk ke ujung ranjang.
“Lho kok gitu? Daddy juga pengen peluk Mommy, lho.”
“Enggak boleh! Ini waktunya Mommy sama Aidan dan Matthew aja. Daddy jangan deket-deket."
Maizah hanya menggeleng sambil tersenyum. Tapi Arvid belum menyerah.
“Mommy kan istri Daddy,” katanya dengan nada menggoda, lalu mulai merangkak mendekati Maizah. “Jadi gak papa dong cium-cium Mommy.”
“No, Daddy!” pekik Aidan keras, matanya mulai berkaca-kaca.
Arvid berhenti seketika, terkejut. Maizah refleks menarik tubuh Aidan ke pelukannya. Anak itu mulai menangis sesenggukan, merasa kesal dan tak ingin Mommy-nya ‘direbut’.
“Daddy~” tegur Maizah lembut namun tegas. “Aidan udah mau nangis, loh.”
Arvid buru-buru merangkak mundur dan duduk bersila di lantai. “Maaf, Daddy bercanda, jangan nangis dong, Aidan.”
Aidan menggeleng sambil memeluk Maizah lebih erat. “Daddy gak boleh rebut Mommy…”
“Daddy sih,” komentar Matthew santai sambil duduk di karpet. Ia sudah membuka ranselnya dan mengeluarkan mainan ayam.
Mainan ayam itu mulai berputar dan bersuara, membuat suasana sedikit mencair. Maizah tertawa, lalu mengelus kepala Aidan yang masih tersedu.
Tok tok tok.
Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamar.
“Zah, ada apa? Kok Aidan nangis?” suara Melati terdengar dari luar.
Maizah segera menjawab, "Gak papa kok ma, Daddy nya iseng tadi."
"Oh.... baiklah,"
Langkah kaki Melati menjauh dari pintu. Di dalam kamar, Aidan mulai mengusap matanya sendiri. Sesenggukannya berangsur mereda. Ia melirik Arvid dengan mata merah dan berkata dengan suara serak kecil, “Daddy... Aidan gak suka kalau Daddy ambil Mommy…”
Arvid yang tadinya duduk diam, segera menghampiri Aidan dan berlutut di sampingnya. Dengan lembut, ia menyentuh bahu putranya.
"Iya, maaf ya." Aidan mengangguk lalu kembali membuka Maizah.
Beberapa menit berlalu. Setelah suasana benar-benar damai, Arvid berdiri lalu mengambil remote AC dan menurunkan suhunya sedikit. Ia tahu anak-anak akan mengantuk setelah menangis dan bermain.
“Nah, siapa yang mau diceritain dongeng sebelum tidur?” tanya Arvid sambil menepuk-nepuk kasur.
“Aku!” seru Aidan dan Matthew bersamaan.
Maizah tersenyum dan ikut bersandar di atas bantal, menatap Arvid dengan tatapan menggoda. “Coba Daddy ceritain yang lucu ya. Jangan yang bikin takut.”
Arvid mengangguk percaya diri. “Baiklah. Cerita malam ini berjudul… Ayam Penari yang Ingin Jadi Astronot!”
Matthew langsung mengangkat ayam mainannya. “Itu pasti tentang ayamku!”
Arvid mulai mengarang dengan gaya dramatis. “Di sebuah desa yang sangat jauh, hiduplah seekor ayam bernama Kukuruyuk. Tapi Kukuruyuk ini beda dari ayam lain. Ia punya mimpi besar: ia ingin terbang ke luar angkasa dan menari di bulan!”
Aidan tertawa. “Ayam gak bisa terbang, Daddy!”
“Justru itu serunya. Karena Kukuruyuk gak bisa terbang, dia mulai belajar naik roket dari buku ensiklopedia milik anak manusia bernama Aidan dan Matthew…”
Cerita itu berlangsung sekitar sepuluh menit, penuh petualangan dan tawa. Akhir cerita, ayam Kukuruyuk berhasil mencapai bulan, menari di atas kawah sambil memutar lagu dangdut favoritnya.
Aidan sudah mulai menguap, dan Matthew mulai menggeliat mencari posisi tidur yang nyaman. Maizah mengangkat selimut dan menutupi tubuh mereka berdua. “Sudah malam, kita tidur, ya.”
“Mommy temenin tidurnya…” bisik Aidan pelan.
“Pasti, sayang.”
Arvid berdiri untuk mematikan lampu, menyisakan lampu tidur kecil di sudut kamar. Ia lalu memandangi Maizah dan anak-anak mereka yang sudah mulai terlelap.
Perlahan, ia naik ke atas ranjang dan duduk di samping Maizah. Ia menyentuh punggung istrinya dengan lembut.
"Kita tidur di bawah ya," kat Arvid berbisik-bisik, takut membangunkan kedua putranya.
Kasur tidak muat untuk mereka berempat, hanya muat tiga orang. Mana busa Arvid tidur tanpa istri kesayangannya itu. Jadi, setelah kedua putranya benar-benar tidur nyenyak barulah Maizah pindah ke bawah. Mereka punya kasur lipat untuk berdua.
Biasanya mereka tidur dengan kekek dan Nenek nya, tapi kali ini mereka mau tidur dengan orang tuanya saja. Melati dan Akhdan menghormati keinginan kedua cucunya itu, mungkin besok dia bujuk untuk tidur dengan mereka saja.
Maizah menatap suaminya dengan mata yang hangat. “Aku ikut kamu ke bawah nanti, setelah mereka benar-benar tidur nyenyak.”
Arvid mengangguk, lalu bangkit perlahan dan merapikan kasur lipat yang biasa mereka siapkan di lantai. Kasur itu sederhana, tetapi cukup nyaman untuk mereka berdua. Bukannya masih sempit makin dekat mereka?
Beberapa saat kemudian kamar benar-benar sudah senyap, Maizah memeriksa satu kali lagi apakah anak-anaknya sudah benar-benar terlelap. Setelah memastikan napas mereka stabil dan wajahnya tenang, ia perlahan bangkit dari tempat tidur dan bergabung bersama Arvid di bawah.
Arvid sudah berbaring dengan tangan terbuka, siap memeluk istrinya. Maizah menyusup ke dalam selimut tipis, menyandarkan kepala di dadanya.
“Hangat juga di sini,” gumamnya sambil menyelipkan kaki ke arah kaki Arvid yang lebih besar dan hangat.
“Makanya, sini terus tidur sama aku,” sahut Arvid manja.
"Itu mah tiap haru kali by," Arvid tertawa renyah lalu mengecup puncak kepala Maizah berkali-kali.
"Have a good sleep,"
Tbc.
semangatttt