NovelToon NovelToon
ANAK RAHASIA

ANAK RAHASIA

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Lari Saat Hamil / One Night Stand / Single Mom / Hamil di luar nikah
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: WikiPix

Rahasia kelam membayangi hidup Kamala dan Reyna. Tanpa mereka sadari, masa lalu yang penuh konspirasi telah menuntun mereka pada kehidupan yang tak seharusnya mereka jalanin.

Saat kepingan kebenaran mulai terungkap, Kamala dan Reyna harus menghadapi kenyataan pahit yang melibatkan keluarga, kebencian, dan dendam masa lalu. Akankah mereka menemukan kembali tempat yang seharusnya? Atau justru terseret lebih dalam dalam pusaran takdir yang mengikat mereka?

Sebuah kisah tentang pengkhianatan, dendam, dan pencarian jati diri yang akan mengubah segalanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

NARASI Episode 13

Kamala menggenggam jemari mungil anak itu, merasakan dinginnya yang menusuk ke kulitnya sendiri. Jantungnya berdegup kencang, ketakutan mulai menjalar dalam hatinya.

Seandainya Affan di sini… Seandainya ia tidak harus menghadapi ini sendirian…

Tapi ia tidak punya waktu untuk mengasihani diri sendiri. Anak ini membutuhkan pertolongan.

Pikirannya terus berputar mencari cara lain untuk menurunkan panas. Air hangat, selimut, sweater—semuanya sudah ia coba. Tapi tubuh kecil itu masih menggigil, wajahnya semakin pucat.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari luar. Kamala menoleh dengan cepat, harapannya membuncah. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka.

Affan berdiri di ambang pintu dengan napas memburu, wajahnya dipenuhi kekhawatiran.

"Kamala, bagaimana keadaannya?" tanyanya cepat, langsung menghampiri mereka.

Kamala nyaris tidak bisa menahan air matanya saat menunjuk ke anak kecil itu. "Masih panas… Aku sudah coba semuanya, tapi demamnya tidak turun, Affan. Aku takut…"

Affan segera berlutut di samping tempat tidur, tangannya menyentuh dahi anak itu. Alisnya berkerut. "Ini terlalu panas. Kita harus membawanya ke dokter sekarang juga."

Kamala mengangguk cepat. "Baik, aku akan siapkan.."

Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, suara lirih anak itu menghentikan mereka.

"Ibu… jangan pergi…"

Kamala menoleh dengan mata membesar, namun ia tidak menjawab, masih fokus pada persiapan untuk ke rumah sakit.

Reyna membuka mata setengah, menatap Kamala dengan pandangan kabur. "Ibu… jangan tinggalkan aku…"

Air mata menggenang di pelupuk mata Kamala. Ia menggenggam tangan kecil itu lebih erat, hatinya mencelos.

"Aku di sini, Sayang… Ibu tidak akan kemana-mana," bisiknya penuh haru.

Affan dan Kamala pun pergi menuju halte, dengan Reyna di gendongan Affan.

Setelah berjalan cukup jauh, mereka sampai di halte bus, menunggu kendaraan yang lewat, entah itu bus atau taksi, yang penting kendaraan yang bisa membawa mereka ke rumah sakit.

Affan menatap ke arah jalan dengan cemas, matanya terus mencari kendaraan yang bisa membawa mereka ke rumah sakit. Namun, sejauh mata memandang, tidak ada satu pun bus atau taksi yang melintas.

Kamala menggigit bibirnya, tangannya gemetar saat ia merasakan tubuh Reyna semakin lemas di pelukan Affan. Napas anak itu terdengar berat, wajahnya semakin pucat.

"Ya Tuhan, Affan… bagaimana ini?" suara Kamala bergetar, air matanya mulai jatuh tanpa bisa ia tahan.

Affan menoleh padanya, tangannya dengan cepat meraih bahu Kamala, mencoba menenangkannya. "Kamala, tenang. Aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi pada Reyna. Kita pasti menemukan cara."

