Jodoh adalah takdir dan ketetapan Tuhan yang tidak bisa diubah. Kita tidak tahu, siapa, di mana, dan kapan kita bertemu jodoh. Mungkin, bisa saja berjodoh dengan kematian.
Kisah yang Nadir ditemui. Hafsah Nafisah dinikahi oleh Rashdan, seorang ustaz muda yang kental akan agama Islam. Hafsah dijadikan sebagai istri kedua. Bukan cinta yang mendasari hubungan itu, tetapi sebuah mimpi yang sama-sama hadir di sepertiga malam mereka.
Menjadi istri kedua bertolak belakang dengan prinsipnya, membuat Hafsah terus berpikir untuk lepas dalam ikatan pernikahan itu karena tidak ingin menyakiti hatinya dan hati istri pertama suaminya itu. Ia tidak percaya dengan keadilan dalam berpoligami.
Mampukah Hafsah melepaskan dirinya dari hubungan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Windersone, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dia Datang ke Sini?
🍃🍃🍃
Usai mengenakan jilbab segi empat yang cukup panjang, Halma keluar dari kamar dengan mengabaikan Rashdan yang masih merapikan jubah putih yang baru terpasang di tubuh pria itu. Halma menghampiri pintu kamar Hafsah, mengetuk beberapa kali pintu bercat kuning kecoklatan itu sambil berseru memanggil nama gadis tersebut.
Namun, sahutan tidak kunjung terdengar seperti hari-hari sebelumnya. Halma menggenggam daun pintu dan mendorong pelan sambil merasakan apakah pintu itu dikunci atau tidak. Dan, ternyata pintu dalam kondisi tidak terkunci.
Kondisi kamar yang didapati Halma di pagi itu hanya kekosongan. Kasur maupun barang-barang di atas meja tertata rapi.
Tidak sengaja mata Halma mendapati selembar kertas yang ditulis Hafsah semalam. Wanita itu membaca kertas tersebut yang membuat kedua bola matanya membelalak kaget dan segera keluar dari kamar bersama kecemasan.
“Mas …!” Halma membawa kertas tersebut kepada Rashdan yang masih berada di kamar sebelah.
“Hafsah kembali ke kampungnya. Dia meninggalkan pesan ini,” ucap Halma. “Tidak. Apa yang akan dipikirkan orang tuanya nanti? Kamu segera ke kampung Belas Raya. Cepat!” desak Halma dalam kecemasan.
“Pagi ini ada acara di masjid. Aku harus menghadirinya. Nanti aku ke sana setelah acara itu selesai.”
“Tapi ….”
“Tenang. Semua akan baik-baik saja,” ucap Rashdan, yang sebenarnya pria itu juga tidak tenang memikirkannya. Namun, ia berusaha terlihat tenang di hadapan istrinya itu agar tidak memprovokasi perasaan Halma.
***
Rashdan duduk bersebelahan dengan Raihan di masjid yang ada di pondok pesantren itu. Mereka mendengarkan kajian dari seorang ustaz internasional yang namanya sudah melambung di mana-mana. Sesekali Raihan melirik Rashdan yang diam tidak seperti biasanya, tampak tidak fokus.
“Kakak kenapa?” tanya Raihan dengan berbisik.
“Tidak apa-apa.” Pria itu tersenyum paksa untuk menyembunyikan rasa cemas.
Tiga jam acara itu berlangsung, akhirnya berada puncak acara juga. Ustaz terkenal itu saling berjabat tangan dan berpeluk di akhir acara bersama Rashdan sebagai sesama saudara muslim. Ketika itu para santri yang ada di masjid bergantian meninggalkan rumah ibadah tersebut.
“Terima kasih telah datang ke sini Ustaz,” ucap Rashdan.
“Sama-sama. Ini kunjungan yang saya nanti-nanti. Lain kali saya mungkin akan ke sini lagi. Tapi, sekarang saya harus pergi karena ada urusan lain,” ucap pria berpeci hitam dan berjubah putih dengan sorban yang melilit lehernya.
Rashdan menganggukkan kepala, lalu merangkul punggung pria itu sambil berjalan mengantarnya keluar dari masjid. Diperhatikan pria itu mobil ustaz terkenal itu pergi dari kawasan pesantren. Barulah Rashdan bergegas kembali ke rumah, mengajak Mur ke kampung Belas Raya untuk menjenguk Hafsah.
“Kakak kelihatannya cemas. Masalah apa yang dihadapinya?” Raihan memperhatikan langkah Rashdan yang cepat, berjalan membelakangi keberadaannya.
Raihan menghampiri Halma yang baru keluar dari masjid, wanita itu juga berada dalam ekspresi dan gelagat yang sama.
“Kenapa, Kak? Aku juga melihat Kak Rashdan bersikap aneh seperti Kakak sekarang. Apa terjadi sesuatu?” tanya Raihan, penasaran.
