Devon merasa ia jatuh cinta pada gadis sebatang kara, setelah perjalanan cintanya dengan berbagai jenis wanita. Gadis ini anak jalanan dengan keadaan mengenaskan yang ia terima menjadi Office Girl di kantornya. Namun, Hani, gadis ini, tidak bisa lepas dari Ketua Genknya yang selalu mengamati pergerakannya. Termasuk pada satu saat, kantor Devon mengalami pencurian, dan terlihat di cctv kalau Hani-lah dalang pencurian tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Pencurian
“Bang Jackson bilang keperawanan saya harganya 20 juta, Bang.” begitu polosnya Hani menjawab pertanyaan Devon, yang semua juga tahu kalau mendengar dari intonasi bicaranya, kalau kalimat itu sebenarnya hanyalah rayuan.
Tapi jawaban Hani tentunya lebih mengagetkan daripada prediksi Devon.
“Bang Jackson? Ketua geng kamu?” tebak Devon.
“Eh…” Hani menunduk, ia sadar kalau terlalu banyak bicara. Seharusnya identitas Jackson tidak diumbar semudah ini.
“Jackson itu nama asli?” tanya Devon lagi.
“Saya… nggak tau Bang.” desis Hani, ia pun mengerutkan keningnya. Benar juga, untuk ukuran cowok Indonesia, kecuali mungkin daerah Indonesia Timur atau Chindo, nama Jackson terdengar janggal.
Seingat Jackson, si waitress yang waktu itu tersenyum padanya dan mengembalikan ponselnya, adalah pemuda dengan raut wajah ramah khas Asia, berkulit putih, tubuhnya memang tidak setinggi Devon, namun bisa dilihat perbandingannya dengan laki-laki di sekitarnya. Intinya good looking tapi bukan orang asing.
Devon ingat ada anting perak di telinga kirinya. dan sebuah tato di leher samping.
“Kalau keperawanan kamu saya beli, kamu bisa keluar dari jalanan itu dan bisa tinggal dengan saya?” tanya Devon lagi.
“Katanya, setelah itu saya akan dijadikan istri Bang Jackson.” jawab Hani.
Devon mendengus sambil memaki pelan.
“Kalau begitu, kamu bisa tanyakan ke Jackson itu, kalau saya berminat untuk memiliki kamu. Dia mau lepas harga berapa?”
Kalau wanita normal, pasti akan merasa terhina, karena secara langsung Devon terang-terangan menganggapnya barang, atau budak. Walaupun niat Devon hanya membebaskan Hani dari kukungan geng-nya, dan Hani tanpa beban menjawab semua pertanyaan karena ia begitu naif.
“Saya… takut bang.” desis Hani pelan.
“Kalau begitu, kamu bisa bilang ke dia, kalau saya mau bertemu untuk membicarakan mengenai keperawanan kamu, saya bersedia membayar lebih besar dari harga penawaran.”
“Kenapa Bang?”tanya Hani.
itu pertanyaan bagus, batin Devon.
ia sendiri tidak tahu kenapa.
banyak cewek-cewek jalanan berkeliaran, tapi ia tertarik pada Hani.
Dan sejujurnya yang tipe naif seperti ini bukan tipe wanita kesukaan Devon. Terlalu polos dan tidak bisa dipermainkan. Gampang baper, manja, kekanak-kanakan, dan selalu mengikuti kemana-mana. Tipe yang mudah disakiti.
Tapi kenapa sejak awal melihatnya, sejak ia salah tuduh, ia sudah merasa kagum dengan Hani.
“Kenapa saya? Abang kan bisa menawar perempuan lain yang jauh lebih cantik dari saya. Saya lihat banyak wanita yang dekat dengan Abang, dan mereka semua seperti Barbie.” kata Hani.
“Barbie…” Devon memicingkan mata. entah wanita mana yang Hani maksud, tapi menurut Devon, kalau yang Hani maksud adalah Indry dan Lily, jelas berbeda dari Barbie. Indry lebih ke latina, dan Lily spek K-Pop Brown Eyed Girl.
“Juga… saya tidak terawat. Bau pula. Miskin. Jarang keramas bang.” tambah Hani minder.
“Harusnya nggak 20 juta dong ya.” kekeh Devon, ia hanya menggoda Hani sebenarnya. Tapi Hani langsung cemberut.
Bisa insecure juga dia ternyata.
“Makanya saya tanya kenapa…” gumam Hani.
Devon menunduk dan mengelus pipi Hani. “Yang namanya suka, kadang tidak bisa terjawab.Namanya Hati, bisa sepersekian detik dibolak-balik Yang Maha Kuasa.” bisik Devon.
Hani menarik nafas panjang dengan gemetar.
