Shanaya Sanjaya percaya bahwa cinta adalah tentang kesetiaan dan pengorbanan. Ia rela menjadi istri rahasia, menelan hinaan, dan berdiri di balik layar demi Reno Alhadi, pria yang dicintainya sepenuh hati.
Tapi ketika janji-janji manis tersisa tujuh kartu dan pengkhianatan terus mengiris, Shanaya sadar, mencintai tak harus kehilangan harga diri. Ia memilih pergi.
Namun hidup justru mempertemukannya dengan Sadewa Mahardika, pria dingin dan penuh teka-teki yang kini menjadi atasannya.
Akankah luka lama membatasi langkahnya, atau justru membawanya pada cinta yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Pagi itu, Shanaya kembali ke rumah yang sejak dulu ia tinggali bersama Reno. Semalam ia menginap di apartemen Wina, dan kali ini ia datang bukan untuk rujuk—hanya untuk beres-beres barang.
Begitu membuka pintu, suasana rumah masih persis seperti saat ia pergi. Sepi. Shanaya langsung menebak, Reno pasti nggak pulang semalam.
"Pisah emang paling masuk akal, biar nggak saling nyiksa dan saling bunuh karakter," gumamnya pelan, matanya menatap foto besar pernikahan mereka yang masih terpajang di dinding.
Tiba-tiba terdengar langkah kaki dari arah tangga. Shanaya menoleh sekilas, lalu kembali menatap foto itu sambil mendengus. "Kirain dia nggak pulang."
"Sayang, kamu udah balik? Sekarang udah tenang?" suara Reno terdengar lembut dari belakang. Ia mendekat, mencoba memeluk Shanaya.
Tapi Shanaya langsung menghindar dan duduk di sofa.
"Sejak kapan aku nggak tenang? Aku ke sini cuma mau bilang, surat cerai kita lagi diproses."
"Shanaya! Kamu kenapa sih? Aku udah bilang, kita nggak akan cerai. Aku sayang kamu. Jangan terus ngomong soal perceraian kayak main-main," jawab Reno.
"Aku capek, Ren. Cinta doang nggak cukup kalau cuma jadi omongan. Kamu tahu aku ngerasa apa tujuh tahun ini?"
Reno diam. Tak menjawab.
"Yang ada cuma luka! Nggak ada bahagia. Terus buat apa aku bertahan?" imbuh Shanaya sambil mendaratkan pantatnya di sofa.
"Kamu bohong. Jangan-jangan kamu udah nemu cowok lain, ya?" Reno mendekat, nadanya berubah curiga. "Denger ya, Shanaya. Kamu milikku. Nggak akan bisa direbut siapa pun."
Reno coba duduk di sebelahnya, tapi Shanaya langsung berdiri dan menyilangkan tangan di dada.
"Shanaya!" bentak Reno, suaranya naik.
"Aku belum tuli," sahut Shanaya dingin.
Reno menahan emosi. Ia mulai berpikir. Tadi Shanaya bilang surat cerai udah di pengadilan. Tapi dia merasa belum pernah tanda tangan apa pun. Senyum tipis muncul di wajahnya. Ia yakin Shanaya cuma menggertak, berharap dia mau minta maaf.
"Marah tuh ada batasnya, Shanaya. Kamu marah tanpa alasan jelas. Jangan kekanak-kanakan. Aku akan tunggu kamu sampai kamu sadar," ucap Reno tenang, tapi nadanya menekan.
Shanaya mendengus. Sampai segininya pun Reno masih tenang, seolah semua bakal baik-baik aja kayak biasanya.
"Denger, Ren. Aku serius. Aku lelah. Rumah tangga ini cuma isinya kerja, makan, ranjang. Udah, cukup. Kita sudahi saja, ya?"
Reno menghela napas pelan. “Cukup. Aku nggak mau debat lagi. Hari ini aku ada meeting dengan klien. Kamu di rumah saja, lakukan hal yang bisa mengalihkan pikiranmu dari kata ‘cerai’ itu. Karena aku nggak akan pernah menceraikanmu,” ujarnya dingin, lalu berjalan ke pintu dan mengaktifkan sistem pengunci rumah.
Shanaya panik. Rumah ini menggunakan sistem penguncian otomatis satu arah—setelah dikunci dari luar menggunakan remote control, tidak ada yang bisa membukanya dari dalam tanpa akses Reno.
“Reno! Buka pintunya! Reno!” Shanaya menggedor pintu keras-keras.
Sebuah layar monitor kecil di ruang tamu menyala, menampilkan wajah Reno dari kamera luar.
“Aku akan buka pintunya kalau kamu sudah tenang dan nggak ngomong soal pisah lagi. Cukup sudah kamu keluar dari rumah ini semalaman. Sekarang? Jangan harap, Shanaya.”
“Reno! Keluarin aku sekarang juga!” Shanaya berteriak, suaranya menggema, campuran panik dan marah. Tapi Reno hanya menatapnya datar lewat monitor.
“Reno, kalau kamu nggak buka, sisa kartu janji itu akan aku anggap hangus semuanya!” bentaknya lagi, mencoba menekan, mencoba menggertak.