Halma sadar dengan tingkahnya. Wanita itu berusaha menetralkan perasaan cemas di hadapan sang adik dan mencari alasan untuk menutupi kebenaran yang masih ingin disembunyikan dari Raihan.
“Kakak meninggalkan Husein bersama salah satu santriwati tadi. Kakak takut Husein rewel. Kalau begitu, Kakak kembali ke rumah.” Halma lanjut berjalan mengikuti jejak Rashdan yang sudah sampai di kediaman mereka.
“Tunggu!” Raihan kembali menahan kakaknya itu berjalan. “Emangnya Hafsah di mana? Oh iya, aku juga tidak melihatnya sejak tadi pagi.”
“Hafsah sudah kembali ke kampungnya.” Halma lanjut berjalan.
“Tunggu, Kak!” Pemuda itu kembali membuat Halma berhenti berjalan setelah wanita itu tiga kali melangkah. “Hafsah siapa? Kenapa dia tinggal bersama kalian?” tanya Raihan, mengajukan pertanyaan yang sejak kemarin dipendam olehnya.
“Ustazah …! Ustaz Rashdan memanggil ustazah!” seru seorang santriwati dari jarak lima meter.
“Kakak ke rumah dulu.” Halma tidak menjawab pertanyaan Raihan.
Wanita itu menghampiri santriwati itu, merangkul bahu gadis remaja itu dari belakang, berjalan beriringan bersama menuju kediamannya.
***
Suara mobil dari luaran rumah mengundang pandangan Hadid ke pintu yang terbuka lebar, pria itu tengah duduk di bangku ruang tamu untuk membuang suntuk setelah beberapa hari terbaring sakit di kamar sejak kepergian Hafsah ke kota.
Dilihat Hadid mobil yang sama seperti mobil di hari Hafsah dilamar, itu milik menantunya, Rashdan. Pria berjubah putih itu keluar bersama Mur, berjalan menuju pintu di mana di ambang pintu mereka mengucapkan salam.
“Assalamualaikum!”
“Wa'alaikumussalam …!” jawab Hadid dengan suara terdengar serak.
“Siapa, Mas?” tanya Rianti sambil keluar dari dapur dengan celemek kotor dinodai tepung terpasang di tubuhnya.
Wanita paruh baya itu tercengang kaget, laku tersenyum. Rianti kembali ke dapur sambil melepaskan celemek di tubuhnya dan mencuci kedua tangan di wastafel. Lalu, mengambil jilbab di atas meja, mengenakannya di kepala Hafsah yang saat ini tengah menghias kue di meja makan.
“Kenapa, Bu?”
“Rashdan datang.”
“Dia datang ke sini?” Hafsah kaget.
“Kenapa masih diam? Cuci tanganmu dan buatkan teh untuknya dan Pak Mur. Cepat!” Rianti menepuk pelan punggung Hafsah agar gadis itu segera bangkit dari tempat duduknya.
Tampak jelas rasa bahagia yang tergambar di wajah Rianti saat mengetahui sang menantu mengunjungi rumahnya. Hafsah belum memberitahu tentang kedatangannya kembali ke rumah itu karena kabur tanpa pamit Rashdan, alasannya karena tidak ingin membuat kedua orang tuanya itu cemas dan berniat akan menceritakannya beberapa hari ke depan setelah kondisi ayahnya membaik. Ketika itu, Hafsah juga berniat untuk membicarakan mengenai perpisahan antaranya dan suaminya itu.
“Kenapa masih diam?” tanya Rianti, kembali menghampiri Hafsah setelah berada di depan pintu dapur, hendak keluar dari sana.
“Bu. Aku merasa tidak enak badan. Ibu bisa membuatkannya? Nanti aku nyusul ke depan,” ucap Hafsah, memberi alasan.
“Baiklah. Ke depan secepat mungkin.” Rianti mendekati kompor, memanaskan air di panci.
Melihat antusias Rianti membuat Hafsah sedih. Gadis itu berada di gerbang rasa bimbang yang membuat keyakinan untuk berpisah goyah. Hafsah tertunduk dalam pejaman mata, merenungi situasi yang dihadapinya dalam diam dan tangis yang muncul dalam jiwanya.
“Bu!” panggil Rashdan dari pintu dapur.
Hafsah kaget dan menaikkan pandangan, lalu perlahan menoleh ke belakang, menemukan wujud suaminya itu berdiri tersenyum di pintu dapur kepada Rianti. Ketika Rashdan hendak mengalihkan pandangan kepada Hafsah, bergegas gadis itu mengarahkan pandangan ke depan dengan perasaan bingung saat ingin bertingkah.
“Biar aku yang membuatnya. Ibu bisa ke depan.” Rashdan menghampiri Rianti, merangkul bahu wanita paruh baya itu dari belakang, mengajaknya ke luar dari dapur, di mana Rianti merasa tidak enak hati membiarkan ustaz muda itu membuatkan minuman tersebut.
“Bantu Nak Rashdan, Hafsah!” seru Rianti sebelum meninggalkan dapur dalam langkah terpaksa.