Anatasya menyembunyikan identitasnya sebagai putri bungsu keluarga konglomerat dari suaminya. Ia membantu Adrian membuka perusahaan. Tapi siapa sangka ternyata Adrian tidak pernah mencintai Anatasya, dia bahkan jijik dengan bau amis yang melekat pada tubuh istrinya.
Suatu hari, Adrian menceraikan Anatasya dan mengungkapkan bahwa dia memiliki pacar, yaitu Clara, seorang wanita kaya dan cantik yang merupakan adik sepupu dari keluarga Santoso.
Anatasya merasa hancur dan terhina. Tasya akan membuat orang yang menyakiti nya membayar mahal dibantu oleh ketiga abangnya. Damian, Julian dan Rafael.
Ketiga Abangnya tidak akan membiarkan adik bungsu mereka terluka.
Bagaimana reaksi Adrian dan keluarga nya setelah mengetahui jika wanita yang selama ini mereka hina adalah putri konglomerat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Yuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 Winda Kecelakaan
Di sebuah kafe dengan interior modern dan pencahayaan temaram, Winda dan Anatasya duduk berhadapan. Aroma kopi yang menguar di udara tidak mampu mencairkan ketegangan yang terasa di antara keduanya. Anatasya memegang cangkir porselen putih dengan anggun, menyesap sedikit cairan hitam itu sambil menatap Winda dengan tatapan dingin dan penuh kewaspadaan.
"Katakan saja untuk apa kau mengajakku bertemu," ucap Anatasya, suaranya tenang namun menyimpan ketegasan yang sulit diabaikan. Ia tidak suka basa-basi, terutama dengan anggota keluarga Pratama.
Winda, yang duduk dengan posisi tegak dan sorot mata penuh keyakinan, menjawab dengan nada percaya diri yang hampir arogan, "Bukankah kamu suka kakakku? Aku bisa bantu kamu biar kamu jadi kakak iparku."
Mendengar tawaran yang menurutnya absurd itu, Anatasya mengernyitkan dahi. Sesaat kemudian, ia terkekeh pelan, sebuah tawa tanpa humor yang lebih terdengar seperti ejekan. "Winda, kamu yakin sekali aku masih mau jadi kakak iparmu?" tanyanya retoris, menyiratkan bahwa Winda benar-benar tidak memahami situasinya.
Winda bersidekap, menantang tatapan Anatasya. "Kenapa pura-pura? Aku yakin apa yang kamu lakukan selama ini cuma untuk menarik perhatian kakakku saja, kan?" tuduhnya, menyiratkan bahwa ia menganggap Anatasya sebagai wanita yang penuh intrik dan hanya memanfaatkan Rafael.
"Terus kamu mau aku melakukan apa?" tanya Anatasya, pura-pura tertarik dengan jalan pikiran Winda, padahal ia sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini.
"Aku mau kamu kasih Rafael padaku," ucap Winda tanpa ragu, tatapannya penuh ambisi dan keyakinan bahwa ia berhak atas Rafael.
Anatasya meletakkan cangkirnya dengan hati-hati di atas tatakan. "Kamu suka dia?" tanyanya, menyelidik lebih dalam motif Winda.
"Terus kenapa? Aku dengan Kak Rafael sangat cocok dari segi kemampuan, rupa, dan status sosial. Sementara kamu cuma orang miskin dan rendahan," ucap Winda, tanpa tedeng aling-aling menghina Anatasya. "Nggak pantas kamu dengannya," tambahnya lagi, meremehkan Anatasya secara terang-terangan.
Meskipun hatinya sedikit tersentil mendengar hinaan itu, Anatasya berusaha tetap tenang.
"Meski aku ini rendahan, kamu masih mau membantuku untuk kembali pada kakakmu?" tanyanya, mencoba menguji kejujuran dan motif tersembunyi Winda.
"Jangan bertele-tele, kamu setuju atau tidak dengan kesepakatan ini?" desak Winda, tidak sabar dengan permainan kata-kata Anatasya.
"Lakukan saja sendiri permainan membosankan ini," jawab Anatasya tegas, menunjukkan bahwa ia tidak tertarik dengan tawaran Winda yang merendahkan. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya dan meletakkannya di meja. "Kopi ini aku yang bayar, tidak perlu sungkan."
Kemudian, tanpa menunggu jawaban, Anatasya beranjak dari duduknya.
Winda tidak terima diremehkan dan ditinggalkan begitu saja. "TASYA!" teriaknya memanggil nama Anatasya dengan nada penuh amarah dan frustrasi.
