Fany, seorang wanita cantik dan anggota mafia ternama, tergeletak sekarat dengan pisau menancap di jantungnya, dipegang oleh tunangannya, Deric.
"Kenapa, Deric?" bisik Fany, menatap dingin pada tunangannya yang mengkhianatinya.
"Maaf, Fany. Ini hanya bisnis," jawab Deric datar.
Ini adalah kehidupan ketujuhnya, dan sekali lagi, Fany mati karena pengkhianatan. Ia selalu ingat setiap kehidupannya: sahabat di kehidupan pertama, keluarga di kedua, kekasih di ketiga, suami di keempat, rekan kerja di kelima, keluarga angkat di keenam, dan kini tunangannya.
Saat kesadarannya memudar, Fany merasakan takdir mempermainkannya. Namun, ia terbangun kembali di kehidupannya yang pertama, kali ini dengan tekad baru.
"Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitiku lagi," gumam Fany di depan cermin. "Kali ini, aku hanya percaya pada diriku sendiri."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @hartati_tati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Di mansion yang mewah, Regina duduk di ruang tamu yang didekorasi dengan elegan, bersama Eliza. Di hadapan mereka, berdiri Maximilian, Alexander, Sebastian, Gabriel, dan Dominic, dengan kepala tertunduk takut. Suasana ruangan penuh dengan ketegangan yang terasa nyata.
Regina menatap mereka dengan pandangan tajam. "Jadi... Apa kalian tidak bisa memberikan penjelasan?" kata Regina dengan suara tegas.
Alexander mengangkat kepalanya sedikit, menatap Regina dengan tatapan sendu. "Sayang... Aku sedang mengusahakannya," katanya, suaranya hampir berbisik.
Regina menghela napas panjang, lalu melanjutkan, "Hari ini aku mengikuti Fany. Setelah dia pulang sekolah, dia langsung pergi bekerja hingga jam sembilan malam, lalu dia melanjutkan pekerjaannya lagi sebagai seorang guru les privat hingga jam sebelas malam," ucapnya dengan nada yang penuh kekhawatiran.
Eliza menatap mereka semua dengan sorot mata marah. "Apa kalian akan tetap diam dan terus membiarkan cucu ku bekerja keras seperti itu?" katanya, suaranya menggema di seluruh ruangan.
Dominic mengangkat kepalanya sedikit, berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbicara. "Kami akan mengusahakan secepatnya untuk membawa Fany, Nek. Sangat susah untuk membujuk Fany," kata Dominic dengan nada memohon.
Eliza menggelengkan kepala, kekecewaan terlihat jelas di wajahnya. "Aku tidak ingin mendengar alasan lagi. Lakukan sesuatu, dan cepat," ujar Eliza dengan nada tegas.
Semua orang di ruangan itu mengangguk, merasakan beratnya perintah yang baru saja diberikan. Mereka tahu bahwa tidak ada ruang untuk kegagalan, dan bahwa mereka harus menemukan cara untuk membantu Fany secepat mungkin.
Di mansion yang mewah, ketegangan masih menggantung di udara. Eliza memandang semua orang di hadapannya dengan tatapan dingin dan penuh otoritas. Regina duduk di sampingnya, wajahnya tak kalah serius.
"Kali ini kalian benar-benar tidak boleh gagal. Jika kalian tidak membawa cucu ku segera, kalian akan mendapatkan hukuman," ujar Eliza idengan penekanan pada setiap kata.
"Ya, Nek," kata Sebastian, Gabriel, dan Dominic serempak, wajah mereka menunjukkan keseriusan.
"Ya, Ma," tambah Alexander, suaranya rendah namun penuh dengan kepatuhan.
Di antar Alexander dan Sebastian, Maximilian hanya bisa mendesah pasrah. Dia tahu betul bahwa istrinya benar-benar sangat marah saat ini. Wajahnya menampakkan kelelahan, tetapi dia juga memahami betapa pentingnya masalah ini bagi Eliza.
"Jangan mengecewakanku lagi," lanjut Eliza, suaranya bergetar dengan kemarahan yang terpendam. "Fany tidak pantas menjalani hidup seperti ini, dan kalian bertanggung jawab untuk memperbaiki situasi ini."
