"Apa kamu sudah menemukan informasi tentangnya, Jackson?"
"Sudah, Kak. Aku yakin dia adalah dady kita."
Dua bocah laki-laki berusia 7 tahun itu kini menatap ke arah layar komputer mereka bersama-sama. Mereka melihat foto seorang Pria dengan tatapan datar dan dingin. Namun, dia memiliki wajah yang sangat tampan rupawan.
"Jarret, Jackson apa yang kalian lakukan?" Tiba-tiba suara seseorang membuat kedua bocah itu tersentak kaget.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon emmarisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Kekhawatiran Martha
Albern pulang ke rumah tanpa mampir ke rumah Thomas dan Martha. Tujuannya hanya satu yaitu mencari keberadaan Giani secepatnya.
Selain khawatir dengan kondisi Giani, dia juga harus bisa memberikan jawaban yang tepat pada kedua orangtua yang mungkin sedang menanti kedatangan Giani dengan cemas.
Albern menyalakan laptopnya. Dia segera meretas seluruh CCTV yang ada di dalam mall itu. Albern memang seorang Hacker yang terkenal dan sangat handal. Dan sebenarnya dia bekerja dibawah perintah Ramon. Albern adalah orang kepercayaan Ramon yang diminta untuk menjaga Thomas dan Martha.
Tanpa kendala, Albern berhasil menemukan tangkapan CCTV di lokasi di mana tadi dia meninggalkan Giani. Mata elang Albern menatap tajam ke layar laptopnya. Alisnya yang tebal bertaut dalam. Dia sepertinya pernah melihat pria itu, tapi dimana? Albern tidak begitu ingat.
Albern mulai mengamati pergerakan pria itu. Pria tadi ternyata membawa Giani lewat pintu lain. Pantas saja dia tidak menemukan Giani.
Namun, saat Albern berusaha mencari tahu plat mobil pria itu, tiba-tiba laptopnya mati.
"Oh, ****," umpat Albern. Dia mencolokkan kabel charger laptopnya. Namun, laptop itu rupanya tak bekerja.
"Ah, sial. Siapa sebenarnya pria tadi?" gumam Albern frustasi. Ia yakin laptopnya diserang Virus buatan sehingga langsung mati begitu saja.
"Apa yang harus aku katakan pada Nyonya Martha dan Tuan Thomas? ah mereka pasti akan memarahiku."
Di saat Albern sedang pusing memikirkan apa yang akan dia katakan pada kedua lansia itu, tiba-tiba pintu rumahnya diketuk. Jantung Albern berdebar tak karuan. Dia bingung harus memberikan jawaban apa.
Albern menarik napas panjang. Dahinya berkeringat, dia segera membuka pintu rumahnya. Matanya langsung bersiroboh dengan tatapan kecemasan Martha.
"Albern, mana Giani. Ini sudah sangat larut. Kenapa tidak langsung kau antar dia pulang?"
"Martha, maafkan aku. Aku terpisah dengan Giani?"
"Apa!" seru Martha. Wanita tua itu langsung memegangi dadanya setelah mendengar ucapan Albern. Albern dengan sigap membawa Martha duduk sebuah kursi.
"Kau tenanglah, dia pasti baik-baik saja. Tadi ada yang membawanya karena Giani sepertinya akan melahirkan. Dan karena aku panik, aku malah gegabah meninggalkan dia."
"Oh, ya Tuhan. Anak yang malang. Semoga dia baik-baik saja dan segera memberikan kabar," ujar Martha. Albern mengantarkan Martha kembali ke rumahnya. Thomas juga tampak terkejut, akan tetapi pria yang sudah berumur itu bisa lebih tenang dalam menyikapi masalah Giani.
***
Sementara itu, di ruangannya Giani menatap kedua bayinya dengan tatapan penuh kekaguman. Giani tak menyangka, kedua bayinya tampak sangat begitu sehat padahal mereka lahir belum cukup bulan.
Tadi saat Giani mulai memberi ASI pada kedua bayinya, Ben keluar dari ruangan itu. Meski dalam hatinya dia sebenarnya ingin melihat kedua bayinya meny*su.
Saat Giani hendak menyerahkan bayinya pada perawat, ia tersentak kaget. Mengingat bahwa dirinya tadi meninggalkan Albern di mall. Pria itu dan juga Thomas dan Martha pasti kebingungan sekarang.
"Suster Elena, bisakah kau membantuku?"
"Apa nona?"
"Tolong tanyakan pada tuan Ben, di mana tasku? Aku belum memberi kabar pada keluargaku."
"Baiklah, sebentar aku akan tanyakan dulu."
Suster Elena keluar dari kamar perawatan Giani. Dia segera mencari keberadaan sang majikan. Elena tahu di mana harus mencari tuannya.
