" Kamu adalah alasan kenapa aku mengubah diriku, Gus. Dan sekarang, kamu malah mau meninggalkan aku sendirian?" ujar Raya, matanya penuh dengan rasa kecewa dan emosi yang sulit disembunyikan.
Gus Bilal menatapnya dengan lembut, tapi tegas. "Raya, hijrah itu bukan soal aku atau orang lain," ucapnya dengan suara dalam. "Jangan hijrah karena ciptaan-Nya, tetapi hijrahlah karena Pencipta-Nya."
Raya terdiam, tetapi air matanya mulai mengalir. "Tapi kamu yang memotivasi aku, Gus. Tanpa kamu..."
"Ingatlah, Raya," Bilal memotong ucapannya dengan lembut, "Jika hijrahmu hanya karena ciptaan-Nya, suatu saat kau akan goyah. Ketika alasan itu lenyap, kau pun bisa kehilangan arah."
Raya mengusap air matanya, berusaha memahami. "Jadi, aku harus kuat... walau tanpa kamu?"
Gus Bilal tersenyum tipis. "Hijrah itu perjalanan pribadi, Raya. Aku hanya perantara. Tapi tujuanmu harus lebih besar dari sekadar manusia. Tujuanmu harus selalu kembali kepada-Nya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sha whimsy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Labuhan Hati
Di kelas pesantren, suasana hening ketika Bilal, seorang pria muda yang dipanggil Gus oleh santri-santrinya, memberikan penjelasan tentang tata cara salat. Cahaya pagi menyinari ruangan, menciptakan suasana tenang yang mendukung pembelajaran.
"Jadi, jika kita mengucapkan kata-kata yang bukan bagian dari salat dengan sengaja, meskipun hanya satu atau dua kata, maka salat kita dianggap batal," jelas Gus Bilal, suaranya tenang namun tegas.
Seorang santri mengangkat tangan dengan ragu. "Gus, kalau misalnya tanpa sengaja bicara karena lupa kalau sedang salat, bagaimana?"
Gus Bilal tersenyum ramah. "Kalau itu terjadi karena lupa, maka salatnya tidak batal, Nak. Tapi setelah sadar, kita harus segera kembali ke niat dan fokus kita dalam salat. Itu adalah salah satu rahmat Allah, yang memahami kelemahan manusia."
Para santri mengangguk-angguk, menyerap penjelasan itu. Salah satu santri lainnya bertanya lagi, "Gus, kalau ada yang batuk-batuk atau bersin keras sampai terdengar suara, itu batal juga?"
Gus Bilal tertawa kecil, membuat suasana menjadi lebih santai. "Tidak, itu tidak membatalkan salat. Batuk, bersin, atau hal-hal alami yang tidak bisa kita kendalikan tidak akan membuat salat batal. Tapi kalau sengaja menimbulkan suara, itu baru lain cerita."
Santri-santri tertawa kecil mendengar jawaban itu, merasa lega dengan penjelasan yang mudah dipahami.
Di akhir pengajaran, Gus Bilal menutup dengan pesan mendalam. "Yang terpenting dalam salat adalah menjaga niat dan hati kita. Fokus pada Allah dan hindari hal-hal yang mengganggu kekhusyukan. Kalau ada kesalahan, jangan putus asa. Salat adalah cara kita memperbaiki diri, bukan untuk mencari kesempurnaan mutlak."
Semua santri mengangguk dengan penuh semangat, merasa lebih paham dan termotivasi untuk terus memperbaiki salat mereka.
Bilal melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 10 pagi, waktunya istirahat. Ia beranjak dari aula menuju ruangannya. Setelah duduk, ia menghela napas lega, menikmati sejenak keheningan di tengah jadwalnya yang padat.
Namun, pikirannya segera melayang pada rencana akhir pekan nanti. Hari Minggu, ia akan ke rumah Naila untuk membahas persiapan lamaran. Sebuah langkah besar dalam hidupnya yang membuat hatinya berdebar.
Di sela-sela pikirannya tentang Naila, Bilal teringat Raya, sahabatnya. Raya pasti sudah selesai ujian sekolah, pikirnya. Namun, kesibukannya yang begitu padat membuatnya belum sempat berbicara atau memberi kabar pada Raya. Ia merasa sedikit bersalah.