“Lakukan saja. Tanpa kartu itu pun, kamu tetap milikku,” jawab Reno pelan, lalu sambungan terputus. Layar kembali gelap.
Shanaya terduduk di lantai, napasnya tersengal. Ia menatap kosong ke arah pintu yang kini tak bisa disentuh. Sunyi. Tak ada suara langkah, tak ada tanda Reno masih mengawasi dari dekat. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan gejolak dalam dada. Ia tahu. Harusnya ia tahu, setelah ia pergi dan Reno tak bereaksi, pasti ada balasan yang tengah disiapkan. Dan kini, ia terjebak. Bodohnya, kembali tanpa persiapan.
Tangannya bergerak membuka jendela. Terkunci. Ia beralih ke jendela lain. Sama saja. Semuanya dikendalikan oleh sistem keamanan yang konon demi melindungi keluarga—nyatanya kini jadi jeruji tak kasat mata.
Ia melangkah cepat ke dapur, memeriksa pintu belakang. Nihil. Semua sudah diperhitungkan Reno. Rumah ini terlalu canggih. Terlalu milik Reno.
Air mata mulai mengalir. Tanpa suara. Bukan karena takut, tapi karena rasa marah dan hina yang menyesakkan.
“Gila… dia benar-benar gila,” desisnya lirih, penuh getir.
Shanaya kembali ke ruang tengah, menyalakan televisi hanya untuk membunuh hening. Tapi suara dari layar pun tak sanggup mengusir kekosongan. Ia kembali menatap monitor—gelap. Tak ada Reno. Tak ada kepastian. Hanya keputusasaan yang perlahan menjalar.
Ia meraih ponsel, mencoba menelepon siapa saja. Tapi sinyal dibatasi. Ia terjebak dalam sistem Reno, terisolasi di rumahnya sendiri.
Matanya menatap langit-langit. Rumah ini luas, tapi kini terasa sempit.
“Apa ini yang kamu sebut cinta, Ren?” gumamnya lirih. “Kamu kunci aku di sini, lalu berharap aku tunduk? Aku bukan boneka.”
Jam di dinding berdetak pelan. Sudah dua jam sejak Reno pergi. Shanaya bangkit, menghapus air mata dengan punggung tangan.
Tak bisa keluar bukan berarti tak bisa melawan.
Kalau ini cara Reno mempertahankan rumah tangga mereka, maka Shanaya akan mencari jalannya sendiri—keluar dari rumah ini, dari hidup yang dikendalikan sepihak. Bahkan jika itu berarti mempertaruhkan nyawanya.
Ia menarik napas panjang, mencoba meredam gemuruh di kepala. Lalu ia mulai bergerak. Ke setiap sudut rumah. Mengambil semua foto dirinya dan Reno—termasuk bingkai besar yang menggantung di ruang tamu. Satu per satu ia letakkan di lantai.
Tanpa ragu, ia membuka laci dapur. Mengambil pemantik. Tangannya sedikit gemetar saat menyulut selembar foto. Api merambat pelan sebelum ia melemparkan foto itu ke tumpukan bingkai kayu.
“Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui,” bisiknya, lirih namun penuh tekad. “Menyelam sambil minum air.”
Ia tahu persis apa yang ia lakukan. Ia tak bermaksud membakar rumah ini. Hanya cukup untuk memancing sensor asap—mengaktifkan sistem darurat Reno. Sensor yang akan membuka akses keluar sementara begitu mendeteksi ancaman kebakaran.
Asap mulai mengepul. Menyebar pelan dari tengah ruangan ke langit-langit. Shanaya membuka jendela ventilasi kecil di dapur—satu-satunya yang tak terhubung sistem—agar asap tak terkumpul berlebihan. Tapi tetap saja, sebagian sempat terhirup masuk ke paru-parunya.
Beberapa menit kemudian, bunyi bip terdengar. Lirih tapi jelas. Lampu indikator di dinding menyala merah.
Klik.
Sistem darurat aktif. Pintu utama terbuka otomatis.
Shanaya menoleh. Napasnya tercekat.
“Itu dia. Kesempatanku.”
Ia berlari menuju pintu. Membukanya perlahan, memastikan tak ada kamera aktif yang bisa mengirimkan rekaman langsung ke Reno. Hatinya berdebar kencang.
Begitu kaki telanjangnya menginjak lantai luar, udara bebas menyambut wajahnya. Ia tak menoleh lagi. Segera menyusuri jalan kecil di depan rumah. Langkahnya cepat, panik tapi terarah.
“Cepat, Shanaya. Sebelum dia sadar. Sebelum sistemnya merekam ulang. Sebelum—”
Namun belum jauh ia berjalan, dadanya mulai terasa berat. Napasnya ngos-ngosan. Dunia terasa berputar. Asap yang tadi sempat masuk kini menagih akibatnya.
“Tidak sekarang… jangan sekarang...”
Langkahnya limbung. Ia mencoba bertahan. Tapi tubuhnya tak sanggup lagi.
Gelap.
knp update nya Arsen buk bgt y🫢🫢🫢
Sadewa JD anak tiri 🤔
itu jodohmu, Shanaya🤭