Kata orang, roda itu pasti berputar. Mereka yang dulunya di atas, bisa saja jatuh kebawah. Ataupun sebaliknya.
Akan tetapi, tidak dengan hidupku. Aku merasa kehilangan saat orang-orang disekitar ku memilih berpisah.
Mereka bercerai, dengan alasan aku sendiri tidak pernah tahu.
Dan sejak perceraian itu, aku kesepian. Bukan hanya kasih-sayang, aku juga kehilangan segala-galanya.
Yuk, ikuti dan dukung kisah Alif 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berkunjung Ke Makam
Jaka memilih pulang menggunakan sepeda motor milik Dika. Sedangkan istrinya, disuruh pulang dengan taksi online bersama Dika.
Begitu tiba rumah, hal pertama yang dilakukan Jaka ialah menampar Dika. Ratna yang kebetulan ada di ruang tamu terkejut bukan main. Bagaimana tidak, cucu pertamanya, disiksa di depan matanya.
"Apa yang kamu lakukan?" teriak Ratna mendekati Dika, yang memegangi pipinya.
Bahkan, sudut bibirnya terlihat mengeluarkan darah, serta pipinya terlihat merah.
"Tanyakan bu, tanyakan kenapa dia melempari wajah kami dengan kotoran?" balas Jaka, ia juga berteriak. "Dia mencuri bu, dia yang jadi pencuri sebenarnya. Bukan Alif, seperti dugaan kita. Dia yang jadi pencurinya disini Bu." teriak Jaka.
"Apa?" Ratna memegangi dadanya. Dia terkejut, shock dengan kata yang diucapkan oleh Jaka.
"Ya bu, dia mencuri ... Dan sekarang dia di skors." sambung Jaka, melempari tubuhnya kesofa.
Jaka menjambak rambutnya karena frustasi. Sedangkan istrinya hanya terisak pelan, akibat rasa malu yang ditanggungnya.
Bagaimana tidak, dosen yang memberikan kabar tadi merupakan salah satu musuh bebuyutannya semenjak SMA. Dan sekarang, dosen itu pasti sedang menertawakan kekalahannya.
...🍁🍁🍁...
Kehidupan Nanda dan Haris berubah dratis. Mereka kembali di tipu oleh mekelar tanah.
Toko mereka memang berhasil dijual, namu lagi-lagi mereka di tipu, uang hasil penjualan toko hanya masuk lima puluh juta ke rekeningnya.
Dan karena kesalahan itu, atas kecerobohan keduanya. Mereka hanya bisa menikmati kegagalan itu dalam diam.
Semula, seorang makelar datang mengatakan, jika ia berhasil menjual toko itu dengan harga yang disepakati oleh Nanda.
Namun, dengan syarat, jika pembeli ingin melihat surat asli terlebih dahulu.
Karena saat itu, anak mereka sedang di rawat di rumah sakit. Keduanya, memlih percaya pada makelar itu. Apalagi, sang makelar mengirimkan uang sejumlah lima puluh juta, ke rekening Nanda.
Dan sampai sekarang, makelar tak kunjung kembali. Dan ternyata, toko itu telah beralih tangan kepada orang lain.
Dan sayang, semua surat-suratnya lengkap. Lengkap dengan tanda tangan Nanda serta Haris yang telah di palsukan.
"Apa ini karma? Karma karena kita merebut rumah milik ibumu?" Nanda bertanya lirih.
Sekarang penampilannya jauh dari kata orang kaya. Lingkar hitam dibawah mata, menjelaskan betapa banyak beban pikiran yang ditanggung Nanda beberapa waktu lalu.
"Itu, gak ada hubungannya." sahut Haris menyandar di sandaran sofa.
Namun, sudut hatinya berkata lain. Dia mengiyakan apa yang dikatakan Nanda. Karena setelah menjual rumah itu, secara perlahan dia dan Nanda langsung mengalami kehancuran.
Mungkin, ini sebuah kutukan. Atau ketidak ridhaan seorang ibu pada anaknya.
Atau yang paling masuk akan, doa Alif, yang menginginkan orang yang menjual rumah neneknya hancur.
Mendapatkan praduga yang lebih masuk akal, Haris mengangguk-anggukan kepalanya.
"Sepertinya, aku tahu kenapa kita bisa jadi begini!" seru Haris.
Nanda yang sejak tadi menunduk, langsung tegap menatap Haris. "Apa?" tanya Nanda.
"Alif, dia puncak dari segala masalah yang kita hadapi. Kamu pasti pernah dengar, jika doa orang terzalimi akan terkabul kan? Dan aku menduga, jika ia mendoakan yang jelek-jelek untuk kita sekeluarga." papar Haris menjelaskan.
Nanda manggut-manggut, pertanda setuju atau lebih tepatnya masuk akal apa yang dikatakan oleh suaminya.
