Tantangan Kepenulisan Noveltoon
Bagaimana rasanya dijodohkan dengan 5 laki-laki tampan? Tanyalah kepada Irene Abraham.
Cantik, pintar, dan kayaraya membuat kehidupan Irene serasa sempurna. Apapun yang inginkan selalu bisa didapatkan dengan mudah. Hidupnya sangat bebas sesuka-suka hatinya.
Sampai suatu ketika, sang kakek berencana untuk menjodohkannya dengan salah satu putra keluarga Narendra. Ada lima tuan muda yang bisa Irene pilih menjadi pendampingnya, Alan, Alex, Alfa, Arvy, dan Ares. Kelima tuan muda memiliki sifat dan karakter yang berbeda.
Irene yang belum siap menikah, memutuskan untuk menyamar sebagai wanita jelek dan kampungan. Tujuannya satu, agar tidak ada dari kelima tuan muda yang akan menyukainya.
Apakah tujuan Irene berhasil? Ataukah Irene akan jatuh cinta pada salah satu dari kelima tuan muda itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13: Syuting Iklan
"Apa?" Marco sampai melotot dan ternganga mendengar penuturan Arvy.
Sungguh tidak bisa dipercaya jika wanita yang kini tengah duduk di bangku belakang, yang ia bilang mirip gembel lampu merah, ternyata calon menantu keluarga Narendra. Marco berkeyakinan bahwa kakek Arvy sepertinya sudah gila mau menjodohkan salah satu cucunya dengan wanita dekit seperti itu. Masih lebih baik Arvy berjodoh dengan Adila daripada dengan wanita bernama Irene itu.
"Apa kamu tidak bisa membuat masalah yang lebih wajar dan masuk akal? Kamu ingin mengajak wanita ini ke tempat syuting? Bagaimana aku harus menjelaskan kepada orang-orang yang akan bertanya?" Kepala Marco rasanya ingin meledak. Satu masalah belum selesai kini ia dihadapkan dengan masalah baru. Ia kembali melirik ke belakang, melihat tampilan wanita yang sungguh untuk di-make over saja sepertinya sudah tidak bisa tertolong. Rasanya ia ingin gantung diri di pohon jahe saking gregetan dengan kelakuan Arvy.
"Itu kan tugasmu, kenapa bertanya padaku. Cepat jalankan mobilnya!" Arvy tak memperdulikan wajah kusut Marco yang tampak frustasi. Ia sibuk dengan ponselnya, entah sedang apa, tapi dia terlihat bahagia. Sesekali ia tersenyum-senyum sendiri.
Marco kembali menoleh ke belakang. Irene jadi kurang nyaman terus diperhatikan oleh manajer Arvy. Ia tahu bahwa lelaki itu pasti sedang keheranan melihatnya dan bertanya-tanya kenapa Arvy mau menjemputnya dari kampus. Arvy harus mengajak wanita itu jalan-jalan seperti yang dilakukan saudara-saudaranya. Karena ia ada jadwal syuting, mau tidak mau ia harus membawa serta wanita itu. Sang manajer menjadi tumbal kepusingan yang Arvy buat.
"Pak, Anda bisa bilang kalau saya pelayan baru di kediaman Narendra, tidak perlu sungkan, saya tidak akan tersinggung," ucap Irene.
Marco tersenyum kaku. Bagaimanapun juga, wanita itu pasti seorang yang spesial untuk kakek Arvy sampai mau dijadikan menantu. Terlepas dari parasnya yang memang sangat jelek, ia tak boleh meremehkan apa yang sudah kakek Arvy pilih. Kakek Arvy sangat terkenal sebagai orang yang tegas dan galak. Kalau dia salah bertindak, kelangsungan hidupnya juga bisa terancam.
Marco mulai menjalankan mobilnya. Sesekali matanya melirik ke arah spion mengawasi gerak-gerik wanita di belakang. Sementara, Arvy di sampingnya masih asyik tersenyum-senyum pada layar ponselnya.
"Siapa itu? Apakah Adila?" tanya Marco untuk mengusir kesunyian.
"Hahaha ... kamu ingin tahu saja. Aku tidak mau memberi tahu!"
"Bulan depan kamu ada jadwal syuting iklan dengan Adila. Apa kamu yakin mau menerima tawaran itu?" tanya Marco lagi.
"Terserah kamu saja. Kalau sekiranya menguntungkan dan jadwalku sedang kosong, terima. Lagipula itu hanya kepentingan iklan." Arvy berbicara tanpa melepaskan pandangannya dari layar ponsel.
"Bagaimana kalau berita yang lalu kembali mencuat?" Marco masih trauma dengan imbas pemberitaan terdahulu. Arvy yang tidak aktif di media sosial tentu tidak terlalu peduli dengan berita tentang dirinya. Marco yang harus kerja keras menghilangkan berita tersebut.
