Ajari Aku Hijrah

“Mie rebus ya, Pak. Pake telor,” ucap Irsyad. “Mbak, udah lama di sini?” lanjutnya pada Azizah yang sudah menunggu cukup lama.

“Nah... ini nih orangnya,” gumam Azizah kesal.

“Mbak mau mie rebus juga?” tawar Irsyad.

“Ogah. Bisa melar body gue ntar,” tolak Azizah. “Gue kesini mau nanya soal yang semalem ke elu,” lanjutnya.

“Soal yang mana nih?” tanya Irsyad bingung.

Pasalnya, semalam cukup banyak yang mereka bicarakan dikala menunggu hujan reda.

“Soal tobat,” sahut Azizah cepat.

“Oh... ini beneran mau ngomong di sini?” tanya Irsyad memastikan.

“Kenapa emangnya? Ada masalah?” cecar Azizah.

“Ya nggak papa. Cuma yang mau kita omongin kan ranah pribadi Mbak. Kalo Mbak nggak keberatan sih nggak papa. Kebeneran saya juga nggak usah ijin ke atasan,” jawab Irsyad.

“Gue nggak masalah. Lagian disini juga udah sepi, nggak serame tadi,” sahut Azizah.

Pak Parman mengantarkan pesanan Irsyad, semangkuk mie rebus lengkap dengan sayuran dan juga telur. Ada juga irisan rawit yang membuat makanan itu semakin menggugah selera.

“Makasih, Pak,” ucap Irsyad. “Mbak beneran nggak mau?” tanyanya pada Azizah.

“Dibilangin nggak. Budeg lu ya,” sahut Azizah ketus.

“Tadi Mbak mau ngomong soal tobat, maksudnya gimana?” pria itu mengaduk mienya sembari bicara dengan Azizah.

“Gue mau tau gimana caranya tobat. Gue sama sekali nggak tau soal agama. Temen-temen gue nggak ada yang tau, dan cuma elu yang bisa bantuin gue,” ungkap Azizah.

Irsyad baru saja menelan satu suap mie pedas, dan meneguk es teh hingga semuanya masuk ke perut.

“Ehm... saya bukan orang yang tau soal ini juga sih sebenernya.” Irsyad kembali menyuapkan makanan penuh tepung itu ke mulut.

Sementara Azizah hendak berkomentar.

“Gimana kalo Mbak mulai ikut pengajian aja?” ucap Irsyad tiba-tiba, bahkan sebelu Azizah berhasil membuka mulutnya.

Wanita itu mengerutkan kening mendengar perkataan pria tersebut.

“Hah... Apaan? Apa tadi lu nyuruh gue?” tanya Azizah.

“Pengajian,” sahut Irsyad disela mulutnya yang sedang kepedasan.

“Apaan tuh pengajian? Sejenis arisan ibu-ibu ya? Ogah gue,” tanya Azizah menolak.

“Eh, bukan arisan Neng. Pengajian itu tempat orang-orang cari ilmu agama,” sahut Pak Parman.

Pedagang itu rupanya dari tadi menyimak obrolan Irsyad dan juga Azizah.

“Nah itu maksudnya. Bukan arisan ibu-ibu. Lagian dari mana sih definisi kayak gitu?” tanya Irsyad.

“Ya setau gue, pengajian itu tempat ibu-ibu kumpul, arisan, ada jualan baju, kerudung juga. Emang bukan ya?” ujar Azizah.

Sontak kedua pria yang ada di warung itu terkekeh geli mendengar penuturan wanita awam tersebut.

“Ya emang sih Neng. Sekarang banyak yang menyalah gunakan kegiatan itu. Banyak sales berkedok ustadz dan ustadzah. Makanya nggak heran kalo Neng nya keder,” ungkap Pak Parman.

“Hah? Maksudnya gimana? Jadi bingung gue.” Azizah menggaruk kepalanya yang tak gatal, memikirkan ucapan Pak Parman tadi.

Sementara Irsyad, dia baru saja menghabiskan suapan terakhir dan meneguk habis minuman yang tersisa.

Pria itu juga meraih tisu dari wadah dan mengelap bibirnya yang penuh kuah mie rebus.

“Jadi gini, pengajian itu tempat orang nambah ilmu agama. Bukan Cuma ibu-ibu aja, anak muda juga punya perkumpulannya sendiri.”

“Biasanya diselingi sama kegiatan prakarya untuk menambah keterampilan hidup mereka.”

“Kalo Mbak mau, nanti ku bawa ke tempat pengajian putri yang ada di deket sini. Kebetulan saya kenal sama pengurusnya,” terang Irsyad.

“Oh gitu. Eh bentar deh. Trus gue mesti pake pakean yang kegedean gitu ya? Ih cupu banget, nggak deh nggak.” Azizah terlihat keberatan jika harus merubah penampilannya.

Pak Parman yang mendengar perkataan wanita itu hanya bisa geleng-geleng sembari beristighfar.

“Nggak harus sih. Cuma Mbak nya harus pake kerudung. Gimana?” tantang Irsyad.

“Gue pikir-pikir dulu lah. Oh ya, gue minta nomer lu sini. Biar kalo ada butuh nggak usah panas-panasan nunggu di sini. Bisa gosong kulit gue,” seru Azizah.

Dia menyodorkan ponselnya ke arah Irsyad, dan segera diraih oleh pria tersebut.

Guru muda itu nampak mengetik sesuatu di sana dan mengembalikannya pada Azizah.

“Oke, thanks. Gue cabut dulu.” Azizah bangun daru duduknya. “Berapa minumnya, Pak?” tanyanya pada pak Parman.

“Nggak usah. Biar saya yang traktir,” sela Irsyad.

“Oke.” Azizah pergi begitu saja.

“Assalamualaikum,” ucap Pak Parman ke arah Azizah yang sama sekali tak dijawab oleh wanita itu.

“Waalaikumsalam, Pak Parman,” sahut Irsyad.

Keduanya terkekeh akan hal itu.

“Pak guru nemu cewek modelan gitu di mana sih? Kok bisa tau pak guru ngajar di sini?” tanya Pak Parman.

Irsyad bangun dari duduknya dan hendak membayar makanannya dan juga Azizah.

“Dapet nemu di bus, Pak. Semalem nggak sengaja ketemu lagi, trus dia tanya ke saya, saya ini guru dimana,” sahut Irsyad. “Berapa tadi?” tanyanya lagi.

“Tujuh belas ribu, Pak,” jawab Pak Parman.

Irsyad memberikan uang pecahan dua puluh ribu, dan mengambil tiga buah permen lolipop sebagai ganti kembaliannya.

Bersambung ▶️▶️▶️

Jangan lupa like, comment dan rate novel aku ya 😄, kasih dukungan banyak-banyak ke sini 🙏