(Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata!)
Demi mendapatkan uang untuk mengobati anak angkatnya, ia rela terjun ke dunia malam yang penuh dosa.
Tak disangka, takdir mempertemukannya dengan Wiratama Abimanyu, seorang pria yang kemudian menjeratnya ke dalam pernikahan untuk balas dendam, akibat sebuah kesalahpahaman.
Follow IG author : Kolom Langit
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengapa Mereka Berbeda?
Wira dan Ivan masih duduk di sebuah cafe ketika ponsel milik Wira berdering tanda panggilan masuk. Dengan raut wajah terlihat malas, laki-laki itu meraih ponsel dari saku jaketnya. Di layar ponsel tertera nama Bima, seseorang yang selama ini menjadi orang suruhannya untuk mencari keberadaan Shera.
"Ini dari Bima, Van!" ucap Wira.
"Ya dijawab lah, Wira!"
Dengan segera Wira menggeser simbol hijau agar dapat terhubung dengan Bima. Sementara Ivan terlihat antusias, ia ikut penasaran tentang informasi apa yang dimiliki Bima.
"Halo, Bima!"
"Bos, aku ada informasi mengenai keberadaan Shera."
"Katakan dimana dia!" ucap Wira tak sabar.
"Akan lebih baik kalau kita bertemu, Bos!" sahut seorang pria di seberang sana.
"Baiklah! Temui aku di Royal Cafe. Aku sedang bersama Ivan."
"Baiklah, Bos! Aku akan ke sana."
Panggilan terputus, Wira meletakkan ponsel di atas meja. Beberapa kali ia terlihat menghela napas panjang, seolah berusaha meredam emosi yang membara di hatinya.
"Bima ada informasi apa?" tanya Ivan.
"Katanya dia ada informasi tentang keberadaan Shera. Kita tunggu saja. Dia akan kemari."
Ivan mengangguk pelan, "Semoga ada informasi mengenai keberadaan anakmu."
"Ya, semoga saja. Aku hanya ingin anakku. Soal Shera aku tidak peduli."
Sambil menunggu kedatangan Bima, Wira dan Ivan membicarakan tentang sebuah proyek pembangunan sebuah gedung pencakar langit yang sedang mereka kerjakan bersama.
Hingga dua puluh menit kemudian, seorang pria bertubuh besar datang menghampiri dua pria tampan itu. Bima langsung menarik kursi dan duduk di hadapan sang bos. Laki-laki itu mengeluarkan sebuah amplop berwarna coklat yang diselipkan di dalam jaket kulit yang dipakainya. Ia meletakkan amplop itu ke atas meja dan menggesernya ke arah Wira.
Wira melirik Ivan sekilas, sebelum meraih amplop itu dan membukanya.
"Menurut informasi yang dapat dipercaya, Shera selama ini menetap di Bali, dengan identitas baru. Dia mengganti namanya menjadi Melani Agatha. Karena itulah kita kesulitan mencarinya selama ini," ucap Bima.
Raut wajah Wira terlihat menggeram, wajahnya bahkan memerah karena kemarahan yang terasa membakar jiwanya. Terlebih saat kedua matanya menatap foto yang baru saja dikeluarkannya dari amplop itu. Tampak foto mesra Shera dengan seorang pria bule.
"Kau punya alamatnya, kan?" tanya Wira.
"Ada! Tapi sekarang ini dia sedang melakukan perjalanan keluar negeri bersama pria yang sepertinya adalah kekasihnya itu. Aku akan terus memantau kapan dia kembali dan menginfokan-nya."
"Lalu anakku, dimana dia? Apa kau tidak punya fotonya?" Wira menatap Bima dengan serius.
"Itulah yang sedang aku selidiki, Bos! Menurut informasi yang ada, Melani alias Shera, tidak memiliki seorang anak pun. Dia hanya tinggal berdua dengan pria ini." Bima menunjuk foto seorang pria bule.
Kekhawatiran pun tergambar jelas di wajah Wira. Matanya berkaca-kaca, teringat putri kecilnya yang dibawa pergi oleh wanita jahat itu empat tahun lalu.
"Lalu dimana anakku? Kemana wanita itu membawanya?" bentak Wira, membuat Ivan segera mengusap bahu temannya itu.
"Tenanglah, Wira!" ucap Ivan sembari memberi kode pada Bima. Biasanya jika Wira sudah dalam keadaan frustrasi seperti sekarang, ia akan melampiaskannya dengan minum hingga mabuk.
Bima yang mengerti kode dari Ivan segera berusaha menenangkan Wira. "Aku akan terus menyelidikinya. Setidaknya sekarang kita sudah punya alamat Shera. Hanya dia yang bisa memberikan informasi tentang keberadaan anakmu."
