Ini cerita tentang gadis yang periang, cantik dan pintar. Nina namanya, sekarang berusia 17 tahun dan telah masuk Sekolah Menengah Atas, dia tinggal bersama 2 saudarinya dan kedua orangtuanya. Mereka tinggal di sebuah desa kecil dengan pemandangan alam yang indah. Tinggal di sana bagaikan tinggal di surga, penuh dengan kebahagiaan. Namun, ada satu masalahnya. Dia diam-diam suka sama seseorang,....Ayo tebak siapa yang dia sukai yah??...
lanjut baca part-nya !
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hijab Art, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 17
"Dret!, dret!",
Suara ponsel berbunyi. Tapi, sedikit berisik di tempat bengkel itu, hingga membuatku tak dapat mendengarnya.
" Nina!",
Panggil seseorang yang baru saja tiba dengan motornya.
Aku berbalik dan menemukan Roni yang masih memakai baju seragamnya.
"Motor kamu kenapa?",
Tanyanya dan menghampiriku.
" Nggk, cuman bocor kok. Sekarang sementara diperbaiki.",
Jawabku singkat.
"Ibumu telpon tadi, dia khawatir kamu kenapa-napa karena dari tadi teleponnya tidak kamu angkat.",
" Iya?, astaghfirullah!, aku nggk denger tadi.",
Ucapku seraya mengecek layar ponselku yang penuh dengan panggilan tak terjawab. Memang, dari tadi aku hanya menaruh ponselku di tas, hingga tak melihat atau mendengarnya berbunyi.
Aku menelpon balik mamski, jangan sampai dia khawatir.
"Halo, Assalamu'alaikum..mamski!",
" Waalaikumsalam...kamu di mana, Nina?. Dari tadi mama telpon kok nggk diangkat?, jadinya mama telpon Roni",
Jawab mamski dari seberang telpon.
"Iya, mamski. Roni kok yang kasih tau aku, dan maaf tadi nggk angkat telponnya, soalnya aku lagi ada di bengkel dan berisik.",
" Di bengekel?, lagi ngapain kamu di situ?, apa terjadi masalah dengan motormu?",
"Iya, mamski. Motorku, bannya bocor. Jadi, aku bawa ke bengkel. Untung ajah tadi ada temen yang bantu dorong",
"Owh, siapapun yang bantu kamu, sampaikan salam mama padanya, dan Terima kasih karena telah membantumu",
" Baik, mamski!",
"Kalau begitu, mama tutup dulu telponnya yah!, dan pulang cepat!",
" Siap, mamski!",
"Tut!"
Panggilan terputus.
Aku menaruh kembali ponselku ke dalam tas.
"Sudah dek!"
Tukang bengkel selesai memperbaiki motorku yang sudah jauh terlihat membaik.
"Berapa, bang?",
" 40 ribu",
"Ini!, Terima kasih yah bang!",
" Sama-sama, jangan lupa perkataanku tadi yah!",
Abang tukang bengkel itu kembali menggodaku, aku hanya tersenyum kecut dan mulai menyalakan motorku.
"Permisi, Bang!, kak!, Assalamu'alaikum!",
Ucapku pamit pada abang tukang bengkel dan juga istrinya itu.
"Waalaikumsalam, Hati-hati!"
Ucap mereka bersamaan.
Aku dan Roni pun mulai melaju di jalanan beraspal, saling menikmati menaiki motor masing-masing.
Karena musim panen telah tiba, jadi tidak heran, sepanjang perjalanan akan disuguhi banyak orang yang sedang panen padi. Itu adalah pemandangan yang menurutku menakjubkan dan indah. Terkadang, melihat mereka saling tertawa sambil makan, bercerita sambil menyabit padi, atau saling membantu dalam mengangkat satu karung padi. Itu adalah suasana damai yang bisa dijumpai di pedesaan.
Aku melirik kaca spion, melihat Roni tetap dibelakangku mengikutiku pulang. Aku penasaran, apakah Roni selalu akan menganggapku seperti adiknya?, atau temannya?, atau...
Mungkin, apakah ada ruang untukku di hatinya?,
Itu sebuah pertanyaan yang akan selalu merundungku. Tapi, persahabatan adalah lebih kuat bagiku dibandingkan cinta.
Dila dan Roni saling mencintai, dan itu membuatku semakin yakin untuk mengubur dalam-dalam perasaanku untuk Roni.
Aku tidak akan mempertaruhkan Dila, dan bahkan menyakitinya dengan memberitahunya isi hatiku mengenai Roni.
Cukup, aku dan Roni hanya berteman. Dan kami bertiga, bisa saling menyapa dan berbagi kisah.
Dengan siapapun kita kedepannya, itu adalah jodoh. Dan semuanya hanyalah Allah yang tahu. Tapi, aku mengingat kembali perkataan tukang bengkel dan istrinya, yang menyebutku dan Iyan bisa jadi akan berjodoh, walaupun selalu bertengkar dan pada akhirnya menjadi seperti kisah mereka yang saling mencintai.
