Han Qiu, seorang penggemar berat street food, tewas akibat keracunan dan bertransmigrasi ke dalam tubuh Xiao Lu, pelayan dapur di era Dinasti Song. Ia terkejut mendapati Dapur Kekaisaran dikuasai oleh Chef Gao yang tiran, yang memaksakan filosofi 'kemurnian'—makanan hambar dan steril yang membuat Kaisar muda menderita anoreksia. Bertekad bertahan hidup dan memicu perubahan, Han Qiu diam-diam memasak hidangan jalanan seperti nasi goreng dan sate. Ia membentuk aliansi dengan Kasim Li dan koki tua Zhang, memulai revolusi rasa dari bawah tanah. Konfliknya dengan Chef Gao memuncak dalam tuduhan keracunan dan duel kuliner akbar, di mana Han Qiu tidak hanya memenangkan hati Kaisar tetapi juga mengungkap kejahatan Gao. Setelah berhasil merestorasi cita rasa di istana, ia kembali ke dunia modern dengan misi baru: memperjuangkan street food yang lezat sekaligus higienis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pencarian Lokasi
Pertanyaan itu menggantung di udara yang pengap, lebih berat daripada tumpukan karung goni yang berjamur di sekitar mereka. Api. Elemen paling purba sekaligus paling berbahaya di dalam tembok istana. Api adalah sumber kehangatan dan kehidupan, tetapi di sini, api yang tidak sah adalah undangan langsung bagi algojo.
Han Qiu tidak menjawab. Ia hanya menatap Li dengan sorot mata yang aneh, campuran antara kelelahan dan geli. Ia menunjuk ke sekeliling mereka.
“Kita ada di mana, Li?”
“Di liang tikus yang akan jadi kuburan kita,” jawab Li masam, menyeka keringat dingin di dahinya dengan punggung tangan yang kotor.
“Bukan. Kita di bawah gudang penyimpanan kayu bakar,” koreksi Han Qiu dengan sabar. Ia berdiri dan menepuk-nepuk debu dari celana kasarnya.
“Tempat ini punya kayu. Tapi kayu menghasilkan terlalu banyak asap dan bau yang khas. Kita butuh sesuatu yang lebih bersih, lebih panas, dan lebih cepat.”
Li menatapnya, tidak mengerti. “Apa yang lebih cepat dari api?”
“Arang,” bisik Han Qiu, matanya berbinar dengan cahaya penemuan.
“Kita butuh gudang arang. Bukan gudang kayu bakar.”
*
Gudang penyimpanan arang berada di sayap paling barat kompleks dapur, sebuah area yang jarang dikunjungi karena dianggap kotor dan tidak berguna kecuali saat musim dingin tiba. Bangunannya terbuat dari batu yang kokoh dan gelap, dengan satu pintu kayu tebal yang dikunci dengan palang besi sederhana dari luar. Tidak ada penjaga. Bagaimanapun juga, siapa yang mau mencuri tumpukan batu hitam yang hanya mengotori tangan?
“Kau yakin?” desis Li saat mereka berjongkok di balik semak-semak, mengamati gudang itu dari kejauhan.
Malam sudah larut, dan hanya obor patroli sesekali yang memecah kegelapan.
“Seratus persen,” jawab Han Qiu.
“Pikirkan, Li. Arang menghasilkan panas yang jauh lebih tinggi daripada kayu, tapi asapnya jauh lebih sedikit. Sempurna untuk memanggang cepat. Dan yang terpenting, gudang arang pasti dibangun dengan mempertimbangkan api. Pasti ada semacam ventilasi.”
Menunggu saat yang tepat ketika patroli baru saja berlalu, mereka berlari menyeberangi halaman kecil dan tiba di depan pintu gudang. Palang besinya berat, tetapi tidak dikunci dengan gembok. Dengan tenaga gabungan, mereka berhasil mengangkatnya dari sanggahannya. Pintu berderit terbuka dengan suara yang membuat bulu kuduk berdiri.
Bau yang menyambut mereka adalah bau debu arang yang tajam, kering, dan sedikit pahit. Di dalamnya, kegelapan terasa absolut. Karung-karung goni yang menggembung ditumpuk tinggi hingga nyaris menyentuh langit-langit balok kayu.
“Bagaimana kita bisa melihat apa pun di sini?” keluh Li, memegang ujung baju Han Qiu karena takut terpisah.
