Inaya tidak pernah menyangka pernikahan yang ia paksakan dengan melanggar pantangan para tetua, berakhir dengan kabar kematian suaminya yang tidak ditemukan jasadnya. Selama dua tahun ia menunggu, berharap suaminya masih hidup di suatu tempat dan akan kembali mencarinya.
Akan tetapi, ia harus kecewa dan harus mengajukan gugatan suami ghaib untuk mengakhiri status pernikahannya.
Fatah yang sudah lama menyukai Inaya akhirnya mengungkapkan perasaannya dan mengatakan akan menunggu sampai masa iddahnya selesai.
Mereka akhirnya menikah atas restu dari Ibu Inaya dan mantan mertuanya.
Akan tetapi, saat mereka sedang berbahagia dengan kabar kehamilan Inaya, kabar kepulangan Weko terdengar. Akankah Inaya kembali kepada Weko dan bercerai dengan Fatah atau menjalani pernikahan dengan bayang-bayang suami pertamanya?
.
.
.
Haloo semuanya, jumpa lagi dengan author. Semoga semua pembaca suka..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebelum Menikah
Prosesi adat yang sudah dilakukan sejauh ini adalah mengetuk pintu, lamaran, dan membalas lamaran. Sebelum menikah, ada yang perlu dilakukan yaitu pingit1, ater-ater2, manaqib3 dan midodareni4.
Dengan adanya rangkaian acara tersebut, Inaya mengambil cuti selama 10 hari dan ia akan di pingit selama 3 hari. Selama dipingit, Inaya tidak diperbolehkan masuk ke area dapur atau membantu proses memasak agar tidak mempengaruhi aura pengantin saat pernikahan nanti.
Inaya menurut saja dan dirinya membantu para sepupu yang menyiapkan ater-ater di ruang tamu dan mencatat siapa saja yang akan diberikan ater-ater tersebut. Ater-ater dilakukan dua hari sebelum hari pernikahan.
Sebelumnya Inaya sudah memesan 500 undangan yang sudah dikirimkan oleh para sepupunya ke kenalan dan saudara jauh. Untuk ater-ater, selain nasi dan lauk pauk, Inaya juga memesan roti untuk keluarga jauh agar tidak basi selama proses pengantaran.
“Undangan kemarin masih ada sisa tidak, Na?” tanya sepupu Inaya, Yuni.
“Masih sekitar 150-an.”
“Bawa sini, sekalian diantar dengan roti jadi yang ngantar tidak perlu banyak ngomong.”
“Iya.” Inaya masuk kamar dan mengambil sisa undangan.
“Roti kamu pesan berapa?”
“150. Ibu Cuma minta 100 kemarin, tetapi aku lebihkan 50 siapa tahu ada yang kurang karena katanya, Mbak Inem minta beberapa untuk tetangganya yang pernah disumbang sama Ibu waktu punya acara.”
“Iya, Mur juga minta beberapa untuk keluarganya.”
“Kamu atur saja. Kalau tidak cukup bisa dikasih nasi saja.”
“Ya.”
“Tenda sama panggung bagaimana, Na?” tanya sepupu Inaya yang lain.
“Besok sore datangnya, Kang karena hari ini masih ada yang sewa.”
“Ya sudah. Sekalian besok kami juga mau mendirikan tarub5.”
“Ini uang untuk beli bambu dan pisangnya, Kang. Pisangnya ada di tempat Mbah Rok, belum ditebang.”
“Uang bensin sudah kamu berikan?”
“Belum. Ini sekalian Kang Padi yang bagikan.”
“Oke!”
Inaya yang fokus di depan, tidak mendengar beberapa tetangga yang membantu di belakang sedang membicarakannya diam-diam. Mereka merasa acara yang akan dilakukan terlalu memaksakan karena mengingat keadaan keluarga Inaya yang kurang mampu.
“Inaya sudah kerja dan gajinya lumayan, tabungannya banyak.” Bisik salah satu dari mereka.
“Gaji kerja di koperasi itu seberapa? Bisa nabung sebulan 500 ribu itu sudah Syukur.”
“Apa dia dapat uang lamaran banyak?”
“Mungkin saja, calonnya kan orang miyang.”
“Miyang yang sebulanan itu hasilnya lumayan, bisa dua digit sekali miyang!”
“Iya. Mungkin saja.”
“Lagipula, ini kesempatan Mbah Ranti balik modal.”
“Iya. Kalau tidak buat acara seperti ini, tidak dapat sumbangan banyak nanti.”
“Tapi dengar-dengar semua belanjaan masih ngutang di tempatnya Pur.”
“Oh, bisa jadi habis acara baru bayar pakai uang sumbangan.”
“Atau bisa juga Inaya ambil pinjaman di koperasinya.”
“Benar juga.”
Inaya mungkin tidak mendengarnya, tetapi Ranti mendengar bisik-bisik mereka. Ranti memilih untuk diam menerima semua spekulasi mereka. Kenyataannya, Ranti juga penasaran dengan uang yang Inaya berikan kepadanya untuk belanja.
