Seorang pemuda tampan yang katanya paling sempurna, berkharisma, unggul dalam segala bidang, dan yang tanpa celah, diam-diam menyimpan sebuah rahasia besar dibalik indahnya.
Sinan bingung. Entah sejak kapan ia mulai terbiasa akan mimpi aneh yang terus menerus hadir. Datang dan melekat pada dirinya. Tetapi lama-kelamaan pertanyaan yang mengudara juga semakin menumpuk. "Mengapa mimpi ini ada." "Mengapa mimpi ini selalu hadir." "Mengapa mimpi ini datang tanpa akhir."
Namun dari banyaknya pertanyaan, ada satu yang paling dominan. Dan yang terus tertanam di benak. "Gadis misterius itu.. siapa."
Suatu pertanyaan yang ia pikir hanya akan berakhir sama. Tetapi kenyataan berkata lain, karena rupanya gadis misterius itu benar-benar ada. Malahan seolah dengan sengaja melemparkan dirinya pada Sinan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yotwoattack., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
A M BAB 20 - Le Ruen.
Katanya jodoh adalah cerminan diri sendiri. Paling tidak, ada sedikit kesamaan yang memacu suatu ketertarikan. Entah kesamaan makanan yang disuka, tontonan yang disuka, tempat yang disuka, bahkan masalah atau beban hidup yang diemban.
"Kita cari makan dulu baru ke kos kamu. Hari ini mau belajar apa, matematika lagi, kah." Kata pihak lelaki. Masih menggenggam tangan mungil itu sembari mereka merajut langkah. "Atau fisika."
Seperti halnya dua sejoli yang sedang berjalan beriringan tersebut. Masing-masing dari mereka sama-sama dililit perasaan sepi sehingga keduanya begitu nyaman jikalau terus bersama. Sadar atau tidak.
Terus melanjutkan langkah, Dinya dan Sinan lantas berpisah ketika mereka telah memasuki area parkiran. Gadis berwajah datar hanya dengan santai bersandar sembari menunggu pemuda yang semakin hari semakin menempel dengannya itu. Dan sialnya ia bukannya merasa risih malahan mulai terbiasa akan kehadirannya.
Tak.. tak.. tak..
Menendang-nendang botol karena bosan. Dinya yang dibuat menunggu mulai bangkit dari posisi bersandar dan memilih untuk sedikit melangkah keluar dari sekolah dengan berjalan kaki.
Tap..
Tap..
Tepat berada ditengah-tengah jalanan yang membentang luas sampai ke ujung tikungan, gadis itu lantas berjalan lagi untuk kepinggir. Berduduk santai pada pembatas jalan. Lalu sedikit melirik ke arah seseorang yang duduk selonjoran disamping got.
"Orgil ta." Kejam gadis datar tersebut. Bahkan tanpa belas kasih sengaja membesarkan volume suara. Sebelum dengan penasaran merajut langkah menghampiri. "Ngapain."
Yang ditegur tak langsung menoleh. Dilihat dari seragamnya yang sama dengan milik Dinya, tampaknya dugaan gadis itu yang berkata bahwa si korban ini orang gila adalah suatu kekeliruan.
Srek.
Melarikan arah pandang. Dinya lantas mengangguk ketika mengetahui apa yang sedang si dia tatap sampai sedemikian rupa. Membuka dan merogoh tas.
"Nih." Kata gadis itu sembari menyerahkan sebuah susu kemasan pada si pemuda. Itu susu yang tadi sempat ia beli dengan Lilie, tetapi karena tidak diminum, Dinya jadi hanya menyimpannya.
Menoleh dan memperlihatkan wajah dengan raut bingung. Dinya lantas mengangkat sebelah alisnya pada pemuda itu yang hanya terpaku, sebelum dengan gerakan patah-patah mengambil susu yang ia berikan. Dan bangkit untuk menatapnya.
"B-buat.. aku, kak?" Katanya yang langsung mendapatkan anggukan. Lalu dengan senyum mengembang, ia berkata lagi. Kali ini dengan nada penuh semangat. Benar-benar girang segirang-girangnya. "WAHH!! Terima kasih banyak, terima kasih ya kakk!! Wuihh~ makasih.. ihihiii~"
Mendapati perubahan yang signifikan dari pihak lain. Dinya hanya mengangguk.
