Xavier, dokter obgyn yang dingin, dan Luna, pelukis dengan sifat cerianya. Terjebak dalam hubungan sahabat dengan kesepakatan tanpa ikatan. Namun, ketika batas-batas itu mulai memudar, keduanya harus menghadapi pertanyaan besar: apakah mereka akan tetap nyaman dalam zona abu-abu atau berani melangkah ke arah yang penuh risiko?
Tinggal dibawah atap yang sama, keduanya tak punya batasan dalam segala hal. Bagi Xavier, Luna adalah tempat untuk dia pulang. Lalu, sampai kapan Xavier bisa menyembunyikan hubungan persahabatannya yang tak wajar dari kekasihnya, Zora!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 : Between Us
Hari-hari berlalu tanpa terasa. Luna dan Xavier benar-benar tenggelam dalam kesibukan mereka masing-masing.
Mereka seperti dua penghuni asing di satu atap. Ketika Xavier pulang ke apartemen, Luna sudah lebih dulu terlelap di kamar. Dan saat Luna bersiap berangkat ke galeri demi persiapan pamerannya, Xavier justru masih tertidur pulas, kelelahan setelah berjaga semalaman di rumah sakit.
Ruang tamu, dapur, bahkan kamar terasa sepi. Hanya aroma samar kopi pagi atau piring kotor di wastafel yang menjadi jejak keberadaan mereka. Tak ada lagi obrolan singkat, tawa kecil, atau pelukan hangat di sela waktu.
*
Acara pembukaan pameran berjalan dengan lancar. Galeri dipenuhi aroma cat minyak dan parfum mahal yang bercampur dengan suara obrolan ringan para tamu. Berbagai lukisan terpajang rapi, memamerkan kisah masing-masing dalam warna-warna yang hidup.
Di antara kerumunan itu, Xavier berdiri diam di depan sebuah lukisan besar. Tatapannya dalam, seolah mencoba membaca cerita di balik setiap goresan kuas. Kemeja putihnya tergulung hingga siku, dan dasinya kendur, tanda ia datang dengan terburu-buru setelah pekerjaannya.
Luna, yang baru saja selesai berbincang dengan seorang kolektor, tertegun begitu melihat sosok itu di tengah galeri. Ia tidak menduga Xavier akan datang. Yang ia tahu, jadwal Xavier hari ini penuh dengan operasi dan kunjungan pasien.
Dengan langkah ringan, Luna menghampiri, senyum kecil mengembang di sudut bibirnya.
"Hei, Dokter Sibuk," sapa Luna, berdiri di samping Xavier.
Xavier menoleh, senyumnya sekilas tapi cukup untuk menghangatkan dada Luna. "Aku curi waktu sebentar," balasnya, suaranya rendah dan serak.
"Kalau ketahuan kau kabur dari rumah sakit demi melihat lukisan, reputasimu bisa rusak," seloroh Luna dengan tatapan menggoda.
Xavier terkekeh pelan, suara tawa yang jarang sekali orang lain dengar. "Untuk yang satu ini, aku rasa risikonya sepadan."
Xavier mengalihkan tatapannya sejenak.
"Aku hampir lupa," katanya, lalu menyerahkan sebuah buket bunga elegan berisi mawar putih dan baby's breath. Sederhana, tapi sangat berkelas.
"Selamat untuk pembukaan pamerannya, Luna," ucap Xavier sambil menyodorkannya.
Senyum Luna melebar, "Terima kasih," gumamnya.
Momen itu, seakan menjadi lukisan hidup yang indah. Tapi keindahan itu hanya bertahan sekejap, sebelum suara hak sepatu menghantam lantai marmer galeri, menarik perhatian mereka berdua.
"Luna... Xavier."
Zora muncul, langkahnya cepat namun tetap anggun. Gaun merahnya mencolok di antara tamu yang lain. Sorot matanya—yang awalnya penuh percaya diri—perlahan berubah ketika melihat buket bunga di tangan Luna dan kedekatan mereka yang terlalu intim untuk sekadar teman.
Luna merapikan bunga di pelukannya, mencoba bersikap biasa saja.
"Kenapa tidak beritahu aku jika kau akan datang," ujar Zora dengan manis, meski suaranya terdengar sedikit menusuk. Ia menggeser tubuhnya hingga berdiri di antara Xavier dan Luna, seolah ingin merebut fokus Xavier sepenuhnya.
Xavier hanya mengangguk singkat. "Sebenarnya aku sedang sangat sibuk, hanya mencuri waktu untuk datang. Jadi tidak sempat memberitahu siapapun."
Sebuah jawaban sederhana, tapi terasa penuh makna di telinga Zora. Jemarinya mengepal kecil, nyaris tak terlihat.
Luna merasakan ketegangan yang tiba-tiba mengental di antara mereka. Ia tersenyum tipis, mencoba memecah suasana. "Aku harus kembali menyapa beberapa tamu." Ia mengangkat buket bunga di tangannya. "Terima kasih sekali lagi, Xavier."
Tanpa menunggu jawaban, Luna berbalik, berjalan menjauh, membiarkan kedua orang itu berdiri di sana.
