" Kamu adalah alasan kenapa aku mengubah diriku, Gus. Dan sekarang, kamu malah mau meninggalkan aku sendirian?" ujar Raya, matanya penuh dengan rasa kecewa dan emosi yang sulit disembunyikan.
Gus Bilal menatapnya dengan lembut, tapi tegas. "Raya, hijrah itu bukan soal aku atau orang lain," ucapnya dengan suara dalam. "Jangan hijrah karena ciptaan-Nya, tetapi hijrahlah karena Pencipta-Nya."
Raya terdiam, tetapi air matanya mulai mengalir. "Tapi kamu yang memotivasi aku, Gus. Tanpa kamu..."
"Ingatlah, Raya," Bilal memotong ucapannya dengan lembut, "Jika hijrahmu hanya karena ciptaan-Nya, suatu saat kau akan goyah. Ketika alasan itu lenyap, kau pun bisa kehilangan arah."
Raya mengusap air matanya, berusaha memahami. "Jadi, aku harus kuat... walau tanpa kamu?"
Gus Bilal tersenyum tipis. "Hijrah itu perjalanan pribadi, Raya. Aku hanya perantara. Tapi tujuanmu harus lebih besar dari sekadar manusia. Tujuanmu harus selalu kembali kepada-Nya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sha whimsy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka
Raya menangis membaca cerita itu. Tanpa sengaja, ia menemukan buku diary bundanya dan diam-diam membacanya. Sebagai seorang perempuan, ia ikut merasakan betapa sulitnya menjadi bundanya, yang terjebak dalam posisi sebagai istri simpanan, diselingkuhi dan dikhianati.
Raya terisak perlahan, merasa hatinya tercabik-cabik. Ia membayangkan ibunya yang selalu tersenyum di hadapannya, tetapi ternyata di balik senyuman itu ada luka yang mendalam. Ia merasa marah, bingung, dan tidak tahu harus berbuat apa. Ia tidak pernah tahu betapa beratnya beban yang dipikul ibunya selama ini, seolah semuanya tersembunyi di balik sikap sabar dan penuh kasih sayang yang selalu ditunjukkan.
Raya menutup buku itu dengan tangan gemetar, berusaha menenangkan diri. Air mata yang terus mengalir tak bisa dihentikan, seakan-akan ia merasakan setiap kepedihan yang ibunya alami. Ia ingin sekali berbicara dengan Triana, tetapi kata-kata terasa begitu sulit untuk keluar dari mulutnya. Ia merasa terperangkap dalam kebingungannya, mencoba mencari cara untuk memberi dukungan, namun tidak tahu bagaimana.
" Raya.. Kamu ngapain dikamar bunda? " Tanya bunda yang baru pulang dari rumah tetangga dan mendapati Raya di kamar nya.
Bukan menjawab Raya malah memeluknya. " Aku benci dia bun, " Racau nya.
Bunda memeluk Raya dengan lembut, merasa kebingungan dengan kata-kata putrinya, tetapi merasakan betapa berat perasaan yang sedang dipikul oleh anaknya.
"Siapa, sayang?" tanya bunda pelan, mencoba untuk lebih memahami. "Kenapa kamu benci seseorang?"
Raya menarik napas dalam-dalam, dan meskipun air mata masih mengalir di pipinya, ia mencoba untuk menjelaskan. "Dia, bun... Ayah. Aku benci dia karena apa yang dia lakukan ke bunda. Kenapa dia bisa nyakitin bunda seperti itu? Kenapa dia... nggak bisa jadi suami yang baik buat bunda?"
Bunda terdiam sejenak, hatinya terasa sesak mendengar pernyataan Raya. Ia tahu bahwa putrinya merasa terluka, dan meskipun selama ini ia berusaha menyembunyikan rasa sakitnya sendiri, kini jelas terlihat bahwa Raya merasakannya juga.
"Bunda nggak mau kamu benci ayah, " kata bunda pelan, sambil membelai rambut Raya. " Benci itu nggak akan mengubah apapun. Kamu harus tahu, apapun yang terjadi, kamu tetap anak bunda, dan bunda akan selalu ada untuk kamu."
