Menunggu selama empat tahun lebih tanpa kepastian, Anya bahkan menolak setiap pinangan yang datang hanya untuk menjaga hati seseorang yang belum tentu ditakdirkan untuknya. Ia tetap setia menunggu, hingga sebuah peristiwa membuat hidupnya dan seluruh impiannya hancur.
Sang lelaki yang ditunggu pun tak bisa memenuhi janji untuk melamarnya dikarenakan tak mendapat restu dari keluarga. Di tengah hidup yang semakin kacau dan gosip panas yang terus mengalir dari mulut para tetangga, Anya tetap masih berusaha bertahan hingga ia bisa tahu akan seperti apa akhir dari kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rijal Nisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Viral
Anya dan Windi bergerak cepat menuju markas tempat Arya disekap.
Saat ditemui, Arya terus saja memamerkan senyumnya, dia tersenyum seolah sudah begitu puas.
Perasaan Anya tidak tenang saat melihat senyuman cowok itu.
"Ngapain kamu senyum seperti itu?" tanya Windi heran.
"Kenapa? Kalian tidak senang melihat senyumanku, tentu saja aku tersenyum senang, karena sekarang aku bebas," kata Arya sambil melirik ke arah Anya yang masih berdiri di ambang pintu.
"Bebas? Enggak usah mimpi lo, denger ya dedek Arya! Lo tahu siapa gue kan?" tanya Windi dengan menaikkan sebelah alisnya.
"Maksudnya apa?" dia balik bertanya, senyuman Windi terlihat menakutkan dan itu membuat senyum Arya hilang seketika.
"Anya, perlihatkan surat perjanjian itu!"
Barulah kini Anya berjalan lebih dekat dengan Arya, ia membuka tali yang mengikat tangan cowok itu dan kemudian memperlihatkan surat perjanjian yang dibawanya.
Mereka berdua sudah mempersiapkan itu jauh hari sebelum menemui Arya di markas. Mereka tahu kalau Arya pastinya tidak akan menepati janji tanpa jaminan.
"Ini, lo tanda tangan di sini! Kalau lo lari sebelum hari pernikahan, maka keluarga lo yang akan menanggungnya," kata Windi sembari meletakkan pulpen itu di depan Arya.
"So .... Kalian nyari tau tentang keluarga aku? Kalian mau ngancam aku? Jangan macam-macam sama keluargaku!" sentak Arya mulai marah, ia menggenggam kedua tinjunya.
kalau ingin melawan Anya dan Windi sekarang, tentu saja dia tidak akan bisa, karena Windi dan Anya bukan tandingannya. Lagian, di sana juga ada beberapa anak buah Windi yang berjaga.
Terpaksa Arya mengalah dan menandatangani surat itu. Adik dan ibunya menjadi jaminan sekarang, Arya tidak boleh bertindak sesuka hati, dia harus menikahi Sasha.
"Seharusnya kamu jadi cowok yang bertanggung jawab, Ar. Kamu yang sudah menghamili Sasha, jadi kamu harus bersedia menikahinya," ucap Anya.
Arya memelototi Anya, dia marah karena dipaksa menikahi adiknya. Sedangkan Arya masih belum ingin menikah, dan sekarang dia juga sudah tidak suka sama Sasha. Dari awal dia juga enggak pernah punya niat buat seriusin Sasha, cuma Sasha saja yang terlalu berlebihan.
"Semuanya udah beres kan, aku mau pulang sekarang!" tanpa menjawab omongan Anya, dia langsung pergi berlalu dari sana dengan membawa amarah tertahan dan muka yang penuh lebam.
Setelah kepergian Arya, suasana jadi sepi. Anya terduduk lemah di atas lantai.
"Apa kita terlalu jahat dengan melakukan ini semua, Win?"
"Ini keputusan terbaik kalau emang lo enggak mau cowok brengsek itu nipu kita. Gue enggak yakin Arya mau menikahi Sasha, itu sebabnya gue ngajak lo bikin surat perjanjian ini, dengan begitu dia akan berpikir seribu kali sebelum bertindak."
"Gimana kalau dia tipe orang yang nekat? Enggak peduli sama keluarganya, dan dia kabur gitu aja tanpa mikirin konsekuensinya? Lagian, aku juga yakin kalau Arya tahu kita ini cuma gertak sambel doang," cicit Anya dengan suara yang mulai parau.
Dia takut hal itu bakal terjadi, kalau Arya kabur maka Sasha akan menanggung beban ini sendiri.
"Jangan mikirin yang enggak-enggak, Anya. Sekarang lo fokus aja sama diri lo sendiri, soal Sasha kita udah bantu dia sampe di sini. Selanjutnya biar bokap ama nyokap lo yang ngurusin," kata Windi, ia mengusap pelan punggung Anya.
Anya beruntung, ia masih punya Windi yang setia di sisinya.
"Anya," panggil Windi, "kalau boleh tau, janin yang ada di kandungan Sasha udah berapa bulan?"
Anya menghela napas panjang, ia menatap Windi yang masih menunggu jawaban darinya. "Sudah masuk tiga bulan, Win." Anya tertunduk lesu.
"Hah?" Windi masih sulit untuk percaya akan apa yang didengarnya. Dia berputar-putar dan mondar mandir di depan Anya, dengan memijit pelipisnya, mendadak kepalanya pusing.