Astaga laki-laki ini…
Kalau dibandingkan dengannya yang mungil, jelas Devon bagai raksasa dengan segala keperkasaannya. Tidak sebesar Pak Zaki, pikir Hani. Tapi jelas lebih memikat.
“Abang ini… hanya ingin mempermainkan saya.” bisik Hani ragu.
“Wah wah,” kekeh Devon. Pria itu menegakkan badannya. Ia tidak ingin menyentuh Hani lebih jauh. Bukan saatnya, pikir Devon.
Ia mendekatkan wajahnya ke Hani karena ingin tahu, seperti apa kondisi Hani saat ini.
Dan dari kerutan di kening gadis itu, jelas Hani sedang banyak pikiran.
Ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman, dan bukan masalah seksual. Tapi yang lebih rumit dari itu.
Mangsanya ini tidak takut padanya karena memikirkan hal lain.
“Bilang Jackson, saya tertarik dengan tawarannya.” kata Devon. “Sekarang… kalau kamu mau pulang, kita bareng saja ke bawah ya?”
“Ruangannya harus saya bersihkan.”
“Besok kamu datang lebih awal.” kata Devon.
“Adik saya sedang sakit.”
“Setelah bersih-bersih, kamu bisa pulang sebentar.”
Hani akhirnya mengangguk.
Dan saat mereka berpisah di samping gedung itulah, Devon mengecup punggung tangan Hani, dan terlihat oleh Jackson.
**
Tentu saja Hani kembali sekitar tengah malam ke kantor.
Saat itu sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Hani dengan hoodie dan maskernya, masuk ke area tangga darurat diikuti Ical Cs. Mereka masuk ke ruang Janitor dan Hani membagi-bagikan seragam Office Boy untuk penyamaran..
Mereka sesaat mengagumi interior gedung itu. Bagaikan istana besar yang modern, namun klasik.
“Wooaaah edaaan! Ini berapa duit yak?!” tanya Asep sambil menunjuk lampu kristal di tengah lobby.
“Katanya bisa puluhan miliar.” kata Hani. Ia juga dengar nominal itu dari sesama Office Girl.
“Miliar itu apa?” tanya Ical.
“Jumlah duit. Lebih gede dari juta kayaknya.” kata Anton
“Nolnya berapa? Bisa beli apa?”
“Nolnya gue nggak tau berapa, tapi nggak habis tujuh turunan.”
Hani juga tidak tahu pasti puluhan miliar bisa untuk membeli apa saja, baginya 20 juta saja sudah sangat banyak.
Sesuai rencana Jackson, malam ini mereka hanya melihat-lihat saja. Apa yang akan dicuri, apa yang bisa ditukar, apa yang kira-kira kalau diambil tak ketahuan, dan dimana letak CCTV dan penjagaan.
Hani sudah mempelajari letak cctv pengintai. Ia sengaja membawa Ical Cs ke letak yang merupakan sudut mati, tidak terlihat oleh tim pemantau.
“Bang jangan ke sana, lo mepet sini.” desis Hani sambil mencegah Asep.
“Ngapa? kagak ada cctv nih!” protes Asep.
“Ada cctv nempel di lampu plafon.”
“Wih! CCTV tersembunyi?!”
“Iya…” gumam Hani.
Sebenarnya mereka sudah dari tadi terpantau CCTV, tapi selama mereka tak mengambil apapun, tak akan diperkarakan. Hanya terlihat sebagai kumpulan pekerja yang sedang membersihkan ruangan.
Walaupun memang ganjil karena di jam segitu seharusnya mereka tidak berada di gedung ini. Petugas akan memeriksa laporan malam ini sekitar lusa, sepanjang tidak ada laporan kehilangan. Dan sejauh pengamatan Hani, dari jumlah galon yang berkurang setengah, kartu domino, game di ponsel, beberapa slot rokok yang kosong, bungkus kopi saset di tempat sampah, sudah pasti para penjaga sedang tidak terlalu memperhatikan aktivitas malam hari.
Bahkan bisa jadi mereka sekarang sedang tidur nyenyak.
Terlalu bergantung ke teknologi, tidak terlalu baik juga sepertinya.
“Oke, dah cukup.” kata Asep setelah satu jam mereka mengamati. “Gue besok bawa barang-barang. Udah siapin beberapa incaran. Pagi kita brifing sama Bang Jackson sebelum ngamen.” katanya.
Hani hanya mengangguk pelan.
Ia kepikiran soal Farid.
Hatinya sangat tidak tenang. Karena seharian, Jackson melarangnya melihat Farid.
🙄🙄
emang ada ya pesugihan codot ngising 🤣🤣🤣
semuuuaaaa bab menyenangkan dan menghibur.makasih Madam 🥰🥰
semangat sehat selalu jeng septi....