"Sebaiknya aku kabari dia nanti sore. Bagaimanapun, aku ingin dia tahu langsung dari aku, bukan dari orang lain, " batinnya. Bilal menatap langit-langit ruangan, mencoba menyusun kata-kata yang tepat untuk disampaikan kepada sahabatnya itu.
Sejujurnya, Bilal masih belum sepenuhnya yakin dengan perasaannya. Ayah Naila adalah sahabat dekat Abi-nya, dan ia sendiri sudah lama mengenal Naila sebagai sosok yang lembut dan penuh tanggung jawab. Lamaran ini seolah menjadi keputusan yang dipermudah oleh kedekatan keluarga mereka.
Namun, di sisi lain, ada Raya. Gadis yang baru ia kenal dua bulan terakhir, tetapi kehadirannya mampu membawa kenyamanan yang berbeda. Sikapnya yang hangat, perhatian, dan apa adanya membuat Bilal merasa ada sesuatu yang istimewa. Hal ini membuat pikirannya terpecah, dan ia bertanya-tanya apakah yang dirasakannya untuk Raya adalah sesuatu yang lebih dari sekadar rasa kagum.
Bilal menghela napas panjang, menyandarkan punggungnya pada kursi di ruangannya. “Kenapa harus serumit ini?” gumamnya dalam hati. Ia tahu bahwa apa pun pilihannya, ia harus mengambil langkah dengan penuh keyakinan, bukan sekadar mengikuti arus atau tekanan di sekitarnya.
Waktu dua bulan yang lalu..
"Aku.." Naila sangat gugup entah bagaimana dia mengungkapkan perasaan yang terpendam itu. Naila menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian. "Aku ingin bilang bahwa aku..." suaranya bergetar, "aku suka kamu, Gus."
Waktu dua minggu yang lalu...
"Kalo boleh jujur, aku mengagumi kakak dari awal kita ketemu," kata Raya dengan tulus, matanya menatap Bilal yang duduk di sampingnya.
"Hahahaha, kamu bisa aja," jawabnya sambil menggelengkan kepala, seolah tidak terlalu serius menanggapinya. "Apa yang membuat kamu mengagumi saya ?" tanya Bilal, mencoba mengalihkan perhatian, mungkin untuk menghindari suasana canggung yang mulai terbentuk.
"Karena... Kakak itu beda dari yang lain. Ada ketenangan dan keyakinan dalam setiap langkah yang kakak ambil. Itu yang bikin aku kagum."
Kembali ke masa sekarang...
Bilal mengusap wajahnya, mencoba mencerna situasi yang semakin rumit. Di satu sisi, ada Naila, gadis yang telah lama dikenalnya dan diharapkan keluarganya menjadi pasangan hidupnya. Di sisi lain, ada Raya, yang entah bagaimana telah menciptakan ruang nyaman di hatinya dalam waktu singkat.
"Kenapa semua ini datang bersamaan?" gumam Bilal pelan, matanya menerawang ke jendela. Ia tahu, tidak adil bagi kedua gadis itu jika ia tidak segera mengambil keputusan yang tegas. Namun, keputusan itu tidaklah mudah.
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. "Ya Allah, berikanlah petunjuk-Mu. Jangan biarkan aku melukai hati siapa pun dengan keputusan yang salah," doanya lirih.
Dalam hatinya, Bilal tahu bahwa apa pun pilihannya, harus didasari dengan kejujuran—baik pada dirinya sendiri maupun pada mereka yang terlibat. Satu hal yang pasti, ia tidak ingin bermain-main dengan perasaan siapa pun.
Pukul 12:00, suara adzan Dzuhur bergema dari masjid pondok pesantren, menggetarkan hati setiap penghuni dengan lantunan merdu yang memanggil untuk segera menunaikan kewajiban. Gus Bilal, yang masih termenung di ruangannya, tersentak dari lamunan. Ia bangkit perlahan, membetulkan letak pecinya, lalu berjalan menuju masjid bersama para santri lainnya.
Setelah mengambil wudhu, Bilal bergabung dengan jamaah di saf paling depan. Ia meluruskan niatnya, berusaha melupakan segala kerumitan duniawi sejenak, menghadap Allah dengan penuh khusyuk. "Hanya Engkau tempatku bersandar, ya Allah," batinnya, menyerahkan segala keraguan yang menggantung di hatinya.