"Tiga bulan? Sudah selama itu dan kalian baru tahu sekarang?"
"Win, kamu tahu sendiri kan Sasha itu gimana?"
Hampir saja Anya menangis lagi, hatinya sangat kecewa dengan perbuatan sang adik.
****
Sasha yang tidak tahu apa yang sedang direncanakan oleh kakaknya dan Windi, begitu bertemu Arya di depan warung makan padang, dia langsung memberondong Arya dengan berbagai macam pertanyaan, tidak hanya itu, Sasha yang sudah terlanjur sakit hati juga dengan tanpa pikir panjang mengatai Arya sebagai cowok brengsek yang enggak punya hati.
"Brengsek lo, Ar!" ucap Sasha penuh emosi.
"Kamu ngapain marah-marah di sini?" Mereka masih bicara dengan suara ditekan, meski ada emosi yang terlihat di mata keduanya.
"Kamu sengaja ngehindar karena enggak ingin bertanggung jawab, iya kan?"
Arya mengedarkan pandangannya kiri kanan, keadaan masih tenang, sepi, dan belum terlalu banyak pembeli. Masih aman untuk membicarakan persoalan yang cukup rahasia itu, dengan menggenggam erat pergelangan tangan Sasha dan mata melotot, ia berkata pelan. "Kalau boleh jujur, gue emang enggak mau tanggung jawab."
"Dasar cowok brengsek!" pekik Sasha bersamaan dengan tamparan keras dilayangkan ke wajah Arya.
"Cih! Siapa juga yang mau sama gadis murahan kayak lo? Lo lihat ini!" Arya menunjukkan beberapa bekas luka lebam di wajahnya akibat perkelahiannya dengan Anya dan anak buah Windi. "Ini semua disebabkan oleh ulah kakak lo yang sok alim itu, dan gue rasa lo berdua emang cocok jadi kakak beradik, sama-sama murahan!" pungkasnya dengan meludah ke samping Sasha.
PLAK!
Sekali lagi, tamparan itu kembali mendarat di wajahnya yang sudah memar.
Beberapa orang sudah berkerumun di dekat mereka, keduanya terlibat cekcok mulut dan obrolan yang kian memanas juga menegangkan. Keduanya tidak peduli lagi pada keadaan sekeliling, hanya butuh waktu untuk meluapkan emosi terpendam itu.
Arya yang saat itu juga masih menyimpan amarah pada Windi dan Anya, ia menjadikan Sasha sebagai wadah untuk menumpahkan itu semua.
"Tampar aja sampe lo puas, lagian tamparan ini juga tidak seberapa dengan malu yang akan lo tanggung ke depannya!" terang Arya dengan seringai liciknya.
"Benar-benar *nj*ng lo, Arya! Lo udah janji, dan saat semuanya udah kek gini, lo malah mau ninggalin gue! Dasar cowok pengecut lo!" teriak Sasha, cacian dan makian terus terdengar dari mulutnya.
Arya juga tidak tinggal diam saja, dia pun membalas setiap omongan kasar yang keluar dari mulut Sasha.
"Lo seharusnya tahu, dari awal gue emang cuma niat main-main. Gue enggak serius, lo aja yang kepedean dan kegatelan," ucap Arya sinis.
"Kegatelan? Lo bilang gue kegatelan? Setelah enak-enak dan berhasil ngambil keuntungan dari gue, sekarang lo mau pergi gitu aja dan malah ngatain gue kegatelan. Lo sadar enggak? Lo itu juga sama, kalau lo bisa nahan diri, ini juga enggak bakal terjadi!"
Kemarahan Sasha semakin menjadi-jadi, orang-orang yang berkumpul di sana semakin banyak, dan mereka tidak segan-segan untuk mengabadikan moment tersebut, ada juga yan sengaja live di sana supaya kejadian itu viral.
Hanya dalam hitungan menit video pertengkaran Sasha dan Arya sudah dilihat oleh banyak orang di luar sana.
Arya segera memanfaatkan moment itu untuk membuat Sasha malu, dia tidak peduli jika itu juga membawa namanya sekaligus, yang pasti dia tidak akan tinggal diam. Terlebih lagi setelah diberi ancaman oleh Anya dan Windi, cowok itu bukanlah tipe orang yang langsung melempem setelah mendengar gertakan dari musuhnya.
"Lo enggak usah numpahin kesalahan ke gue, Sha! Kalau lo bisa jaga diri, ini enggak bakal terjadi. Lo sendiri yang mau, mana ada cowok yang enggak mau kalau dikasih gratis? Cuma cowok bego dan sok suci yang bakal bilang enggak."
Bisik-bisik mulai terdengar dari setiap mulut yang menonton perdebatan mereka.
"Eh, ada apa sih?" tanya seseorang berbisik.
"Kayaknya si cewek hamil, dan cowoknya enggak mau tanggung jawab."
Tidak hanya pertanyaan, bahkan tatapan kejam, penuh intimidasi, rasa jijik, dan semua itu tertuju kepada Sasha.
Dalam keadaan yang sudah tidak kondusif itu, Sasha menjauh dari kerumunan. Ia pergi karena sudah tidak mau mempermalukan dirinya sendiri, seolah baru tersadar sekarang, dan dia menyesal kenapa nekat marah-marah di sana.
Sekarang dirinya jadi viral, jadi bahan gunjingan seluruh penduduk di kota itu.
***