Anatasya berhenti sejenak, berbalik menghadap Winda dengan tatapan merendahkan.
"Oh ya, aku tidak mau jadi kakak ipar untuk wanita bermulut kotor dan tidak beradab seperti kamu. Rafael tidak mungkin tertarik padamu," ucap Anatasya dengan senyum sinis yang menusuk.
"Sampai jumpa!" ucap Anatasya lagi sebelum benar-benar pergi meninggalkan Winda yang mengepalkan tangannya di atas meja, wajahnya memerah karena marah dan malu.
***
Di tepi jalan yang ramai, Anatasya berdiri anggun menunggu mobil yang akan menjemputnya.
Pikirannya masih berkecamuk setelah pertemuan singkat namun penuh ketegangan dengan Winda. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengusir sisa-sisa perkataan merendahkan Winda dari benaknya.
Tanpa disadarinya, Winda yang sedari tadi mengawasi dari kejauhan, dengan amarah yang masih membara, bergerak cepat ke arah Anatasya.
Dendam dan rasa malu karena ditolak membuat Winda gelap mata. Ia berniat mendorong Anatasya ke tengah jalan yang ramai, berharap kecelakaan akan "memberi pelajaran" pada wanita yang berani menolaknya dan menghina keluarganya.
Namun, sebelum tangan Winda menyentuh punggung Anatasya, sebuah tarikan kuat menarik Anatasya ke belakang.
Dalam sepersekian detik, tubuh Anatasya limbung dan jatuh ke dalam dekapan Damian yang tiba-tiba muncul bagai malaikat pelindung. Akibat tarikan Damian yang cepat dan kuat, Winda kehilangan keseimbangan dan justru terdorong ke tengah jalan, tepat saat sebuah mobil melaju kencang. Suara benturan keras dan pekikan mengerikan memecah kebisingan jalanan.
Anatasya terkejut bukan main. Ia merasakan tubuhnya gemetar dalam pelukan Damian. Matanya membelalak menyaksikan pemandangan mengerikan di hadapannya. Winda tergeletak di jalan, darah segar mengalir dari tubuhnya, membasahi aspal. Jika Damian tidak datang tepat waktu, mungkin dirinyalah yang berada di posisi Winda saat ini.
Damian sendiri merasakan jantungnya berdebar kencang. Setelah mengantar Anatasya ke kafe, ia merasa khawatir adiknya bertemu dengan Winda seorang diri. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Tanpa ragu, ia berbalik arah dan menyusul Anatasya. Keputusannya itu ternyata menyelamatkan nyawa sang adik. Ia memeluk Anatasya erat, merasakan tubuhnya yang bergetar hebat.
Meskipun Winda baru saja berusaha mencelakainya dan telah mengucapkan kata-kata yang menyakitkan, Anatasya tidak bisa mengabaikan pemandangan mengerikan di depannya. Rasa khawatir dan iba menyelimuti hatinya melihat Winda terbaring tak berdaya.
"Cepat panggil ambulans," ucap Anatasya dengan suara tercekat, air mata mulai menggenangi pelupuk matanya.
Damian segera mengeluarkan ponselnya dengan tangan gemetar. "Halo, terjadi kecelakaan di Jalan Harum Sari. Seorang wanita tertabrak mobil. Tolong cepat kirim ambulans," ucapnya panik sebelum menutup telepon.
Damian semakin mempererat pelukannya pada Anatasya, berusaha menenangkan adiknya yang terlihat sangat terguncang. "Jangan khawatir, tidak akan ada apa-apa," bisiknya lembut, meskipun ia sendiri merasa cemas dengan situasi yang terjadi.
Anatasya menggelengkan kepalanya, air mata kini menetes membasahi pipinya. "Kak Damian, tolong hubungi Kak Julian. Mungkin Kak Julian bisa menolong Winda," pintanya dengan nada memohon. Ia teringat bahwa Julian, dia adalah seorang dokter bedah yang handal. Dalam situasi darurat seperti ini, keahlian Julian bisa sangat berarti bagi keselamatan Winda.
***
Di lorong Rumah Sakit Internasional yang serba putih dan dingin, Anatasya dengan wajah tegang mendorong brankar yang membawa Winda. Selang infus terpasang di lengan Winda, dan wajahnya pucat pasi. Tim medis bergerak cepat di samping brankar, berusaha menstabilkan kondisi Winda yang kritis. Mereka segera tiba di depan pintu ruang operasi yang tertutup rapat. Seorang perawat mengangguk pada Anatasya sebelum brankar didorong masuk ke dalam.