Mas Weko: Bagaimana ater-aternya, Dek?
Inaya: Alhamdulillah lancar, Mas. Nanti akan ada yang mengantar ke sana. Berapa banyak keluarganya, Mas?
Mas Weko: Sebentar.
Mas Weko: 20 rumah saja, Dek.
Inaya: Oke!
Mas Weko: Kamu sedang apa?”
Inaya: Ini bantu-bantu. Mas sendiri sedang apa? Apa sudah makan siang?
Mas Weko: Sedang membayangkan kamu, Dek. Kangen.
Inaya: Gombal!
Mas Weko: Beneran, Dek!
“Na, bisa minta uang rokok?” tanya Yuni.
“Berapa?”
“Beli satu slop sekalian saja. Nanti juga perlu untuk manaqiban dan lek-lekan6.
“Iya, Mbak.” Inaya menyimpan ponselnya ke dalam saku dan masuk ke kamar untuk mengambil uang.
Setelah mendapatkan uang, Yuni menyuruh suaminya untuk membeli rokok satu slop. Inaya kembali membantu memasang tutup nasi dan lauk yang telah ditata di kotak nasi.
Acara hari itu berjalan lancar dan semuanya sudah dikirim ke Alamat yang sudah ditetapkan. Acara di hari berikutnya adalah pemasangan tenda dan pelaminan, pemasangan tarub, manaqib dan midodareni.
Selesai melaksanakan sholat dzuhur, Inaya disiapkan untuk acara midodareni. Mulai dari dimandikan dengan air yang sudah dicampur dengan bunga 7 rupa, kemudian di ratus7.
Baru setelah itu di makeup dan mengenakan kebaya. Kali ini Sri mengenakan hijab untuk Inaya sesuai permintaan Inaya yang menginginkan pakaian tradisional berhijab.
Mas Weko: Bisa kirimkan foto?
Inaya: Mas sudah pernah lihat.
Mas Weko: Tetap mau lihat.
Inaya mengirimkan foto pantulannya di cermin kepada Weko.
Mas Weko: Cantik!
Inaya: MasyaAllah..
Mas Weko: MasyaAllah..
Inaya tidak lagi membalas Weko karena manaqib sudah dimulai. Di dalam kamar, Inaya menyimak pembacaan Al-Qur’an sampai manaqib selesai, barulah ia diajak Sri keluar dan duduk di pelaminan untuk menyalami beberapa tamu yang khusus datang malam itu.
Beberapa sepupunya mengambil gambar dan mengajak Inaya foto bersama. Tak lupa, Inaya meminta mereka mengirimkan hasil foto ke ponselnya.
Sekitar pukul 8, Sri meminta Inaya untuk bebersih dan istirahat agar besok bisa bangun dengan wajah yang segar. Sri bahkan menggaris bawahi kalau Inaya tidak boleh begadang.
Tapi kenyataannya Inaya tidak bisa tidur karena rumah yang hanya disekat dengan papan dan triplek itu, tidak bisa meredam suara riuh di luar dan di dapur. Ia akhirnya berbalas pesan dengan Weko sampai tertidur di Tengah malam.
.
.
.
.
.
Disclaimer: Setiap daerah memiliki adat dan tradisi masing-masing!
Pingit1: tradisi Jawa, di mana calon pengantin Wanita dilarang keluar rumah atau bertemu dengan pengantin laki-laki sebelum pernikahan.
Ater-ater2: tradisi mengirimkan makanan sebelum hari pernikahan yang juga merupakan undangan untuk kerabat, tetangga dan orang-orang yang dipilih. Di daerah lain biasa disebut dengan “tonjokan” atau “punjungan” atau “kenduri”.
Manaqib3: manaqiban, sebuah acara hajatan yang dilakukan dengan pembacaan Al-Qur’an yang dihadiri orang-orang tahfiz Qur’an. Hajatan ini diniatkan untuk tolak bala dan meminta keberkahan acara pernikahan.
Midodareni4: rangkaian upacara adat yang dipimpin oleh dukun nganten untuk pengantin Perempuan di malam sebelum pernikahan.
Tarub5: tarub pengantin adalah dekorasi menjelang pernikahan yang di pasang di depan pintu rumah pengantin. Dengan menggunakan bambu sebagai tiang dan daun kelapa sebagai atap. Adapun hiasannya berupa janur kuning menjuntai dan Sebagian dianyam, pisang raja beserta pohonnya di kanan dan kiri tiang, pohon tebu, ranting beringin, kelapa gading muda (cengkir), padi setangkainya, yang masing-masing memiliki makna dalam pernikahan.
Lek-lekan6: melek atau membuka mata atau begadang. Tradisi begadang di malam sebelum pernikahan setelah acara midodareni.
Ratus7: penguapan tubuh yang bertujuan untuk membersihkan tubuh dan membuat tubuh lebih bugar atau biasa disebut timung (Kalimantan).