Maximilian mengangguk pelan, meskipun hatinya berat.
\*\*\*\*\*\*\*\*
Hari ini adalah hari ketujuh Fany bekerja part-time sebagai guru les privat. Setelah menyelesaikan sesi terakhirnya, Fany melihat jam di dinding kamar mewah itu menunjukkan pukul sebelas malam. Dengan lelah, dia merapikan buku-bukunya dan berpamitan dengan sopan kepada keluarga yang diajarnya sebelum keluar dari rumah mewah tersebut.
Langit malam tampak gelap, hanya diterangi oleh beberapa lampu jalan yang redup. Fany berjalan pulang menuju rusunnya, melewati jalanan yang semakin sepi. Hawa malam terasa dingin, dan setiap langkah kakinya bergema di trotoar yang kosong. Jalanan yang biasa ia lewati kini terasa lebih sunyi dari biasanya, membuatnya sedikit merinding.
Saat memasuki gang sempit yang menuju rusunnya, Fany mulai merasa ada sesuatu yang aneh. Nalurinya memperingatkannya bahwa dirinya diikuti oleh seseorang.
Bayangan seseorang tampak mengikuti di kejauhan, bergerak dalam ritme yang sama dengan langkah Fany. Kecepatan langkahnya bertambah, tetapi bayangan itu tetap mengekor.
Bayangan orang yang mengikuti Fany semakin mendekat, gerakannya kini lebih cepat dan agresif. Fany merasakan peningkatan ketegangan di udara, dan nalurinya memperingatkan bahwa bahaya semakin dekat. Langkah kakinya semakin cepat, namun dia bisa mendengar langkah lain yang semakin mendekat di belakangnya.
Tanpa peringatan, orang yang mengikuti Fany tiba-tiba melompat ke arahnya, mengayunkan tongkat baseball dengan kekuatan penuh. Fany, yang sudah siap siaga, dengan cepat menghindar ke samping. Tongkat baseball itu mengayun di udara, hampir mengenai kepalanya, dan menghantam dinding bata di sebelahnya dengan suara keras.
Namun, sebelum Fany bisa mengumpulkan napasnya, serangan lain muncul dari arah yang berlawanan. Seorang penyerang kedua melancarkan pukulan, mencoba menghantam Fany dengan benda tumpul. Fany merunduk dengan cepat, menghindari serangan tersebut hanya dengan beberapa inci. Napasnya tersengal-sengal, adrenalin memenuhi tubuhnya saat dia menyadari bahwa dirinya dikeroyok.
Dalam kekacauan itu, Fany mengatur langkahnya dengan hati-hati, menghindari setiap serangan yang datang dengan ketangkasan yang luar biasa. Dia tahu bahwa satu gerakan salah bisa berakibat fatal. Penyerangnya tampak terkejut dengan kelincahan Fany, namun mereka terus menyerang dengan sangat mengerikan.
Fany mengumpulkan keberaniannya, mencari celah untuk melarikan diri atau melawan balik.
Fany terkejut saat melihat bahwa dirinya ternyata dikeroyok oleh sepuluh orang bersenjata, semuanya mengelilinginya dengan tatapan penuh niat jahat. Beberapa memegang tongkat baseball, sementara yang lain memegang benda tumpul dan senjata tajam. Mereka semua tampak siap untuk menyerang, tidak memberi Fany kesempatan untuk melarikan diri.
"Hahaha, tikus kecil, kamu tidak akan bisa lari," kata salah satu dari mereka, suaranya penuh dengan ejekan dan keyakinan diri.
Fany menatap orang-orang yang mengeroyoknya dengan tatapan dingin. Mata mereka penuh dengan kebencian dan kekerasan, tetapi Fany tidak menunjukkan tanda-tanda takut. Dia mengamati situasi dengan cepat, menilai setiap gerakan dan posisi mereka. Fany tahu bahwa dia tidak bisa lari dari situasi ini, satu-satunya pilihan adalah bertarung.