Usai salat, Bilal melanjutkan dengan dzikir dan doa. Namun, pikirannya masih tak bisa lepas dari keputusan besar yang harus diambilnya. "Ya Allah, tunjukkan aku jalan yang terbaik, bukan hanya untukku, tapi juga untuk mereka. Berikan aku kekuatan untuk menjalani apa pun yang menjadi takdir-Mu."
Setelah doa usai, salah satu santri senior, Fadil, mendekatinya. "Gus, tadi ada tamu yang mencari Anda. Katanya ingin bicara sebentar. Orangnya menunggu di ruang tamu pondok."
"Siapa tamunya, Fadil?" tanya Bilal dengan nada heran.
"Seorang perempuan, Gus. Dia bilang namanya Raya."
Mendengar nama itu, Bilal terdiam sejenak. Hatinya berdebar. "Kenapa Raya tiba-tiba datang ke sini?" pikirnya. Ia mengangguk pelan, lalu berjalan menuju ruang tamu dengan langkah yang tak bisa ditebak—antara penasaran dan cemas.
---
Di ruang tamu, Raya duduk dengan gelisah. Pandangannya sesekali beralih ke arah pintu, menunggu kedatangan Bilal. Ketika Bilal masuk, senyumnya mengembang. "Assalamualaikum, Kak," sapa Raya dengan nada ramah.
"Waalaikumussalam, Raya," jawab Bilal, mencoba tetap tenang. "Ada apa sampai datang ke sini? Bukannya kamu sedang menikmati waktu libur setelah ujian?" tanyanya sambil duduk di kursi berseberangan.
Raya menggenggam jemarinya sendiri, tanda ia sedang gugup. "Maaf kalau kedatangan saya tiba-tiba, Kak. Tapi ada sesuatu yang ingin saya sampaikan langsung. Saya rasa ini penting."
Bilal mengangguk, memberi isyarat agar Raya melanjutkan.
Raya menatap mata Bilal sejenak, lalu berkata, "Kak, saya dengar dari teman-teman, kakak mau ngelamar anak orang ya. "
Perkataan itu membuat Bilal terdiam. Ia tahu bahwa kabar ini akan menyebar cepat, tapi tak menyangka Raya akan mendengarnya begitu cepat.
Raya melihat wajah serius Bilal membuat nya terkekeh. "Hahahaha... Serius amat kak mukanya, " Kata Raya geli.
"Aku cuma becanda tauk, aku datang ke sini karena bosen di rumah, " Jelas Raya masih terkekeh. Bilal bernafas lega hampir saja darah nya terasa seperti berhenti mengalir.
"Tadi aku ke rumah kakak, niat nya mau nyari Fatimah tapi ternyata orang nya lagi pergi, terus aku ke inget kakak, jadi aku dateng deh kesini, " Kata Raya panjang kali lebar.
Bilal tersenyum tipis mendengar penjelasan panjang lebar Raya. Terkadang, gadis itu memang suka membuat suasana jadi ringan meski dalam situasi yang bisa terasa tegang. "Jadi, kamu datang ke sini cuma karena bosen?" tanya Bilal, mencoba menahan tawa.
Raya mengangguk sambil tertawa, "Iya, Kak. Kadang hidup itu butuh sedikit kejutan, jadi aku pikir, kenapa nggak datang aja ke sini? Bisa ngobrol-ngobrol, siapa tahu ada yang seru."
Bilal menggelengkan kepala, masih tidak percaya dengan sikap santai Raya yang bisa mengubah suasana hati dengan cepat. "Kalau kamu bosen, bisa aja kamu ikut kajian di sini, atau bantu-bantu di pondok. Bisa jadi kegiatan yang lebih bermanfaat," kata Bilal dengan nada bercanda, meskipun tetap ada rasa cemas yang menggelayuti pikirannya.
"Tapi kalau aku ikut kajian, nanti malah tidur, Kak," jawab Raya sambil terkekeh lagi, membuat Bilal tidak bisa menahan tawa kecil. "Lagipula, lebih enak ngobrol sama Kakak, kan?"
Mendengar itu, Bilal merasa sedikit lega. Raya selalu bisa membuatnya merasa lebih tenang. Mungkin itulah yang ia rasakan dalam dirinya—ketenangan yang datang bersama keberadaan gadis itu, meski hubungan mereka belum tentu jelas arahnya.
"Baiklah, kalau kamu bosen, aku temani ngobrol sebentar. Tapi jangan berharap aku bisa jadi penghibur, ya," jawab Bilal sambil tersenyum.