Tapi Kamala semakin larut dalam kepanikan. "Dia semakin lemah, Affan. Aku takut… Aku takut kehilangan dia…"

Affan menatap wajah Kamala yang penuh air mata, lalu melihat Reyna yang masih tertidur lemah dalam gendongannya. Ia tidak bisa membuang lebih banyak waktu.

Dengan cepat, ia memutuskan sesuatu.

"Aku tidak bisa menunggu lagi," gumamnya, lalu tanpa ragu, ia mulai berlari.

"Affan?!" Kamala terkejut melihat pria itu tiba-tiba berlari ke tengah jalan.

Di sana, sebuah mobil melaju cukup cepat, dan tanpa pikir panjang, Affan melambaikan tangan, mencoba menghentikan kendaraan itu.

Rem mendecit keras. Mobil berwarna hitam berhenti mendadak hanya beberapa meter di depan Affan.

Pintu mobil terbuka, seorang wanita paruh baya keluar dengan wajah kesal. "Hei! Kau hampir saja membuatku menabrakmu!"

Affan tidak peduli. Ia segera mendekati pria itu dan langsung berkata, "Tolong, anak ini sakit parah! Kami harus ke rumah sakit sekarang juga!"

Wanita itu tampak terkejut melihat wajah pucat Reyna yang terbaring lemah di pelukan Affan. Ia melirik Kamala yang berdiri di halte dengan wajah panik dan penuh air mata.

Butuh beberapa detik sebelum wanita itu akhirnya menghela napas panjang dan membuka pintu mobilnya lebih lebar.

"Masuk! Cepat!"

Tanpa pikir panjang, Affan dan Kamala segera masuk ke dalam mobil, sementara wanita itu langsung menginjak gas, melaju kencang menuju rumah sakit.

Di dalam mobil, Kamala terus menggenggam tangan kecil Reyna, mengusap pipinya yang panas dengan penuh kasih sayang.

"Sayang, bertahanlah… Kita akan segera sampai," bisiknya dengan suara bergetar.

Affan menahan perasaan takut yang mulai menjalar dalam dirinya. Ia tidak pernah merasa setakut ini seumur hidupnya.

Hanya satu hal yang ada di pikirannya saat ini.

Mereka harus tiba di rumah sakit sebelum semuanya terlambat.

Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, melintasi jalanan malam yang sepi. Affan dan Kamala tidak menyadari siapa wanita yang sedang membantu mereka.

Kamala memeluk Reyna lebih erat, tubuh kecil itu terasa semakin panas di lengannya. "Reyna, bertahanlah, Sayang… Kita akan segera sampai," bisiknya dengan suara bergetar.

Affan menatap wajah pucat anak itu, kemudian melirik wanita di kursi pengemudi. "Terima kasih, Bu. Kami benar-benar tidak tahu harus bagaimana jika tidak bertemu Anda," katanya dengan suara penuh ketulusan.

Wanita itu melirik sekilas ke arah Affan melalui kaca spion, lalu kembali fokus pada jalan. "Aku hanya kebetulan lewat. Dan aku tidak bisa membiarkan anak sekecil itu menderita."

Kamala mengangkat wajahnya perlahan, merasa suara wanita itu terdengar familiar. Namun, pikirannya terlalu kacau untuk mencari tahu. Saat ini, hanya Reyna yang menjadi prioritasnya.

Beberapa menit kemudian, mereka tiba di rumah sakit. Tanpa membuang waktu, Affan segera keluar dari mobil, menggendong Reyna dengan hati-hati. Kamala menyusul di belakangnya, berlari menuju pintu masuk rumah sakit.

"Dokter! Tolong, anak ini sakit parah!" teriak Affan dengan panik.

Beberapa perawat segera menghampiri mereka, membawa brankar untuk Reyna. Salah satu dokter mendekat, meraba dahi anak itu dan segera menginstruksikan para perawat untuk membawanya ke ruang gawat darurat.