"Namanya siapa kakk??!! Nama aku, Le ruen. Boleh di panggil Rin atau An, terserah kakak aja! Ihihii~ kakak gimana? Namanya kakak apaa~" semangat dan semangat. Pemuda manis yang sepertinya berstatus adik kelas itu terus memandangi gadis datar di depannya. Mengabadikan wajah itu dengan senyum girang. Lalu berkata lagi. "Omong-omong kok kakak masih di sekolah, kakak ada ikut eskul apa emangnya~ namanya siapa kak, kakakk!!"
Ya ampun..
Kemana perginya wajah lesu tadi. Ketika Dinya melirik si pemuda yang bernama An itu barusan, seingatnya tidak ada setitik pun tanda-tanda bahwa sang empu memiliki gejala penyakit over excited.
Siapa sangka, tukang yapping lagi ternyata.
"Woi cewe gemesin, kenapa disitu." Panggil Sinan sembari menurunkan kaca mobil. Dengan santai turun untuk melesat mendekat dan menarik pinggang gadis itu untuk dibawa bersamanya. Memasukkannya ke dalam mobil lalu memasangkan sit belt sang gadis. "Panik aku, aku pikir kamu kemana."
Tanpa melirik, Dinya menghembuskan nafas panjang. Membiarkan pemuda cerewet itu ngedumel sambil memakainya sabuk pengaman. Baru dipikirkan sudah datang.
Srek.
Sebelum mobil yang ditumpangi mulai bergerak meninggalkan area depan sekolah, Dinya menyempatkan diri untuk melirik pemuda yang masih berdiri di tempat. An—masih di posisi terakhir ia ditinggalkan dengan sorot mengikuti gerakan si mobil yang mulai melaju.
"Mau makan apa." Kata Sinan. Membelah jalanan yang lumayan sepi. Mengulurkan tangan untuk mengelus pipi gadis itu ketika ia tak mendapatkan sahutan. Lantas berujar lagi. "Mau makan apa, sayangku. Manisku. Kenapa ngeliat keluar mulu dari tadi."
"Kalau bisa bubur kacang." Sahut gadis itu akhirnya. Sebelum menyandarkan diri dengan nyaman, sedikit menepis tangan besar yang sedang memainkan pipinya. "Dan juga, kenapa lo makin ngomong sembarangan. Sayang sayang apanya."
Nada penuh protestan dan sorot muak bercampur bingung itu secara spontan membuat tawa Sinan mengudara. Perlu waktu beberapa saat untuk pemuda itu meredakan tawanya, mengganti tawa renyah itu menjadi kekehan gemas.
Sinan melirik. Ia juga. Pikirnya.
"Emang kenapa, orang aku suka." Santai pemuda itu. Sebelah tangannya mengemudi sedangkan yang sebelahnya lagi berusaha menyentuh pipi si gadis untuk yang kesekian kali. "Oh iya, kamu pengen bubur kacang ya tadi? Boleh dong. Bisa dong. Tapi sebelum itu kita cari makanan berat dulu, baru ke minimarket buat beli bahan-bahan."
"Lo gak nanya kenapa gue maunya bubur kacang?" Anehnya Dinya malah skeptis. Baru sekarang ada seseorang yang langsung mengiyakan tanpa mempertanyakan atau mentertawakan nya dulu.
Srak.
"Kenapa nanya, bukannya mau kamu bubur kacang." Ujar pemuda tersebut setelah berhasil menangkap sebelah tangan Dinya untuk ia genggam. "Yaudah aku nanya, kenapa kamu mau makan bubur kacang. Gak yang lain aja?"
Benar. Harusnya begitu. Dinya mengangguk puas. Sebelum kembali terdiam.
"Mode senyap lagi. Dasar imut, rajin menabung, calon ibu dari anak-anakku." Komentar melayang. Sembari tautan mereka terjalin dan sembari mobil terus melaju. "Berarti kita ke angkringan deket lampu merah dulu, ada ketoprak terenak disana. Ehehe~ baru abis itu nyari bahan buat bubur kacang kamu."