Han Qiu sudah siap. Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya, berisi batu api dan sepotong sumbu yang sudah direndam minyak. Dengan beberapa kali percikan, sebuah nyala api kecil yang gemetar muncul, menerangi wajah mereka yang tegang dan lautan debu hitam yang melayang di udara.
“Jangan terlalu lama,” bisik Li cemas.
“Cahaya ini bisa terlihat dari luar.”
Han Qiu mengangguk, matanya menyapu sekeliling ruangan dengan cepat, mencari apa yang ia butuhkan. Bukan sekadar tempat, tetapi sebuah sistem. Di dunia modern, setiap dapur barbeku punya satu hal krusial: cerobong asap. Di sini, ia harus mencari padanannya dari era Dinasti Song.
“Tolong aku pindahkan karung-karung ini,” perintah Han Qiu, menunjuk tumpukan di sudut paling belakang.
“Memindahkan? Xiao Lu, karung ini beratnya lebih dari berat badanmu!” protes Li.
“Kalau begitu kita seret. Cepat!”
“Aku tidak kuat lagi,” rintih Li, menjatuhkan dirinya di atas sebuah karung, napasnya terengah-engah.
“Untuk apa semua ini? Sudut ini sama saja dengan sudut lainnya.”
“Tidak,” kata Han Qiu, suaranya serak karena debu.
Ia tidak berhenti. Ia berlutut di sudut yang baru saja mereka bersihkan dan mengetuk-ngetuk dinding batu dengan buku jarinya. Tok. Tok. Tok. Suaranya padat. Lalu ia bergerak sedikit ke kanan. Tuk. Tuk. Tuk. Sedikit lebih nyaring. Ia tersenyum.“Ada rongga.”
Li bangkit dengan enggan dan mendekat. Han Qiu menyorotkan apinya ke dinding. Di sana, tersembunyi di balik debu dan sarang laba-laba, ada garis samar yang membentuk persegi panjang. Sebuah lubang yang ditutup dengan batu bata yang dipasang seadanya.
“Apa itu?”
“Itu harapan kita,” jawab Han Qiu.
Dengan menggunakan pecahan batu tajam, ia mulai mencongkel adukan semen tua yang sudah rapuh di antara batu bata. Pekerjaannya lambat dan melelahkan, membuat jari-jarinya lecet dan berdarah. Li, melihat kesungguhan temannya, akhirnya ikut membantu.
Satu per satu, batu bata itu berhasil mereka lepaskan. Di baliknya, kegelapan yang lebih pekat menyambut mereka, bersamaan dengan hembusan udara dingin yang samar. Han Qiu mengangkat apinya lebih dekat. Itu adalah sebuah lubang ventilasi vertikal, lebarnya sekitar dua jengkal, yang menembus dinding tebal dan langsung mengarah ke atas. Mungkin dulunya digunakan untuk tungku peleburan kecil atau sejenisnya, sebelum gudang ini dialihfungsikan.
“Sempurna,” bisik Han Qiu penuh kemenangan.
“Asapnya akan langsung tertarik ke atas dan keluar melalui atap, jauh dari jendela mana pun.”
“Jenius,” puji Li tulus, rasa lelahnya sejenak tergantikan oleh kekaguman.
“Kau benar-benar memikirkan segalanya.”
“Belum,” kata Han Qiu.
“Sekarang kita butuh panggangan.”
Mereka menggunakan batu bata yang baru saja mereka bongkar. Han Qiu menyusun tiga sisi membentuk huruf ‘U’ rendah di depan lubang ventilasi itu. Sederhana, fungsional, dan tidak akan meninggalkan jejak permanen. Di dasar susunan batu bata itu, ia meletakkan beberapa bongkah arang kualitas terbaik yang bisa ia temukan—arang yang padat, kering, dan berwarna hitam legam.
“Sudah siap?” tanya Li, jantungnya mulai berdebar kencang. Ini adalah momen kebenaran.
Han Qiu menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan tangannya yang sedikit gemetar.
“Siapkan kain basah di dekat pintu. Untuk berjaga-jaga.”
Li mengangguk dan bergegas melaksanakan perintah. Sementara itu, Han Qiu menyalakan sepotong kayu kecil dan dengan sangat hati-hati menggunakannya untuk menyulut arang. Awalnya tidak terjadi apa-apa. Kemudian, sebuah titik merah kecil mulai membara di permukaan arang, perlahan merambat seperti laba-laba api. Tidak ada lidah api yang menjilat-jilat, hanya cahaya merah yang semakin terang dan panas yang mulai terasa di udara.