Raya duduk di kursi sebelah Bilal, dan percakapan mereka pun mengalir begitu saja, ringan dan penuh tawa. Meski hati Bilal masih terombang-ambing antara dua pilihan besar dalam hidupnya, ia tahu, saat bersama Raya, ia bisa sedikit melupakan kebingungannya.
Raya tak berhenti mengoceh, menceritakan segala hal, bahkan yang terkesan tidak penting. Bilal hanya mendengarkannya dengan sabar.
"Kalo dipikir-pikir, boleh juga aku ikut kakak ke kelas," ujar Raya sambil mengunyah kue, wajahnya ceria.
Bilal menatap Raya sejenak, merasa bingung dengan apa yang baru saja dikatakan Raya. "Kelas? Kelas apa?" tanya Bilal, mencoba mengerti.
Raya menoleh dan mengedipkan mata dengan ceria. "Maksudku, ikut ke kelas pengajian, Kak. Pasti seru banget, kan? Aku bisa belajar juga, siapa tahu bisa dapet ilmu yang bermanfaat," jawabnya sambil menggigit kue lagi.
Bilal terkekeh kecil, menggelengkan kepala. "Kamu ini memang, deh. Kenapa nggak dari dulu aja kamu datang ke pengajian? Jadi bisa lebih bermanfaat juga," ucapnya sambil tersenyum.
Raya menatapnya dengan serius untuk sesaat, lalu kembali tersenyum lebar. "Iya, Kak, aku juga mikir gitu. Mungkin aku butuh sesuatu yang lebih dari sekadar ngobrol tanpa arah, kan?" jawabnya.
Bilal merasa ada sesuatu yang berbeda dalam diri Raya, dan ia bisa merasakan niat baik gadis itu. Mungkin memang ini saat yang tepat untuk mengajaknya lebih serius, mengarahkannya pada hal-hal yang lebih baik. "Kalau kamu serius, boleh juga. Tapi nanti, kamu harus fokus dan jangan asal main-main," tegas Bilal, meskipun hatinya masih merasa bimbang.
Raya mengangguk bersemangat, "Oke, Kak. Aku janji bakal serius. Bukan cuma untuk ikut, tapi juga buat belajar."
Bilal tersenyum lega, merasa sedikit tenang melihat niat baik Raya. Namun, di dalam hatinya, ia masih dihantui oleh kebingungannya tentang pilihan yang harus ia ambil dalam hidupnya.
Raya pun mulai mengikuti Bilal ke mana pun ia pergi. Saat Bilal mengajar, Raya ikut duduk di kelas seolah-olah dia adalah santri di sana. Ketika tiba waktu makan, Raya pun ikut makan bersama santriwati lainnya.
"Jadi, gini kehidupan di pesantren," ujarnya sambil duduk di bawah pohon, menyaksikan Bilal yang sedang memberi hukuman kepada beberapa santri.
"Di sini seru, bisa nggak sih aku masuk sini? Tapi, aku nggak mau kalau disuruh hapalan Alquran," kata Raya, dengan nada bercanda namun sedikit serius.
Bilal menghela napasnya, "Ini orang, ada-ada aja," pikirnya sambil tersenyum kecil, merasa geli dengan kelakuan Raya yang tak pernah kehabisan ide.
"Serius, aku ini nanya. Lumayan kan kita bisa ketemu tiap waktu," ujar Raya menaikkan alisnya. Bilal tertawa kecil mendengar pertanyaan Raya, namun tetap mencoba memberi jawaban yang bijak. "Kamu ini, Raya, selalu aja cari cara buat tetap dekat. Tapi pesantren ini bukan tempat untuk main-main. Kita di sini punya tujuan yang jelas," jawab Bilal, sambil masih mengawasi santri yang sedang menjalani hukuman.
Raya pun duduk dengan santai di bawah pohon, menatap Bilal yang kembali sibuk mengatur kelas. "Ya, ya, aku ngerti kok. Cuma, nggak ada salahnya juga kan, kalau bisa ketemu lebih sering?" tanyanya lagi, mencoba mengalihkan perhatian Bilal.
Bilal hanya menggelengkan kepala, tersenyum menanggapi kegigihan Raya. "Kamu ini bener-bener, deh. Tapi yang penting, kalau kamu memang serius, semua hal bisa jadi mungkin," jawabnya dengan nada serius, meski matanya tetap terlihat penuh kehangatan.