Kamala hendak mengikuti mereka, tetapi seorang perawat menahannya. "Ibu, mohon tunggu di luar. Kami akan melakukan tindakan terlebih dahulu."

Kamala hanya bisa berdiri kaku, tangannya mencengkeram erat bajunya sendiri. Air matanya jatuh tanpa suara.

Affan segera meraih bahunya, mencoba memberikan ketenangan. "Dia akan baik-baik saja, Kamala. Percayalah…"

Sementara itu, Indira berdiri tidak jauh dari mereka, memperhatikan dengan ekspresi yang sulit diartikan. Matanya menatap Reyna yang dibawa masuk ke dalam ruangan darurat.

Hatinya bergejolak.

Siang tadi, ia berusaha mencari kebenaran Kamala dan Reyna, namun tidak mendapatkan hasil.

Dan sekarang, di depan matanya sendiri, ia melihat bagaimana Kamala menangis panik untuk anak itu. Ia melihat bagaimana Affan begitu protektif terhadap mereka.

Indira mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya. Firasat yang sejak awal mengusik hatinya kini semakin kuat.

Apakah mungkin?

Apakah mungkin anak itu…

Tidak. Ia tidak boleh terburu-buru mengambil kesimpulan. Tapi ia harus mencari tahu.

Sementara itu, Kamala terus berdiri cemas di depan ruang gawat darurat. Setiap detik yang berlalu terasa begitu menyiksa. Dadanya terasa sesak, matanya terus menatap pintu yang tertutup rapat.

"Ya Tuhan… jangan ambil Reyna dariku…" gumamnya lirih.

Affan meremas bahunya lembut, mencoba menyalurkan sedikit ketenangan. "Kita harus percaya pada dokter, Kamala. Reyna anak yang kuat."

Kamala hanya mengangguk pelan, meski kegelisahan masih jelas terpancar dari wajahnya.

Beberapa menit kemudian, seorang dokter keluar dari ruangan. Kamala dan Affan langsung menghampirinya dengan penuh harap.

"Bagaimana keadaan Reyna, Dok?" suara Kamala bergetar.

Dokter itu tersenyum tipis. "Kami sudah menurunkan panasnya. Tapi kondisinya masih lemah, jadi dia harus dirawat inap untuk sementara waktu."

Air mata Kamala jatuh begitu saja, kali ini bukan karena ketakutan, melainkan kelegaan. "Terima kasih… terima kasih banyak, Dok…"

Affan pun menghela napas berat, seolah beban besar baru saja terangkat dari dadanya. "Bolehkah kami melihatnya?"

Dokter itu mengangguk. "Silakan. Tapi jangan terlalu lama. Dia masih butuh istirahat."

Tanpa menunggu lama, Kamala dan Affan segera masuk ke dalam ruangan.

Di atas tempat tidur rumah sakit, Reyna terbaring dengan wajah pucat, namun napasnya sudah lebih teratur. Tangannya masih kecil dan lemah, namun kehangatan sudah mulai kembali ke tubuhnya.

Kamala duduk di samping ranjang, menggenggam tangan anak itu dengan lembut. "Ibu di sini, Sayang… Ibu tidak akan kemana-mana…"

Affan berdiri di sampingnya, menatap Reyna dengan perasaan lega.

Namun, di luar ruangan, Indira masih berdiri diam. Tatapannya tidak lepas dari mereka.

Satu hal kini memenuhi pikirannya.

Siapa sebenarnya Kamala? Siapa Reyna?

Firasatnya sejak awal mengatakan ada sesuatu yang tidak beres, dan malam ini, ia merasa semakin yakin bahwa ada kebenaran besar yang tersembunyi.

Beberapa menit berlalu, pintu ruangan terbuka. Kamala dan Affan keluar dengan langkah pelan, wajah mereka masih dipenuhi kekhawatiran, tetapi sedikit lebih tenang dibandingkan sebelumnya.

Begitu melihat mereka, Indira segera bangkit dari duduknya. Ia mengambil napas dalam-dalam sebelum akhirnya melangkah mendekat.