Dengan tekad yang kuat, Fany mengambil posisi bertarung, kakinya sedikit terentang dan tangannya siap untuk menghalau serangan yang datang. Tubuhnya tegang, namun pikirannya fokus dan jernih. Dia sudah pernah menghadapi situasi sulit sebelumnya, dan kali ini tidak akan berbeda.
"Jika kalian pikir aku akan menyerah begitu saja, kalian salah besar," ujar Fany dengan suara tenang namun tegas, matanya menatap dingin para penyerang.
Orang-orang itu tertawa lagi. Mereka mungkin mengira Fany akan ketakutan dan mencoba lari.
Saat Fany bersiap untuk bergerak dan menyerang, sebuah suara tembakan terdengar keras memecah kesunyian malam. Rasa sakit yang luar biasa tiba-tiba menjalar dari bahu belakangnya, membuat tubuhnya terhuyung ke depan. Fany merasakan panas yang menyengat dan darah yang mulai mengalir dari lukanya.
"Hahahahah... Kami hanya sebagai pengalihan saja," kata salah satu dari penyerang dengan nada penuh kemenangan dan tawa mengejek.
Fany terhuyung-huyung, mencoba tetap berdiri meski rasa sakit yang menyiksa. Pandangannya mulai kabur, tetapi dia masih bisa melihat wajah-wajah musuhnya yang penuh kepuasan. Mereka telah berhasil membuatnya lengah, dan sekarang dia dalam posisi yang sangat rentan.
Suara tawa mereka semakin keras, mengisi udara malam dengan cemoohan yang menambah penderitaan Fany. Sambil menahan rasa sakit, Fany menggertakkan giginya, mencoba mencari sumber tembakan itu. Di tengah kegelapan, sulit untuk menentukan dari mana peluru itu berasal, tetapi dia tahu bahwa bahaya masih mengintai dari setiap sudut.
"Kenapa...?" tanya Fany dengan suara yang terengah-engah, berusaha memahami situasi.
Penyerang itu hanya tertawa lebih keras, senyumnya semakin melebar. "Kamu tidak perlu tahu alasannya, tikus kecil. Yang penting, tugas kami sudah selesai," ucapnya sambil menyeringai.
Fany mencoba mengatur napasnya, matanya tetap tajam meskipun tubuhnya mulai melemah. Dia harus menemukan cara untuk keluar dari situasi ini, meskipun kondisinya semakin buruk.
Fany berusaha untuk tetap sadar meskipun rasa sakit yang luar biasa menyerang bahunya. Namun, hal yang lebih mengerikan terjadi lagi. Telinganya menangkap suara tembakan lain, kali ini lebih dekat dan jelas. Fany bisa melihat kilatan dari moncong senjata yang mengarah langsung ke arahnya dari depan.
Sebelum Fany sempat bereaksi, rasa sakit yang tajam menyerang perutnya. Dia terhuyung, tubuhnya kehilangan keseimbangan dan jatuh ke jalan yang dingin dan keras. Kesadarannya mulai memudar, dunia di sekitarnya berubah menjadi kabur dan tidak jelas. Namun, di tengah rasa sakit dan kepanikan, Fany mendengar suara teriakan yang mendekat.
"Nona!! Nona muda!" teriak suara itu dengan panik.
Fany berusaha membuka matanya, mencoba mengenali siapa yang berteriak. "Nona muda, Anda harus bertahan!" kata orang itu lagi, kini sudah berada di samping Fany, wajahnya penuh kecemasan dan ketakutan.
Siapa dia? Kenapa dia menolongku? Siapa 'nona muda' yang dia maksud? pikir Fany dalam hati, kebingungan menyelimuti pikirannya yang semakin kabur. Pertanyaan-pertanyaan itu bergema di kepalanya, namun jawabannya terasa semakin jauh dari jangkauannya.
Orang itu dengan lembut tapi tegas memegang Fany, berusaha menekan luka di perutnya untuk menghentikan pendarahan. Namun, rasa sakit dan kelelahan akhirnya menguasai Fany sepenuhnya. Kesadarannya perlahan-lahan menghilang, dan dunia di sekitarnya berubah menjadi gelap total. Dalam detik-detik terakhir sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya, Fany mendengar suara orang itu sekali lagi, memanggilnya dengan penuh harapan dan putusasa.