"Ternyata, dia selicik itu ya?" Nanda tak habis pikir, dia bahkan menggeleng-geleng kepalanya tak percaya. "Tak tahu balas budi." sambungnya.
Dan Haris hanya tersenyum sinis.
Ingin sekali Nanda, menghampiri Alif dan menabrak anak itu. Namun sayang, selain tak tahu dimana Alif tinggal, dia juga malu jika harus bertanya pada orang-orang kampung mekar sari. Karena Nanda sadar, jika apa yang dilakukannya dengan Haris ialah kesalahan. Kesalahan menjual rumah mendiang ibu mertuanya.
Hari-hari yang di lewati Alif terasa lebih indah, jika dibandingkan semasa ia tinggal sama ibu dan ayahnya. Walaupun tak seindah, semasa Neli masih ada, akan tetapi, setidaknya Alif masih bisa tertawa dan tersenyum bersama teman-temannya.
Hari ini, karena rindu Alif ingin berkunjung ke makam neneknya. Selain doa yang selalu di panjatkan, Alif juga rindu untuk sekedar membersihkan tempat peristirahatan terakhir neneknya.
Setelah membaca surah yasin, dan doa. Alif mulai membersihkan sekitar area makam Neli, tak lupa dia juga membersihkan daun-daun yang ada di atas makam.
"Maafkan aku, karena baru sempat kesini lagi." pinta Alif, mengelus batu nisan Neli.
"Nenek tahu? Semenjak kepergian nenek aku kehilangan arah hidup. Aku dilempar kesini kemari, dan satu-satunya tempat berteduh yang nenek tinggalkan, sudah di jual oleh ayah. Ah, bisakah, aku tidak memanggilnya dengan sebutan itu?" kekeh Alif dengan miris, bahkan sudut matanya mulai basah.
"Maaf nek, untuk kedepannya, aku akan melanggar perintahmu. Aku gak akan pernah bisa memaafkan kedua manusia itu. Selain telah membawaku ke dunia ini, mereka juga telah menorehkan banyak luka di hatiku. Mereka memang ayah dan ibuku, tapi mereka lupa, kalo aku seorang anak!" isak Alif.
Alif mulai mengatakan beberapa rencana yang disusun untuk kehidupannya. Tak lupa, dia membawa nama Aziz serta Zaki yang telah memberikan banyak bantuan padanya.
Setelah merasa puas berbicara mengutarakan isi hatinya pada makam Neli, Alif pun pamit pulang.
Alif tahu, jika Neli tidak meresponnya. Akan tetapi, dengan begitu, semua beban dalam hidupnya mulai luruh, karena bisa berbicara secara leluasa tanpa ada yang menyela.
"Alif ..." suara teriakan Nila terdengar nyaring, saat Alif melewati warung yang dulu, sering menjadi tempat belinya.
Alif menghentikan sepeda motornya. Ingin sekali ia abai. Namun, dia juga mau di cap sombong dan lupa kampung halaman oleh orang-orang sana.
"Bagaimana kabarmu Lif? Semakin ganteng aja kamu ya." ujar pemilik warung, kala Alif menyalami satu persatu orang disana.
"Udah lihat rumah mu belum Lip? Eh, bekas rumah mu." sambung Salmi, yang kebetulan ada disana, karena sang anak yang minta jajan.
Salmi memang sering memanggil Alif dengan singkatan Lip.
"Alhamdulillah, saya baik," sahut Alif, mencoba bersikap ramah. "Rumahnya semakin bagus, dan sekarang menjadi rumah paling besar dan mewah di kampung kita." sahut Alif.
"Terus, kamu masih tinggal di sekolah? Dapat uang dari mana? Dan makannya bagaimana?" beruntun Nila.
"Saya di gaji bu, dan untuk makan, aku masak sendiri. Dan yang pasti, aku masih tinggal disekolah." Alif memilih tidak bercerita, tentang dia yang juga berjualan di sekolah SMA.
"Memangnya, kamu betah?" sambung pemilik warung.
"Betah lah, bu ... Orang kita digaji." kekeh Alif.
Semua orang disana manggut-manggut.
"Tapi, kami dengar-dengar, sekarang ayahmu mulai bangkrut Lip. Warungnya udah tutup." Salmi menurunkan nada bicaranya.
"Dan yang aku dengarnya lagi, itu semua merupakan doa darimu." sambung Salmi.
"Kok bisa?" Alif mengernyit, "Ternyata, berkumpul terlalu lama, membuatku suka bergosip juga."
Salmi langsung merebut ponsel dari tangan anaknya, dam itu membuat tangis sang anak pecah, namun Salmi memilih abai, dan mencari sesuatu yang ingin di perlihatkan pada Alif.