Aurelia Nayla, tumbuh sebagai gadis lugu yang patuh pada satu-satunya keluarga yang ia miliki: Dario Estrallo. Pria yang dingin dan penuh perhitungan itu memintanya melakukan misi berbahaya—mendekati seorang dosen muda di universitas elit demi mencari sebuah harta rahasia.
Leonardo Venturi. Dosen baru, jenius, dingin, dan tak tersentuh. Tak ada yang tahu siapa dia sebenarnya, kecuali Dario—musuh lama keluarganya.
Yang tak diketahui Dario, kode untuk membuka brankas warisan sang raja mafia justru tersembunyi di tubuh Leo sendiri, dalam bentuk yang bahkan Leo belum ketahui.
Sementara Aurelia menjalankan misinya, Leo juga bergerak diam-diam. Ia tengah menyelidiki kematian misterius ayahnya, Alessandro Venturi, sang raja mafia besar. Dan satu-satunya jejak yang ia temukan, perlahan menuntunnya ke gadis itu.
Dalam labirin rahasia, warisan berdarah, dan kebohongan, keduanya terseret dalam permainan berbahaya.
Cinta mungkin tumbuh di antara mereka,
tapi tidak semua cinta bisa menyelamatka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gelas yang berbahaya
Langit malam tampak seperti lautan gelap yang menelan cahaya. Di sebuah sudut kota, di antara jalanan yang berkilau oleh lampu-lampu jalan dan suara kendaraan yang menderu, berdiri sebuah bangunan bertingkat dengan neon kecil bertuliskan "Velvet Room"—salah satu bar yang terkenal di kalangan elite muda.
Bar itu milik Leonardo Venturi.
Dan setiap malam Sabtu, tanpa absen, Leo akan datang ke sana. Duduk di kursi pojok dekat bar, menyesap minuman favoritnya sembari menatap lantai dansa yang gemerlap.
Malam ini tidak berbeda.
Tapi di tempat lain, ratusan meter dari bar itu, di sebuah rumah tua yang lebih sering dihuni bayangan daripada manusia, Dario tengah berdiri di depan jendela besar. Satu tangannya menggenggam gelas kristal berisi wine merah. Matanya memandang keluar, tapi pikirannya jauh lebih dalam dari yang tampak.
"Sudah terlalu banyak waktu yang terbuang sia-sia. Kali ini aku tidak menginginkan hasilnya."
Pria itu berbicara tanpa menoleh, “Hari ini malam Sabtu," imbuhnya kemudian.
Lia yang berdiri beberapa meter darinya menunduk dalam diam.
“Dia akan ke sana. Kamu tahu tempatnya.”
Lia menggigit bibir. Tangannya yang menggenggam ponsel sedikit berkeringat. Setelah sebelumnya salah satu anak buah Dario memberikan sebuah informasi lain tentang Leo, akhirnya dirinya mengangguk tanda tahu apa yang dimaksud papanya itu.
Bar milik Leo. Bar yang juga selama ini sempat ia dengar dari gosip teman-teman kampus. Tempat yang mewah dan eksklusif, dan bukan tempat yang biasa ia datangi.
Dario berjalan mendekat. Di tangannya kini ada sebuah benda kecil—ampul transparan berisi cairan bening.
“Campurkan ini ke dalam minumannya! Tidak akan membunuhnya, hanya membuatnya tertidur dalam waktu singkat. Cukup untukmu melihat tanda itu dan memotretnya.”
Lia menatap cairan itu dengan ngeri. “Ini... ini terlalu berisiko. Bagaimana kalau—”
“Kamu takut?”
Lia terdiam. Ia memang takut. Tapi lebih takut pada pria di hadapannya. Pria yang selama bertahun-tahun menjadi satu-satunya suara yang mengatur hidupnya.
Dario menyodorkan ampul itu ke tangan Lia. “Jangan gagal. Ingat, semua ini demi membalaskan kematian ibu kamu!"
