Balapan, dugem, judi, merokok sudah menjadi dunia dan rutinitas Alanzo Gilbartan setiap hari. Si ketua geng motor dengan muka ala dewa Yunani dan kekayaan yang lebih. Sombong dan urakan adalah dua dari wataknya. Tidak ada yang boleh membuat masalah, semua harus tunduk, atau ia akan terkena batunya.
Hingga ia bertemu dengan Sheryl, cewek misterius dengan sikap tenang dan senyuman santai yang mengalahkan harga dirinya.
Sheryl membuat masalah saat pertama kali bertemu dengannya. Sheryl memiliki Rahasia yang tak ia tahu.
Saat dirinya dan anggota geng lainnya mencari tahu tentang Sheryl di internet, kejanggalan terjadi. Mereka selalu mendapati #ERROR 404.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayndf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tentang Alanzo
Alanzo memarkirkan motornya pada halaman rumah megah bercat putih di depannya. Ia turun dari motor, memandang rumah yang sudah tak ia tapaki selama satu bulan ini. Kalau bukan karena mamanya bilang sakit sampai memohon-mohon kedatangan Alanzo, Alanzo tak akan mau pulang.
Selama ini Alanzo tidak pernah benar-benar tinggal di rumah utamanya itu, ia lebih memilih tidur di apartemen pribadi yang ia beli dari hasil balapannya atau tidur di markas Gebrastal. Cowok itu benar-benar muak jika harus berhadapan dengan Jovan, papanya. Alasan Alanzo juga kali ini mau datang karena Mahalika bilang papanya sedang tugas di luar negeri.
Jadi ia tidak perlu menguras tenaga untuk berhadapan dengan pria itu.
Sepatu putihnya kini menapak di atas lantai marmer rumahnya. Ia membuka pintu, dan mendapati seorang wanita paruh baya sedang berdiri yang tersenyum segar padanya. “Alanzo? Finally, kamu akhirnya datengin Mama!” ucapnya segera memeluk Alanzo.
“Oh, my boy! Kamu makin ganteng aja setelah gak ketemu sebulan! Makin imut-imut anaknya Mama!” girang Mahalika sambil mencubit-cubit pipi Alanzo. Sungguh, kalian harus tahu, Mahalika itu adalah mama terlebay di dunia.
Alanzo melepaskan tangan mamanya merasa risih. “Katanya sakit?! Cuma pura-pura?!”
Mendengar itu, Mahalika berpikir sejenak. “Uhh! Iya! Mama emang sakit! Sakit demam! Aduh, sakit-sakit!” Kini Mahalika sengaja menjatuhkan diri di hadapan Alanzo dengan tangan menyentuh dahi, berlagak sakit. Alanzo yang tahu Mamanya hanya berpura-pura, langsung menjejakkan mamanya lagi untuk berdiri.
“Gak lucu, Ma!” jawabnya ingin marah.
“Alanzo, Mama tuh kangen sama kamu! Kamu gak pulang sebulan! Kamu masak gak pulang sebulan?!”
Alanzo menghela nafas. Datang-datang sudah disambut dengan keanehan mamanya. Cowok itu ingin melangkahkan kakinya lagi masuk ke dalam rumah yang langsung dicegah Mahalika. “Eh, kita ngobrol di luar ya?”
“Aku capek, pingin istirahat!”
“Ee—anu—Mama pingin ngobrol di luar bentar! Mama pingin cari udara segar!” cegah Mahalika lagi. Cowok itu mengerutkan kening kala mengetahui wajah pucat pasi wanita di depannya. Ada yang aneh. Rasanya, Alanzo seperti tidak dibiarkan masuk.
Samar-samar terdengar suara lelaki yang sedang berbincang dari dalam rumah. Alanzo melirik Mahalika yang seperti sedang menyembunyikan sesuatu. “Itu suara siapa?!”
“Bu-bukan siapa-siapa! Ikut mama aja yuk!” Mahalika kembali menarik Alanzo. Namun, anaknya melangkah masuk, tidak peduli bujukan mamanya lagi.
“Alanzo, Alanzo, bentar! Kita ngobrol di luar aja! Ruangannya lagi dibersihin!” Mahalika terlihat semakin gelisah kala Alanzo masuk ke dalam. Ia membututi Alanzo.
Langkah cowok itu terhenti dengan rahang mengeras saat menemukan dua lelaki yang duduk bersama di ruang tamu. Tanpa aba-aba, ia melangkah cepat, menarik kerah baju seorang cowok yang ternyata sedang duduk bersama Jovan, papanya. “NGAPAIN LAGI LO KE SINI, BAJINGAN!”
Alanzo melayangkan tinjuannya pada cowok itu.
“Zo, gue cuma—“ Belum juga selesai berbicara, Alanzo membogem cowok itu lagi yang langsung dilerai Jovan. Jovan menatapnya tajam.
“Apa-apaan kamu, Alanzo?!”
“Ngapain undang cowok bajingan itu ke sini?!”