Dan tidak ada asap.
“Berhasil!” seru Li pelan, matanya berbinar.
“Tidak ada asap sama sekali!”
“Tunggu,” kata Han Qiu, matanya terpaku pada bara.
“Ini baru permulaan. Asap sesungguhnya baru akan muncul saat lemak dari daging menetes ke atas bara.”
Ia mengeluarkan satu tusuk sate dari dalam buntalannya—sebagai kelinci percobaan. Dengan tangan yang mantap, ia meletakkannya di atas panggangan batu bata darurat itu.
Tssssss!
Suara mendesis yang indah itu langsung terdengar, diikuti oleh ledakan aroma yang luar biasa. Daging rusa yang telah dimarinasi bertemu dengan panas tinggi, permukaannya langsung berubah warna. Gula dalam bumbu rendaman mulai berkaramel, dan lemak internal yang berhasil dipertahankan oleh proses marinasi mulai meleleh.
Setetes lemak jatuh ke atas bara yang membara.
Wussssh!
Gumpalan asap putih tebal langsung membubung. Asap itu beraroma surgawi—gurih, manis, dengan sentuhan asam yang menggoda—tetapi jumlahnya sangat banyak. Untuk sesaat, lubang ventilasi itu bekerja sesuai rencana, menyedot sebagian besar asap ke atas.
Namun, Han Qiu telah salah perhitungan. Ia meremehkan betapa tua dan tersumbatnya lubang itu. Mungkin sarang burung atau tumpukan daun dari puluhan tahun telah menyumbatnya di suatu tempat di atas sana. Tarikannya tidak cukup kuat.
Asap mulai mengepul kembali ke dalam ruangan.
“Xiao Lu, asapnya!” pekik Li panik, menunjuk ke arah langit-langit.
Dalam hitungan detik, situasi berubah dari terkendali menjadi bencana. Asap tebal mulai memenuhi bagian atas gudang, turun perlahan seperti kabut beracun yang harum. Mereka mulai terbatuk. Mata mereka perih.
“Cepat, padamkan apinya!” perintah Han Qiu, suaranya serak.
Li menyambar seember air yang telah mereka siapkan dan menyiramkannya ke panggangan. Suara desisan keras terdengar, dan gumpalan uap panas yang lebih besar meledak, bercampur dengan asap, membuat jarak pandang menjadi nol. Gudang itu kini sepenuhnya dipenuhi kabut putih kelabu yang menyesakkan napas. Mereka terbatuk hebat, berjuang mencari udara bersih di dekat lantai.
“Kita harus keluar dari sini!” seru Li di antara batuknya yang menyakitkan.
Han Qiu merangkak, berusaha menarik Li menuju pintu. Asap itu begitu pekat hingga ia bahkan tidak bisa melihat tangannya sendiri. Ini adalah kegagalan total. Rencana mereka terlalu berbahaya.
Mereka akhirnya berhasil mencapai pintu, mendorongnya terbuka dan terhuyung-huyung keluar ke udara malam yang dingin, terbatuk-batuk dan menghirup udara dalam-dalam seolah baru saja diselamatkan dari dasar laut. Asap tebal mengepul keluar dari pintu gudang yang terbuka, membubung ke langit malam seperti sinyal mara bahaya.
“Kita… kita hampir mati,” isak Li, bersandar di dinding, wajahnya pucat pasi di bawah lapisan jelaga.
Han Qiu hanya bisa mengangguk, paru-parunya terasa terbakar. Ia menatap gumpalan asap yang perlahan menipis di angkasa. Sebuah jejak yang terlalu jelas. Jejak yang bisa membawa malapetaka langsung ke hadapan mereka.
Tiba-tiba, dari ujung koridor yang gelap, terdengar suara langkah kaki yang berat dan disengaja. Bukan langkah patroli yang berirama. Ini adalah langkah seseorang yang berjalan dengan tujuan. Seseorang yang mungkin telah melihat atau mencium asap mereka.
Langkah kaki itu semakin dekat.
Tap. Tap. Tap.
Han Qiu dan Li membeku, tubuh mereka menegang karena teror. Mereka saling pandang dengan mata membelalak, napas mereka tertahan di tenggorokan yang sakit.
“Siapa di sana?” sebuah suara serak dan penuh otoritas memecah keheningan malam, datang dari dalam kegelapan tepat di depan mereka.
“Aku mencium bau daging terbakar.”