Kalimat itu sudah terlalu sering Lia dengar. Namun kali ini seperti pisau yang menempel di tengkuk. Lia mengambil ampul itu pelan.
"Baik, Papa."
Velvet Room malam itu ramai. Musik berdentum pelan, para pelayan mondar-mandir membawa nampan penuh gelas kristal. Orang-orang tertawa, bercakap, menari. Tapi di sudut ruangan yang agak tersembunyi, duduklah Leo, mengenakan kemeja hitam dan jas tipis.
Wajahnya tenang, matanya seperti biasa—tajam dan penuh rahasia.
Di tangannya ada segelas whiskey on the rocks. Uap tipis naik dari permukaannya. Tapi Leo hanya menatapnya, belum meminum sedikit pun.
Beberapa pelayan menyapanya ramah. Ia menjawab dengan senyum kecil, sopan namun dingin. Seperti biasa.
Tak ada yang tahu bahwa malam itu akan berbeda.
Lia berdiri di luar Velvet Room, mengenakan mantel panjang warna abu-abu dan gaun hitam sederhana di dalamnya. Ia menarik napas panjang sebelum masuk, menyembunyikan ketegangan di balik senyum tipis. Matanya menyapu ruangan, mencari sosok yang membuat jantungnya berdegup tak karuan.
Dan dia melihatnya. Duduk sendirian, terlihat asing di antara keramaian.
Leo.
Ia terlihat begitu berbeda malam itu. Lebih muda, lebih liar, dan lebih berbahaya dari biasanya. Aura dosen tenangnya seperti menguap bersama asap alkohol dan lampu redup bar.
Lia melangkah mendekat, berusaha menjaga langkahnya tetap ringan. Ia sudah menyelipkan ampul kecil itu di saku gaunnya.
“Pak Leo?” sapanya pelan.
Leo menoleh, matanya terangkat sedikit, tampak terkejut. “Aurelia Nayla. Tempat seperti ini... seharusnya bukan tempatmu.”
“Aku cuma... lewat. Lalu lihat mobilmu di depan,” bohong Lia sambil tersenyum. “Kupikir tak ada salahnya menyapa.”
Leo tertawa kecil. “Duduklah, kalau kamu tidak takut dosenmu mabuk dan mulai ngoceh soal teori filsafat," ucap Leo terdengar seolah bercanda. Namun tidak ada yang tahu dengan isi hati dan pikiran lelaki itu.
Lia duduk, tangannya masih gemetar tipis. Ia menatap gelas Leo di atas meja. Waktu terasa lambat. Suara musik mengabur di telinganya. Ia hanya mendengar detak jantungnya sendiri.
Leo melambai memanggil pelayan. “Satu lagi, untuk dia.”
“Yang ringan saja,” kata Lia cepat.
Leo mengangguk. “Baiklah. Tapi di sini, bahkan yang ringan bisa membuatmu lupa siapa namamu.”
Minuman datang dalam waktu kurang dari dua menit. Dua gelas—satu untuknya, satu untuk Lia. Leo menyingkirkan gelas lamanya dan menyentuh gelas yang baru datang. Ia memainkannya pelan, membiarkan es di dalamnya berputar.
Lia tahu ini momen yang harus ia manfaatkan. Dalam gerakan yang hati-hati, ia merogoh saku dan menyentuh ampul itu. Pelan, nyaris tak terlihat, ia menyelipkan cairan itu ke dalam gelas Leo, menggunakan gerakan tangan yang ia pelajari dari Dario.
Tapi di tengah ketegangan itu, tangannya sedikit bergetar. Ia melirik Leo, takut ketahuan.
Leo sedang menatap ke arah bar, memanggil pelayan untuk meminta tambahan tissue. Satu detik yang cukup. Lia mengaduk minuman itu sedikit dengan sedotan yang tersedia, lalu menjauh.
“Minumanmu,” ujar Leo sembari menyodorkan gelas yang ia pikir untuk Lia.
