Di pinggiran hutan Jawa yang pekat, terdapat sebuah desa yang tidak pernah muncul dalam peta digital mana pun. Desa Sukomati adalah tempat di mana kematian menjadi industri, tempat di mana setiap helai kain putih dijahit dengan rambut manusia dan tetesan darah sebagai pengikat sukma.
Aris, seorang pemuda kota yang skeptis, pulang hanya untuk mengubur ibunya dengan layak. Namun, ia justru menemukan kenyataan bahwa sang ibu meninggal dalam keadaan bibir terjahit rapat oleh benang hitam yang masih berdenyut.
Kini, Aris terjebak dalam sebuah kompetisi berdarah untuk menjadi Penjahit Agung berikutnya atau kulitnya sendiri akan dijadikan bahan kain kafan. Setiap tusukan jarum di desa ini adalah nyawa, dan setiap motif yang terbentuk adalah kutukan yang tidak bisa dibatalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12: Aroma Kapur Barus Terakhir
Ia jatuh terpeleset di atas lantai kayu rumah tuanya, namun bau kapur barus yang tercium kali ini berasal dari arah lemari pakaian ibunya. Kayu jati tua pada lemari itu tampak bergetar hebat, mengeluarkan cairan bening yang sangat lengket dan beraroma kematian yang sangat pekat. Aris Mardian mencoba bangkit dengan bertumpu pada kaki meja yang sudah rapuh, sementara pandangannya masih berputar-putar akibat hantaman energi dimensi gaib.
"Sekar, jangan mendekat ke lemari itu, ada sesuatu yang sedang mencoba keluar!" teriak Aris sambil menarik tangan Sekar Wangi menjauh.
"Aku mencium bau kain lama yang sudah sangat busuk, Aris, ini bukan sekadar pakaian biasa," jawab Sekar dengan wajah yang dipenuhi ketegangan.
Pintu lemari itu mendadak terbuka dengan paksa hingga engselnya terlepas dan menghantam lantai dengan suara dentuman yang sangat keras. Berpulu-puluh meter kain kafan yang sudah menguning meluncur keluar seperti air bah, memenuhi seluruh ruang kamar dalam sekejap mata. Di tengah gulungan kain itu, Aris melihat sepasang tangan yang pucat pasi dan penuh bekas jahitan mulai menggapai-gapai udara.
"Itu tangan ibu? Tidak mungkin, ibu sudah lama meninggalkan rumah ini!" seru Aris dengan suara yang tercekat di tenggorokan.
"Itu bukan ibumu, Aris, itu adalah ingatan yang dijahit menjadi daging oleh kekuatan kutukan ini!" balas Sekar sambil menyiapkan pisau bedahnya.
Aris merasakan dunianya seakan runtuh saat melihat wajah yang muncul dari balik tumpukan kain kafan itu memang menyerupai wajah ibunya. Namun, mata sosok itu telah diganti dengan kancing perunggu tua, dan bibirnya terjahit sangat rapi menggunakan benang rambut manusia yang masih berdarah. Sosok itu mengeluarkan suara rintihan yang sangat menyayat hati, merangkak di atas lantai menuju ke arah Aris dengan gerakan yang patah-patah.
"Pergi! Kamu bukan ibuku! Berhenti mendekat!" jerit Aris sambil melemparkan lampu minyak ke arah tumpukan kain tersebut.
"Hati-hati Aris, api biasa tidak akan bisa membakar serat kain yang sudah direndam dalam darah tumbal!" teriak Sekar memperingatkan.
Api yang membakar kain itu bukannya berwarna merah, melainkan berwarna hijau kebiruan yang sangat dingin dan sama sekali tidak mengeluarkan hawa panas. Sosok menyerupai ibu Aris itu justru semakin cepat merayap, jemarinya yang panjang mulai menyentuh ujung kaki Aris dengan cengkeraman yang sangat kuat. Aris merasakan aliran dingin menjalar naik ke tulang sumsumnya, melumpuhkan seluruh otot kakinya hingga ia jatuh berlutut di depan sosok mengerikan itu.
"Kenapa kamu meninggalkanku sendirian di desa yang penuh kutukan ini, anakku?" bisik suara yang berasal dari balik jahitan bibir sosok tersebut.
"Aku tidak pernah meninggalkan siapa pun, aku hanya ingin bebas dari kegilaan keluarga ini!" balas Aris dengan air mata yang mulai mengalir deras.
Sekar Wangi segera menusukkan pisau bedahnya ke arah pergelangan tangan sosok itu, mencoba melepaskan cengkeraman maut yang sedang mengunci tubuh Aris. Cairan hitam kental menyemprot keluar dari luka tersebut, mengenai wajah Sekar dan menciptakan sensasi terbakar yang sangat menyakitkan bagi sang bidan. Sekar mengerang, namun ia tidak melepaskan tekanannya hingga sosok itu terpaksa mundur ke dalam bayang-bayang lemari kayu jati.
Aris melihat tanda merah di tangannya berdenyut semakin kencang, memancarkan cahaya yang selaras dengan rintihan sosok di depannya. Ia menyadari bahwa sosok ini adalah bagian dari nyawa yang pernah dijahit oleh ibunya sendiri untuk melindunginya dari kejaran sang kakek buyut. Sebagai seorang arsitek, Aris mulai melihat adanya kejanggalan pada denah kamar ini, di mana bayangan lemari itu tidak jatuh tegak lurus ke arah lantai.
"Sekar, lemari ini bukan diletakkan di atas lantai, tapi di atas sebuah lubang pembuangan darah!" seru Aris sambil menunjuk ke bawah lemari.
"Geser lemarinya sekarang! Kita harus menutup lubang itu sebelum seluruh isi makam desa ini keluar!" perintah Sekar dengan sisa tenaganya.
Dengan sisa kekuatan yang ada, Aris dan Sekar bahu-membahu mendorong lemari jati yang sangat berat itu ke arah lubang gelap yang baru saja terungkap. Suara jeritan ribuan bayi tanpa raga meledak dari dalam lubang tersebut, memecahkan seluruh kaca jendela di rumah tua itu menjadi serpihan kecil. Aris merasakan tangannya gemetar saat menyentuh permukaan kayu yang terasa sangat berminyak dan penuh dengan bisikan-bisikan gaib yang menggoda pikirannya.
Tepat saat lemari itu menutupi lubang, sebuah tangan raksasa yang terbuat dari jalinan benang rambut muncul dari langit-langit dan mencengkeram leher Aris. Aris terangkat ke udara, kakinya menendang-nendang ruang hampa sementara napasnya mulai terputus akibat tekanan yang sangat luar biasa kuat. Di saat kesadarannya mulai memudar, ia melihat sosok ibunya yang asli berdiri di ambang pintu rumah sambil membawa sebuah perjamuan di atas nampan tembaga.
Di saat kesadarannya mulai memudar, ia melihat sosok ibunya yang asli berdiri di ambang pintu rumah sambil membawa sebuah perjamuan di atas nampan tembaga.