Dia memasuki sebuah pintu di mana di sana terdapat lorong yang cukup gelap. Tanpa rasa takut Elena melewati lorong itu. Hingga tibalah ia di depan sebuah pintu lagi. Elena mengetuknya seperti membuat sebuah kode.
Tak lama pintu terbuka. Pemandangan di hadapan Elena sudah sering dia lihat. Elena menunduk di depan Ben.
"Ada apa?" tanya Ben tegas.
"Nyonya Giani mencari tasnya. Dia khawatir dengan orang rumah."
"Baiklah, sebentar lagi aku akan segera kesana untuk mengantarkan tasnya. Apa Giani sudah selesai menyus*i?"
"Sudah, Tuan."
"Baiklah, aku akan segera kesana."
Elena keluar dari ruangan itu, Ramos menatap perawat itu dengan intens. Senyum tipis tersungging di bibirnya.
"Ramos, pastikan semuanya aman. Aku mau kau perketat penjagaan di rumah mereka. Pastikan anak-anakku dan Giani tetap terjaga keselamatannya."
"Kenapa anda tidak mengatakan pada nona Giani tentang masalah waktu itu, Tuan?"
"Aku juga ingin mengatakannya, tapi aku perlu memikirkan keselamatan Giani dan juga Jarret dan Jackson. Kau tahu di luar sana banyak musuh yang sedang mencaritahu kekuranganku. Lagi pula aku belum siap dengan respon Giani. Terlebih lagi, saat itu aku langsung meninggalkannya setelah melampiaskan hasratku. Aku tidak mau dia menganggapku sebagai seorang biadab yang tak punya hati.
"Memang," batin Ramos.
"Apa kau bilang?" tanya Ben menatap tajam ke arah asistennya.
"Aku tidak mengatakan apa-apa, Tuan."
"Jangan mengelabuhiku, dari sorot matamu kau ingin mengatakan jika aku memang biadab kan?"
"Aku tidak berani, Tuan."
"Ya sudah lah. Aku akan melihat Giani dan kedua putraku dulu. Aku ingin memakai kesempatan ini sebaik-baiknya untuk bisa menyentuh kedua putraku."
Ben segera berdiri dan meninggalkan ruangan itu, Ruangan di mana Ben selalu menyiksa penghianat dalam kelompoknya. Dan kali ini Ben terlihat lebih kejam dari sebelumnya karena sekarang Ben memiliki orang-orang yang harus dia jaga keselamatannya, terutama kedua putra juga Giani.
Ben memasuki kamar Giani sembari menenteng Handbag yang harganya mungkin tak seberapa bagi Ben.
"Siapa yang ingin kau hubungi? apakah ayahmu?" tanya Ben sembari menyerahkan handbag Giani.
Giani menggeleng sembari tersenyum getir. "Dia bahkan tidak tahu, putrinya telah dihamili orang, Dan yang lebih buruknya lagi, dia juga tidak tahu selama ini aku membohonginya," tutur Giani dengan suara tercekat.
"Dan aku harap, anda tidak membocorkan masalah ini padanya. Aku tidak mau membuatnya bersedih," sambung Giani. Ben menganggukkan kepalanya.
"Boleh aku melihat bayi-bayimu?" tanya Ben, dia mencoba mengalihkan pikiran Giani. Jujur saja dia tidak suka melihat wanita itu bersedih.
"Tentu saja, tapi jangan mengganggunya atau anda harus keluar lagi dari ruangan ini," ujar Giani. Ben tersenyum lebar. Elena yang ada di sana mengerjap berulangkali. Ia tak percaya tuannya bisa memiliki ekspresi seperti itu. Elena berpikir jika Giani mampu membuat gunung es itu mencair.
Ben mendekati tabung yang menyerupai inkubator itu. Tempat dimana kedua bayinya terlelap. Ben tersenyum saat melihat tangan jarret menggenggam tangan Jackson seolah keduanya takut dipisahkan.
Giani mengambil ponselnya dan mulai menghubungi nomor rumah Thomas. Tiga kali deringan, Panggilan Giani baru tersambung. Gadis itu tersenyum saat mendengar suara Thomas.
"Thomas, ini aku. Maaf aku baru mengabari kalian. Kedua putraku sudah lahir dan katakan pada Martha dia tidak perlu mencemaskan aku. Aku akan segera pulang nanti."
Setelah mendengar jawaban Thomas, Giani memutus sambungan teleponnya. Ben tersenyum samar menatap kedua bayinya. Pria itu mengenal baik siapa yang baru saja dihubungi oleh Giani. Dan jujur saja, ia bahagia, karena Giani tinggal di sana."