Lia menatap gelas itu. Sekilas ia ragu.
“Minumlah! Kamu tampak gugup,” ujar Leo santai.
Lia menggenggam gelas itu, menatap cairan di dalamnya, lalu perlahan menyesapnya.
Satu tegukan.
Dua.
Dan dalam hitungan menit, dunia mulai berputar.
Semuanya terasa seperti kabut. Lampu berubah menjadi kilatan tak berbentuk, suara orang-orang menjadi dengung jauh di telinga. Lia mencoba mengatur napas, tetapi tubuhnya terasa ringan, seakan tak lagi menempel ke bumi.
“Pak... aku...”
Leo menatapnya tanpa ekspresi. Ia menggeser gelasnya sendiri menjauh, lalu berdiri.
“Sepertinya kamu salah tempat dalam memainkan permainanmu," ucap Leo sambil berlalu meninggalkan Lia.
Samar tubuh Leo mulai menjauh dari pengelihatan Lia. Dirinya mencoba berbicara, tapi mulutnya sulit digerakkan. Tubuhnya bersandar lemah ke sofa, matanya mulai kehilangan fokus.
Dalam keadaan setengah sadar, ia hanya bisa mendengar suara musik dan aroma parfum khas milik pria yg Akhir-akhir ini terus memenuhi isi kepalanya.
“Aku tidak bisa... kenapa... aku...”
Lalu gelap.
Lia terbangun di sebuah kamar yang asing.
Lembut, hangat, tapi asing.
Selimut abu tua, lampu kuning redup. Tubuhnya masih terasa lemas, tapi pakaiannya masih lengkap. Gaun hitamnya belum berganti, hanya jaketnya yang telah dilepas dan dilipat rapi di kursi dekat ranjang. Sepatunya masih menempel di kaki, meski sebelah agak longgar.
Kepalanya berdenyut pelan.
Ia mengerang sambil memegangi pelipis, mencoba mengingat apa yang terjadi. Bar. Leo. Minuman. Ia… seharusnya mencampur cairan itu ke dalam gelas Leo. Dan…
Matanya melebar.
Tunggu.
Kenapa aku yang tertidur?
Seharusnya… seharusnya Leo yang pingsan.
Ia menatap sekeliling dengan panik. Tak ada siapa-siapa. Hanya kamar bersih beraroma kayu manis dan lemari kecil di sudut ruangan.
Di atas nakas sebelah tempat tidur, ada segelas air putih dan secarik kertas kecil.
Dengan tangan bergetar, Lia mengambil kertas itu dan membacanya.
> “Kamu seharusnya lebih berhati-hati dengan apa yang kamu minum. – L”
Detik itu juga, tubuhnya terasa dingin.
Dia tahu.
Dia tahu!
Tapi... bagaimana? Lia yakin betul, ia memasukkan cairan itu ke gelas yang diberikan untuk Leo. Ia mengingat jelas, ia menyentuh gelas itu lebih dulu. Ia bahkan mengaduknya sebelum menyodorkan—atau… atau apakah mereka bertukar gelas tanpa ia sadari?
Kepalanya berdenyut lebih keras.
Pikiran berputar—penuh lubang yang tak bisa ia isi dengan jawaban.
Lia menarik napas cepat, berusaha menenangkan diri. Tapi rasa malu dan takut menyatu di dada.
Apakah dia memindahkan gelasnya?
Apakah sejak awal Leo sudah curiga?
Atau… apakah ini semua jebakan yang ia jatuh ke dalamnya dengan bodoh?
Ia tak tahu. Dan ketidaktahuan itu membuat tenggorokannya tercekat.
Lia duduk diam di ranjang, menggenggam kertas itu erat-erat. Air putih di sampingnya tetap tak disentuh.
Leo sudah tahu.
Dan sekarang... dia punya satu alasan lagi untuk mencurigai Lia.
Atau lebih buruk—memainkannya.