Wira terdiam, satu tangannya menjambak rambutnya, pertanda laki-laki itu sedang frustrasi. Kedua matanya pun terlihat memerah.
"Jangan khawatir. Aku sudah menempatkan orang yang bisa dipercaya untuk terus mencari informasi tentang Shera," lanjut Bima.
"Anakku ... Aku bahkan tidak tahu dia sedang apa, dimana dia ... apa dia baik-baik saja, dan siapa yang merawatnya selama ini. Dan sialnya lagi, aku tidak tahu seperti apa wajahnya sekarang."
"Sudah, Wira! Setidaknya sekarang kita tahu dimana Shera. Tinggal selangkah lagi kita akan menemukan anakmu," ucap Ivan.
Rasanya Wira tak kuat lagi membendung kerinduan pada putri kecilnya. Tak peduli kemana pun Shera membawa anaknya pergi. Ia akan mencari walaupun ke ujung dunia sekali pun.
Malam itu, setelah pembicaraan dengan Bima dan Ivan, Wira pulang ke rumah.
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam ketika Wira baru saja tiba di rumah itu. Saat hendak melangkah masuk, terdengar suara yang sangat merdu sedang melantunkan sebuah lagu. Pelan-pelan, Wira melangkah menuju sumber suara. Terlihat Via sedang menggendong Lyla sambil menyanyikan lagu tidur. Wira bersembunyi di balik sebuah pilar besar, menatap Via dan Lyla dari jarak yang tak begitu jauh.
Lagi-lagi wajah polos Lyla yang sedang bersandar di bahu Via membuat Wira terpaku. Jika putri kecilnya ada bersamanya, mungkin ia sudah sebesar Lyla. Begitu yang ada di benak Wira.
Sementara Via masih berusaha menidurkan Lyla dengan bernyanyi sambil mengusap punggung gadis kecil itu. Hingga meyakini Lyla sudah tertidur nyenyak, barulah Via beranjak menuju kamar untuk membaringkan Lyla.
Wira pun tersadar dari lamunannya. Ia segera melangkah ke arah dapur, membuka kulkas dan meraih sebotol air mineral dingin.
Duduk di sebuah kursi, Wira kembali teringat pada foto kebersamaan Shera dengan seorang pria. Ia meneguk air mineral di tangannya, berharap kemarahannya dapat sedikit reda dengan dinginnya air yang melewati kerongkongannya. Namun, rasanya begitu sulit. Pengkhianatan Shera menyakitinya lebih dari apapun, terlebih mengorbankan anak mereka.
Wira masih berada di dapur ketika Via datang dengan gelas susu di tangannya. Seketika langkah wanita muda itu terhenti kala menyadari suaminya ada di dapur, sedang duduk melamun dengan menggenggam erat botol air mineral hingga remuk. Melihat itu, Via yakin bahwa Wira sedang dalam keadaan marah. Tubuhnya pun terasa meremang, ketika Wira menoleh padanya, menatap dengan penuh kebencian.
Wanita itu menundukkan kepalanya, "Maaf, Mas. Aku mau membuat susu untuk Lyla," ucap Via dengan suara pelan.
Wira tak menyahut. Rasanya enggan bersahutan dengan Via yang baginya sama buruknya dengan Shera.
Tanpa mempedulikan raut wajah tak bersahabat Wira, Via melangkah masuk ke dapur dan membuat susu untuk Lyla. Bahkan Wira dapat melihat tangan Via yang gemetaran menahan takut saat tatapan mengintimidasi Wira terus terarah padanya.
"Bundaaaaa ...." Terdengar suara manja Lyla memanggil dari arah kamar belakang.
"I-iya, Sayang! Sebentar..." Takut-takut, Via menyahut panggilan itu, setelah mendengar isakan Lyla. Ia mempercepat gerakan tangannya setelah suara tangis Lyla semakin menjadi.
"Kenapa anakmu terus menangis?" tanya Wira. Nada bicaranya seakan menunjukkan bahwa ia tidak menyukai suara tangisan itu.
"Ma...af, Mas. Lyla sulit tidur karena kepanasan di kamar." Suara Via terbata-bata menjawab akibat takut.
Sementara Wira memperhatikan gerak-gerik Via yang sedang membuat susu. Dalam benaknya kembali hadir sekelumit pertanyaan.
Jika Via yang merupakan wanita malam saja begitu mencintai anaknya. Kenapa Shera tidak? Bukankah mereka sama-sama seorang ibu? Tapi kenapa mereka berbeda?
*****