Tapi sebelum ia benar-benar menghilang di balik kerumunan, ia sempat melirik sekilas. Matanya bertemu dengan mata Xavier—tatapan pria itu tidak mengikuti Zora, melainkan tetap mengarah padanya.
"Sepertinya aku harus kembali ke rumah sakit sekarang," ucap Xavier sambil melirik sekilas ke arah jam di pergelangan tangannya. Suaranya tenang, tapi ada nada tergesa yang tak bisa disembunyikan.
"Secepat ini? Bukankah kau berniat untuk melihat semua lukisan?" tanya Zora, berusaha menyembunyikan kekecewaannya. Ada harap yang jelas di matanya, berharap Xavier mengubah keputusannya.
Xavier hanya mengangkat bahu santai. "Bukankah sudah aku katakan, aku sebenarnya sangat sibuk," jawabnya datar.
Zora tersenyum samar, berusaha memahami.
"Kalau begitu, hati-hati di jalan," ujar Zora lembut.
Xavier membalas dengan anggukan kecil, lalu melangkah pergi, meninggalkan jejak aroma parfum maskulin yang tipis, Zora berbalik menatap Luna yang sedang berada di tengah keramaian, lalu menghampirinya.
"Kalian... memang sedekat itu, ya?" tanyanya dengan suara manis yang dipaksakan.
Luna menoleh, ekspresinya polos. "Hemm, aku rasa iya." jawabnya singkat, lalu tersenyum tipis.
"Kau menyukainya?" tanya Zora lugas, tatapannya tajam menusuk.
Luna yang baru saja meneguk minumannya, nyaris tersedak oleh pertanyaan tak terduga itu. Ia buru-buru menepuk-nepuk dadanya, berusaha menetralisir keterkejutannya.
"Tentu saja tidak," jawab Luna cepat, setelah berhasil menguasai dirinya. "Kami hanya berteman, tidak lebih dari itu."
Zora masih menatapnya curiga, seolah mencari celah dari ucapan Luna. "Kau bisa pastikan itu?" desaknya, ingin memastikan jawabannya bukan sekadar penyangkalan.
"Tentu saja!" Luna mengangguk mantap, seakan tak ada keraguan dalam hatinya.
Dalam pikirannya, Luna begitu yakin bahwa perasaannya terhadap Xavier tak akan pernah berubah lebih dari sekadar teman.
Ya, Luna tahu betul, Xavier memang pria yang memikat—ketampanan yang tenang, sikap dingin yang kadang justru terasa menantang, dan perhatian kecil yang tanpa sadar bisa membuat jantung berdetak lebih cepat.
Tapi bagi Luna, semua itu tak cukup untuk menjatuhkan tembok yang sudah ia bangun selama bertahun-tahun.
Ia memiliki prinsip: hidup bebas, tanpa ikatan, tanpa rasa sakit akibat hubungan.
Komitmen asmara baginya hanyalah jebakan manis yang berujung luka.
Itulah sebabnya, meski sering menggoda Xavier agar membuka hati untuk orang lain, dirinya sendiri tidak pernah berniat untuk melibatkan perasaannya.
"Baguslah," ujar Zora akhirnya, walau nada suaranya terdengar kurang puas. Ia menarik napas pelan, berusaha menenangkan pikirannya yang kalut.
Luna tersenyum santai, lalu menyesap lagi minumannya. Ia tidak tahu mengapa Zora begitu tertarik menggali hubungannya dengan Xavier. Tapi baginya, ini bukan sesuatu yang perlu dipikirkan serius. Xavier tetap sahabatnya. Titik.
"Kalau begitu, kau tak keberatan, kan, kalau aku mencoba lebih dekat dengan Xavier?" tanya Zora, menatap Luna penuh tantangan.
Luna mengangkat bahunya ringan. "Kenapa tidak? Bukankah dia juga butuh seseorang yang bisa membuatnya bahagia?"
Senyum Zora mengembang, matanya kembali berbinar penuh harap.
"Hubunganku dengan Xavier dulu berakhir karena kesalahanku sendiri," katanya, suaranya melembut. "Kau tahu kan, Xavier orang yang sangat pendendam. Meskipun sekarang dia tampak ramah, aku tahu itu bukan berarti dia sudah benar-benar memaafkanku."
Luna mendengarkan tanpa banyak ekspresi. Ia hanya menyeruput minumannya perlahan, membiarkan Zora melanjutkan.
"Aku ingin memperbaiki hubungan kami," ujar Zora lebih lanjut, suaranya penuh tekad. "Dan... sepertinya, aku butuh bantuanmu."
Luna mengerjap, sedikit terkejut. Ia diam beberapa saat, mempertimbangkan permintaan itu. Membantu Zora mendekatkan diri pada Xavier... entahlah, ide itu terdengar aneh di telinganya, tapi juga tidak ada alasan kuat baginya untuk menolak.
Baginya, Xavier tetap teman. Dan jika temannya bisa bahagia, bukankah itu seharusnya jadi hal baik?
"Baiklah," jawab Luna akhirnya, mengangguk kecil. "Aku coba sebisaku."
Wajah Zora berseri-seri. "Terima kasih, Luna. Kau benar-benar baik."
Luna tersenyum santai. "Bukankah sesama teman harus saling membantu?"
To Be Continued >>>
semangaaattt ya thor
Aku dukung 🥰