Itu rasanya tidak akan mungkin terjadi.
"Ih!...", aku kembali bergidik ngeri membayangkan aku dan dia seperti itu nantinya. Rasanya aneh!,
Tak lama kemudian, setelah mengoceh panjang dalam hati sepanjang perjalanan, akhirnya aku tanpa sadar sudah sampai di depan rumah. Begitulah, ketika diperjalanan pasti ada saja yang dipikirkan dan diocehkan dalam hati.
Aku melihat Roni yang sedang memarkirkan motornya di depan rumahnya. Aku baru ingat, aku belum berterimakasih padanya. 'Mungkin besok saja deh!', batinku. Dan kemudian melangkah masuk ke dalam rumah.
***
Di saat malam yang sunyi dalam kegelapan. Setelah sholat Isya, aku bergegas ke depan meja belajar ku.
"Porseni sebentar lagi, aku harus menghafal naskah ku, agar tidak mengecewakan teman-teman nantinya.",
Ucapku seraya mengambil teks naskah yang masih berada di dalam tasku. Membacanya dengan seksama dan perlahan menghafalnya dalam ingatanku.
" Dret!, dret!",
Ponselku berdering, segera aku mengambilnya diatas nakas.
"Siapa ini?",
Ucapku melihat seseorang menelpon dengan nomor yang tidak diketahui.
" Halo!",
Ucapku mengangkat telpon itu.
"Assalamu'alaikum!",
Suara laki-laki terdengar di sana.
" Hm?, siapa ini?", pelanku. Terdengar seperti seorang pemuda, tapi aku tidak pernah memberikan nomor telponku pada laki-laki, baik itu teman satu kelasku atau bukan. Bahkan, sekalipun pada Roni. Memang aku menyimpan nomornya, tapi pastinya dia tidak menyimpannya.
"Assalamu'alaikum!",
Ucapnya sekali lagi.
" Waalaikumsalam...ini syapa yah?",
Tanyaku.
.
.
.
Diam, tak ada jawaban dari seberang telepon.
'Ini siapa sih?',
"Aku cuman mau ingatkan, besok latihan lagi!",
Ucap pemuda itu dan segera mematikan teleponnya.
" Tut!",
"Eh?, siapa sih?",
" Apa jangan-jangan ketua kelas?",
Tanyaku pada diri sendiri. Itu cukup membangongkan, aku bahkan tak mengenali suara siapa itu. Yang pasti itu adalah satu kelasku. Kemungkinan besar sih si Aldy, ketua kelas.
Aku menaruh kembali ponselku diatas nakas, dan kembali fokus dengan kertas selembar yang penuh dengan dialog itu.
***
"Ededeh...!!!"
Ucapku dengan aksen Bugis dan muka serius, karena hari ini kami latihan drama lagi sebelum masuk porseni.
"Humph!",
Semuanya menahan tawa ketika kubaca dialog ku. Dari kemarin ajaah aku latihannya nggk selesai-selesai.
" Hahahaha...!",
Tawa mereka pecah, seisi ruangan menertawai ku.
"Jangan ketawa weh!",
Ucapku pada mereka.
" Hhhh....",
Iyan malah terlihat ingin ketawa juga, tapi dia mengalihkan mukanya karena tidak ingin dilihat ketawa.
"Iya, iya. Lanjutkan Nin!...hhh",
Ucap Aldy sang ketua kelas.
" Nin!, mukamu lucu sekali kuliat",
Dila malah jujur banget padaku.
" Ndk mau ka, kalau masih ada yang ketawa, jangan mi latihan deh!",
Ucapku merajuk.
"Weh!, jangan ada ketawa, hush!",
Ucap Aldy memerintah.
Semuanya sontak terdiam dan menungguku melanjutkan dialog ku.
" Yang lain mo dulu!, jangan mi saya deh!",
Aku duduk dan merajuk.
"Suruh Iyan lagi!",
Ucapku melirik Iyan yang masih menunjukkan wajah-wajah dinginnya, tapi aku yakin, tadi dia pasti mau ketawa juga, tapi karena dia so cool ajah.
Dia terlihat khawatir, dan Aldy yang berada didekatnya menyenggol nya untuk kedepan menunjukkan aktingnya.
" Hm..", kini giliranku yang menertawakanmu Iyan.
"Ayo e...kallolo!",
Ucap Aldy menyebut peran Iyan sebagai Kallolo. Kallolo berasal dari bahasa Bugis, yang artinya pemuda.
" Ekhem...aku..pengen ke Toilet dulu.",
Iyan beralasan
"Eh...., mau kemana?, latihan dulu!",
Aldy menghalanginya.
Dia terlihat ingin kabur disuruh akting didepan kelas. 'Hh..rasakan, ini pembalasan ku', ucapku seperti orang yang kejam.
Dia terlihat melihat kembali lembaran kertas ditangannya, dan mulai membacanya.
" Pertama melihat mu, aku mulai merasakan cinta. Saat menatap matamu, hatiku merasa sejuk dan terbuai. Duhai!...",
***next!