Raya hanya mengangguk dalam pelukan bunda, meskipun hatinya masih penuh dengan kebingungan dan kemarahan. Ia ingin sekali melupakan semuanya, tetapi kenangan itu seperti bayangan yang terus mengikuti langkahnya.
" Pulang sekolah kemarin aku ketemu dia bun, " Kata Raya pelan dan menceritakan kejadian siang kemarin tanpa ada yang ditutupi.
Bunda terkejut mendengar cerita Raya. Wajahnya berubah cemas, tak bisa membayangkan apa yang baru saja dialami putrinya. Namun, ia mencoba untuk tetap tenang, menenangkan Raya yang tampaknya masih terkejut dengan kejadian itu.
"Raya... sayang, kamu baik-baik aja, kan?" tanya bunda dengan khawatir, menggenggam tangan Raya erat.
Raya mengangguk pelan, wajahnya masih dipenuhi perasaan campur aduk. "Aku... nggak tahu, Bun. Waktu aku lihat dia, aku langsung teringat semuanya... kenapa dia harus muncul lagi setelah lama pergi? Kenapa dia malah menyelamatkanku sekarang? Aku nggak butuh dia."
Bunda menatap Raya dengan penuh empati, meskipun hatinya terasa hancur mendengar cerita putrinya. Ia tahu betapa besar luka yang ditinggalkan oleh perbuatan suaminya, dan kini, anaknya pun merasakannya.
"Sayang," bunda mulai dengan suara lembut, "Bunda ngerti kalau kamu marah dan kecewa sama ayah. Tapi, dia tetap ayah mu, dan dia juga sayang banget sama kamu. "
" Kalau dia memang sayang sama aku kenapa dia ninggalin aku, ninggalin kita? "
Bunda terdiam sejenak, merasa berat untuk menjawab pertanyaan yang selalu ada di benak putrinya. Tidak mudah menjelaskan rasa sakit yang pernah mereka alami. Namun, ia tahu, ini adalah momen yang penting untuk membuka hati dan berbicara jujur.
"Raya," bunda mulai dengan suara pelan, "Bunda juga nggak bisa menjelaskan kenapa dia pergi. Tidak ada alasan yang bisa membuat semua ini menjadi lebih mudah. Kadang, orang dewasa bisa membuat keputusan yang menyakitkan, bahkan untuk orang-orang yang mereka cintai. Tapi, itu bukan berarti dia nggak pernah sayang sama kamu."
Raya menatap bunda dengan tatapan yang penuh kebingungan. "Tapi kenapa dia harus pergi, Bun? Kenapa dia memilih semua itu? Kenapa nggak pilih kita?"
Bunda mengusap kepala Raya dengan lembut, berusaha menenangkan perasaan putrinya. "Terkadang, orang membuat pilihan yang salah karena mereka merasa terjebak atau nggak tahu harus bagaimana. Itu nggak adil, dan bunda tahu kamu merasa dikhianati. Tapi, jangan sampai kamu merasa nggak berharga karena itu. Kamu lebih dari cukup, Raya. Kamu berharga, dan bunda selalu ada untuk kamu."
Raya terdiam, meskipun rasa sakit itu belum hilang, ia merasa sedikit lebih tenang dengan kata-kata bunda. Namun, banyak pertanyaan yang masih membekas di pikirannya, dan luka yang ia rasakan masih terasa begitu dalam.
Tanpa mereka sadari seseorang dari tadi menyimak obrolan mereka. Rian sedari tadi berdiri diambang pintu. Tidak menyangka kalau ayah nya adalah sosok yang berengsek.
" Kakak.. " Ucap nya pelan lalu mendekati kedua perempuan yang sangat ia sayangi itu.
Raya dan bunda terkejut mendengar suara lembut yang memanggil mereka. Mereka menoleh, dan melihat Rian berdiri di ambang pintu dengan ekspresi yang sulit dibaca. Mata Rian tampak memerah, seperti menahan banyak perasaan yang tak terungkapkan.
"Rian..." Raya berusaha menyeka air mata yang mulai menggenang di matanya, merasa bersalah karena adiknya harus mendengar semua itu. "Kamu dengerin tadi?" tanyanya pelan, mencoba memahami perasaan Rian.