Anatasya berdiri terpaku di depan pintu ruang operasi, hatinya diliputi kecemasan yang mendalam. Meskipun Winda telah mencoba mencelakainya, melihatnya terbaring tak berdaya dan berjuang untuk hidup menimbulkan rasa iba dan bersalah dalam dirinya. Ia segera meraih ponselnya dan menghubungi Julian.
"Kak Julian, kamu ada di mana?" tanya Anatasya dengan suara bergetar, berusaha menyembunyikan kepanikannya.
Terdengar helaan napas lembut dari seberang sana. "Jangan panik, Tasya. Aku akan tiba 10 menit lagi, sebentar lagi sampai." Suara Julian terdengar tenang dan meyakinkan, mencoba meredakan kecemasan Anatasya. Julian memang sedang mengambil cuti ketika Damian menghubunginya tentang kecelakaan itu. Tanpa berpikir panjang, ia segera bergegas menuju rumah sakit.
"Winda nggak akan mati, kan?" tanya Anatasya lagi, air mata kembali mengancam untuk tumpah. Ketakutan akan kehilangan nyawa seseorang, apalagi seseorang yang terlibat langsung dengannya, menghantuinya.
"Tenang, ada kakak. Semua tidak akan terjadi apa-apa," jawab Julian dengan nada penuh kepastian. Sebagai seorang dokter, ia tahu betul bahwa tidak ada jaminan dalam dunia medis, namun ia berusaha memberikan ketenangan pada Anatasya yang sedang dilanda kepanikan.
"Baguslah kalau begitu," jawab Anatasya lirih, mencoba mempercayai kata-kata Julian. Ia menggigit bibirnya, menahan isakan yang ingin keluar.
Damian baru saja beranjak pergi untuk mengurus berbagai keperluan administrasi terkait kecelakaan Winda, meninggalkan Anatasya seorang diri di ruang tunggu yang terasa semakin dingin dan mencekam.
Keheningan yang tadinya dipenuhi kecemasan kini terasa mengancam.
Tiba-tiba, suara teriakan histeris memecah keheningan. "DASAR PEMBAWA SIAL!" seru seseorang dari arah belakang Anatasya.
Anatasya menoleh dan mendapati Jamilah, ibu Winda, berdiri dengan tatapan penuh amarah dan air mata yang membasahi wajahnya. Tanpa memberi kesempatan Anatasya untuk bereaksi, Jamilah dengan kasar menampar pipi Anatasya. "Kembalikan nyawa putriku!" isaknya penuh keputusasaan dan kebencian.
Adrian, yang berdiri tak jauh dari ibunya, hanya memandang sinis Anatasya. Tidak ada sedikit pun rasa iba atau penyesalan di wajahnya. Ia justru terlihat menikmati penderitaan mantan istrinya akibat amukan sang ibu.
"Winda belum mati, tapi kamu sudah mengutuknya begitu. Itu tidak baik, kan?" balas Anatasya dengan suara tenang namun menyimpan ketegasan. Ia tidak gentar menghadapi kemarahan Jamilah dan tatapan sinis Adrian.
"Kamu berani menyerang Winda?" tanya Adrian dengan nada menuduh, berusaha membalikkan fakta dan melindungi adiknya.
"Aku tidak menyerang Winda. Kamu bisa lihat rekaman CCTV di jalan. Sementara kamu, Adrian, adikmu sedang kritis di dalam, tapi kamu malah mengajak ribut denganku," jawab Anatasya, menahan emosinya. Ia tidak habis pikir dengan sikap Adrian yang lebih mementingkan permusuhan dengannya daripada keselamatan adiknya sendiri.
Jamilah kembali mendorong Anatasya dengan kasar. "Wanita sialan, kenapa bukan kamu saja yang mati!" raungnya histeris, hatinya dipenuhi amarah dan kesedihan yang mendalam.
Tiba-tiba, pintu ruang operasi terbuka dan seorang perawat keluar dengan wajah khawatir. "Pasien kehilangan banyak darah, ia memerlukan darah Rh negatif segera!" serunya panik.
Mendengar permintaan mendesak itu, Adrian dengan cepat menarik tangan Anatasya. "Kalian bisa mengambil darah dari dia! Ambil sebanyak yang kalian perlu!" ucapnya dengan nada memerintah, menunjuk Anatasya dengan kasar.
Ia seolah melihat Anatasya hanya sebagai sumber daya untuk menyelamatkan adiknya, tanpa mempedulikan perasaannya atau kondisinya.
...----------------...