“Kamu yang apa-apaan! Kamu ngapain ke sini?! Dateng-dateng ngajak ribut!” Jovan menghempaskan tangan Alanzo yang hendak menonjok cowok di depannya.
Alanzo langsung memindahkan perhatiannya pada Jovan. “Kenapa masih belain cowok bajingan ini?! Sadar gak?! Gara-gara cowok ini, ‘dia’ gak ada! Cowok ini udah bunuh ‘dia’!”
“Jaga omongan kamu!” Kali ini Jovan yang menampar Alanzo sangat keras hingga cowok itu terpental ke lantai. Alanzo tahu, sekuat apa pun Alanzo, jika sudah berhadapan dengan Jovan cowok itu kalah.
“Pa, udah, Pa!” cegah Mahalika.
“Papa gak terima setiap kali Papa ketemu sama Vano kamu selalu nuduh yang enggak-enggak. Vano bukan bajingan, Alanzo! Baiknya sebelum bicara, pikirin soal geng gak jelas kamu itu!” ucap Jovan penuh emosi.
Alanzo mengusap darah di bibirnya. “Gak usah bawa-bawa geng motor gue!”
“Kenapa? Kamu gak suka? Gara-gara geng gak jelas kamu itu, kamu jadi kayak gini!” sindirnya. Alanzo melangkah, ingin menonjok Jovan yang langsung ditangkis olehnya, membuat Alanzo terjatuh.
“Sekuat apa pun kamu, kamu gak bisa ngalahin papa!” bisiknya.
Alanzo berdiri. Menatap papanya sengit. Ini yang membuat ia tidak suka bertemu Jovan. Ia menatap Vano yang hanya bisa diam. Alanzo terkekeh. “Belain aja! Belain dia! Anggap dia anak! Lupain gue sebagai anak asli lo!”
Mendengar itu, Jovan terdiam saat Alanzo akhirnya melangkah pergi.
“Alanzo kamu mau ke mana?” tanya Mahalika khawatir.
“Zo, lo harus dengerin gue!” Cowok bermuka datar dengan nama Vano itu masih kekeuh ingin berbicara. Alanzo berbalik badan kemudian menunjuk cowok itu dengan jari telunjuk, memberi peringatan tanpa berkata.
Alanzo melangkah menuju keluar rumah dan menaiki motornya. Suara panggilan Mahalika masih melengking di pendengarannya. “Alanzo! Tunggu! Jangan pergi! Alanzo!”
Namun, cowok itu dengan cepat mengendarai motor, pergi dari kediaman ini.
***
Fakta bahwa Jovan merupakan papanya adalah hal paling memuakkan dalam hidup Alanzo. Sedari kecil, papanya tidak pernah mengapresiasi apa pun yang ia lakukan. Alanzo suka sepak bola, papanya ingin Alanzo suka matematika. Papanya ingin Alanzo menjadi cowok ambis, pintar, dan penurut.
Nyatanya semua keinginan papanya itu selalu berbanding terbalik dengan Alanzo. Alanzo terlalu malas untuk melakukan hal yang tidak ia minati, Alanzo hanya ingin melakukan hobinya, dan Alanzo terlalu garang dengan sering berkelahi untuk menjadi anak penurut. Cowok itu tidak suka dikekang.
Sedari kecil papanya selalu membangga-banggakan anak sahabatnya itu, Vano. Membanding-bandingkan. Meski begitu, Alanzo tidak pernah kesal dengan Vano. Vano masih sahabatnya dan menganggap semua hanya angin lalu, tidak peduli saat papanya pusing karena perilaku berandalnya. Hingga hal itu terjadi, hal yang membuat Alanzo bermusuhan dengan cowok itu.
Alanzo meneguk birnya saat kembali mengingat kejadian hari itu, hal yang merenggut belahan jiwanya.
“Lo gak papa?” tanya Leon yang melihat kerakusan Alanzo meminum bir.
“Gak papa,” jawabnya masih tampak kuat. Ia menatap satu per satu anggota Gebrastal di hadapannya, geng yang ia ciptakan, yang bisa membuat dirinya bebas.
“Muka lo kenapa biru gitu? Makin cantik aja! Sayang, kamu gak mau tidur bareng aku?” kata Jehab menirukan nada bicara cewek, menjawil dagu Alanzo yang langsung ditatap tajam olehnya.
Leon tertawa terpingkal melihat ekspresi Alanzo.
Kini, Jehab mendudukkan diri di sisi Alanzo. “Ck, lo tuh habis menang, harunya seneng-seneng, bukan main tinju-tinjuan gitu!” Jehab menggeleng-gelengkan kepala.
Mendengar perkataan Jehab, pikiran Alanzo langsung saja terdistraksi pada Sheryl. Semua pikiran tentang papanya hilang begitu saja.
“Zo, kira-kira, rencana lo apa?” tanya Leon yang meneguk jus lemon di hadapanya.
Beberapa menit berlalu dalam diamnya Alanzo. Cowok tampan itu meneguk minumannya hingga kandas.
***