Indira panggil Kamala dengan suara yang terdengar tegas.

Kamala menoleh, sedikit terkejut melihat wanita itu berdiri di depannya. "Bu…?"

Affan juga ikut menatap Indira dengan tatapan bertanya-tanya.

Indira menatap Kamala, lalu berkata. "Bisa kita bicara sebentar?"

Kamala merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Ia melirik sekilas ke arah Affan, yang juga tampak bingung, sebelum akhirnya mengangguk. "Tentu, Bu…"

Mereka berdua berjalan sedikit menjauh dari ruangan Reyna, mencari tempat yang lebih sepi di lorong rumah sakit.

Indira akhirnya membuka suara, suaranya terdengar tenang, tetapi penuh ketegasan. "Aku hanya ingin tahu… tentang dirimu."

Tubuh Kamala menegang. Ia menatap Indira dengan hati-hati, seolah mencoba membaca maksud di balik pertanyaan itu. "Bu… apa maksud Anda?"

Indira menatapnya lebih tajam, matanya menyiratkan kebingungan sekaligus keyakinan. "Aku merasa… aku mengenalmu. Seperti ada sesuatu di antara kita, hubungan yang belum bisa kupahami."

Suasana menjadi tegang. Kamala merasakan tenggorokannya mengering. Ia menunduk, berusaha menekan gejolak emosi yang tiba-tiba menyeruak dalam hatinya.

Affan melangkah maju, mencoba meredakan ketegangan. "Bu, ini bukan waktu yang tepat untuk membahas hal itu. Kamala sedang dalam kondisi emosional, dan anaknya baru saja masuk rumah sakit."

Namun Indira tidak bergeming. Ia tetap berdiri tegak, tatapannya tidak lepas dari Kamala. "Justru karena itulah aku harus tahu. Aku merasa ada sesuatu yang selama ini aku lewatkan. Sesuatu yang tidak aku ketahui."

Kamala menghela napas berat, mencoba menenangkan dirinya. Ia menatap Indira dengan hati-hati sebelum akhirnya berkata, "Sejauh yang aku ingat, kita belum pernah bertemu sebelumnya, Bu. Hanya kemarin siang… saat anak saya menabrak suami Anda. Saat itulah kita pertama kali bertemu."

Indira terdiam sejenak, memperhatikan setiap ekspresi Kamala. Ada sesuatu dalam nada suaranya, dalam sorot matanya, sesuatu yang terasa familiar, tetapi sulit dijelaskan.

Apakah benar mereka baru pertama kali bertemu? Atau ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini?

Kamala menghela napas panjang, mencoba menahan gejolak dalam dirinya. Ia menatap Indira dengan sorot mata tegas, tetapi tetap penuh rasa hormat.

"Cukup, Bu. Saya tidak ingin membahas masalah Anda. Saya hanya ingin fokus pada Reyna," ucapnya dengan suara yang sedikit bergetar.

Indira terdiam, terkejut dengan ketegasan Kamala.

"Dan terima kasih atas bantuan Anda, membantu kami sampai di rumah sakit ini," lanjut Kamala, suaranya lebih lembut, tetapi jelas menunjukkan bahwa ia tidak ingin melanjutkan pembicaraan ini.

Affan menatap Kamala dengan penuh pengertian, lalu beralih menatap Indira. "Kami benar-benar menghargai kebaikan Anda, Bu. Tapi saat ini, Reyna adalah prioritas utama Kamala. Mohon pengertiannya."

Indira masih menatap Kamala dengan ekspresi sulit ditebak, tetapi akhirnya ia menghela napas pelan. "Baiklah," ujarnya singkat.

Tanpa berkata lebih banyak, Kamala berbalik dan berjalan kembali ke ruangan Reyna, meninggalkan Indira yang masih berdiri di tempatnya, dengan banyak pertanyaan yang masih menggantung di pikirannya.

"Aku tidak akan menyerah begitu saja," batin Indira, sambil menatap punggung mereka.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!