"Aku sudah bilang kalau itu tugasmu." Arvy masih saja asyik dengan ponselnya. Marco serasa bicara dengan angin.
"Putus saja dengan Adila daripada membuatku repot!"
"Siapa yang pacaran? Ada-ada saja." Arvy berusaha menyangkal.
"Halah! Aku yakin kalian masih sering bertemu tanpa sepengetahuanku. Awas saja kalau kalian tertangkap kamera,"
"Makanya kerja lebih giat supaya karirku tetap gemilang. Kalau aku sukses, nanti bonus untukmu aku tambah."
Mendengar kata bonus tentu saja membuat Marco senang. Ia tak bisa bicara jika sudah diiming-imingi dengan bonus. Arvy tak pernah main-main jika memberikan bonus.
Mobil terus melaju di jalanan kota yang cukup padat. Apalagi sore hari, saat jam-jam pulang kerja, jalanan semakin padat dan di beberapa titik terjadi kemacetan. Untung saja mereka tak sampai telat tiba di tempat syuting.
Kali ini Arvy akan melakukan syuting iklan minuman instan kemasan di tepi pantai. Suasana sore yang cerah sangat pas dengan konsep iklan yang diusung. Tampak kru pembuatan iklan sudah bersiap di lokasi dengan beberapa artis pendukung selain Arvy.
"Oh, Arvy ... apa kamu sudah siap melakukan syuting?" tanya salah seorang kru.
"Yap! Aku sudah siap." Arvy menjawab dengan mantap.
"Ganti dulu bajumu di sana, ya! Sekalian minta make up tipis-tipis supaya syuting bisa segera dilaksanakan."
"Oke!"
Arvy tampak masuk ke sebuah ruangan tenda besar yang dibangun di lokasi. Sementara, Irene berjalan di belakang Marco. Katanya dia tak boleh jauh-jauh dari manajer Arvy itu supaya tidak ada yang bertanya aneh-aneh padanya.
"Kak Jihan! Via mana?" Arvy memanggil salah satu kru dengan suara setengah berteriak. Orang-orang sontak menoleh ke arahnya.
"Memangnya Via belum datang?" wanita bernama Jihan itu malah balik bertanya. Ia juga ikut bingung.
"Di dalam tidak ada," ucap Arvy.
Jihan kembali bertanya kepada kru lain. Mereka sepertinya juga tidak tahu. Via merupakan make up artis yang seharusnya menangani Arvy dan artis lain yang terlibat dalam proses syuting itu.
Jihan mengambil teleponnya, berusaha menghubungi Via. Dari raut wajahnya terlihat jelas jika orang yang dihubunginya tidak menjawab. Ia menghela napas panjang.
"Bagaimana, Jihan? Apa Via bisa dihubungi?" tanya Marco ikut maju. Irene hanya mengikuti Marco terus di belakang.
Jihan menggeleng.
Marco melirik ke arah jam tangannya. "Padahal ini sudah sore. Kalau terlambat, keburu gelap dan syuting bisa diundur besok. Arvy ada jadwal pemotretan besok."
"Mau bagaimana lagi? Artis lain juga masih menunggu. Kalau tidak ada yang membantu menyiapkan mereka, kita tidak bisa mulai." Jihan tampak pasrah.
"Aku bisa kalau hanya menangani Arvy saja. Tapi, kalau semua artis aku menanganinya sendiri, bisa pingsan di tempat aku!" Marco melirik ke arah artis yang sedang menunggu. Ada dua artis wanita dan dua artis pria termasuk Arvy yang akan terlibat syuting. Melihat wajah judes artis wanita saja sudah membuat Marco malas menawarkan bantuan. Mereka biasanya akan banyak protes.
"Ya sudah, kita tunda saja syutingnya."
"Eh, jangan ambil keputusan dulu!" Marco mencegah Jihan menunda syuting. Dia rugi kalau Arvy tak menyelesaikan kontrak syuting iklan hari itu. Nanti pekerjaannya akan bertumpuk.
"Kalau kamu sanggup menata para artis, aku tetap akan menjalankan syuting. Sepertinya Via tak bisa diharapkan."
Marko menggaruk kasar rambutnya. Ia sangat stres. Pokoknya Arvy harus bisa syuting hari itu juga.
"Pak Marco, kalau tidak keberatan, aku bisa membantu." Irene yang sedari tadi hanya menyimak ikut angkat bicara. Marco hanya membeku mendengar tawaran bantuan dari Irene.
"Nah, itu ... pelayanmu bilang sanggup untuk membantu. Bagaimana, apa kamu bisa menggantikan tim make up artis?" tanya Jihan. "Tumben kamu membawa orang biasa ke sini. Biasanya tim kamu orang-orangnya berpenampilan modis," gumam Jihan. "Tapi, penampilan tidak masalah yang penting bisa kerja, kan?"
hamish tgh sekarat pun sempat lagi bercium... nyampahhhh