Rian mengangguk pelan, langkahnya perlahan mendekati mereka. " Orang kayak dia ga perlu dibahas lagi, selama ini juga kita bisa tanpa dia. Kakak bilang kakak ketemu dia kemarin, kenapa kakak gak cerita ke Rian? Kakak tahu, Rian pengen banget ngehajar orang itu, " Kata Rian.
Raya menatap Rian dengan mata yang penuh penyesalan, hatinya terasa berat mendengar kata-kata adiknya. "Aku tahu, Ri, aku tahu kamu marah. Aku juga marah, tapi... aku nggak tahu gimana cara ngomongin ini sama kamu. Aku nggak mau kamu tambah sakit," jawab Raya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh rasa bersalah.
Rian menunduk, tangannya mengepal erat. "Kak, dia nggak layak disebut 'ayah' kita. Dia udah ninggalin kita begitu aja, nggak peduli sama kita. Kenapa kita masih harus peduli sama dia?" suara Rian mulai bergetar, marah tapi juga penuh kesedihan.
Bunda menghela napas panjang, mencoba menenangkan keduanya. "Rian, Kak Raya, bunda juga nggak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Ayah kalian memang salah, tapi itu tetap bagian dari masa lalu kita. Kita harus terus maju, meski nggak mudah," ujar bunda dengan suara yang lembut, namun jelas terasa ada kepedihan di balik kata-katanya.
Rian menggigit bibirnya, seakan menahan amarah yang begitu kuat. "Tapi, Kak, dia nggak peduli sama kita. Kenapa kita harus ngerasa kasihan sama dia? Kalau dia emang sayang, kenapa dia pergi?" tanya Rian dengan suara bergetar.
Raya menatap adiknya dengan hati yang berat. "Aku juga nggak tahu, Ri. Aku juga nggak ngerti kenapa dia bisa kayak gitu. Tapi yang bisa kita lakukan sekarang adalah menjaga satu sama lain. Kita nggak butuh dia untuk bahagia. Kita punya satu sama lain," ucap Raya, mencoba menenangkan Rian meskipun hatinya sendiri masih dipenuhi kebingungan dan rasa sakit.
Rian menatap kakaknya, kemudian berbalik menghadap bunda. "Aku nggak mau jadi lemah, Kak. Aku nggak mau kita jadi nangis terus karena dia. Aku janji, kita akan lebih kuat tanpa dia. Kita bisa kok, bertiga aja."
Bunda mengangguk perlahan, senyum tipis muncul di wajahnya. "Betul, Rian. Kita akan tetap bersama, apapun yang terjadi. Kita harus kuat untuk masa depan kita."
Rian menatap kakaknya dan bundanya, ada keteguhan dalam matanya. Meskipun marah dan terluka, dia tahu satu hal: keluarga mereka, meski tanpa ayah, tetap bisa bertahan dan bersama.
Bunda mendekatkan dirinya ke kedua anaknya, melingkarkan tangan di sekitar mereka. "Kalian berdua adalah yang terpenting bagi bunda. Kita nggak akan pernah sendiri. Kita punya satu sama lain," kata bunda dengan penuh keyakinan, seakan menegaskan bahwa apapun yang terjadi, mereka akan selalu saling mendukung.
Beberapa saat dalam keheningan, Raya merasa sedikit lega meskipun masih ada luka yang menganga di dalam hatinya. Dia tahu bahwa meskipun mereka tak akan bisa melupakan apa yang telah terjadi, mereka bisa memilih untuk tidak membiarkan masa lalu itu merusak masa depan mereka.
Rian, yang awalnya terlihat kesal dan marah, kini sedikit lebih tenang. "Kita akan tetap bahagia, Kak. Kita bisa jalani hidup tanpa dia. Selama kita ada satu sama lain, itu sudah cukup."
Raya mengangguk, memeluk adiknya dengan erat. Bunda tersenyum, merasa sedikit lebih tenang melihat anak-anaknya mulai menerima kenyataan, meskipun itu tidak mudah. Mereka masih bisa merajut kebahagiaan bersama, meskipun tanpa kehadiran ayah yang seharusnya memberikan perlindungan dan kasih sayang. Dalam hati, bunda berdoa semoga waktu akan menyembuhkan luka ini, dan mereka bertiga bisa menemukan kebahagiaan mereka sendiri.