Seorang Food Vlogger modern yang cerewet dan gila pedas, Kirana, tiba-tiba terlempar ke era kerajaan kuno setelah menyentuh lesung batu di sebuah museum. Di sana, ia harus bertahan hidup dengan menjadi juru masak istana, memperkenalkan cita rasa modern, sambil menghindari hukuman mati dari Panglima Perang yang dingin, Raden Arya.
12. Hening di Hutan Larangan
Satu Tahun Kemudian.
Kirana sudah kembali menjadi Conten Creator. Kariernya melejit. Konten masaknya yang unik—menggabungkan resep kuno dan modern—menjadi viral. Ia sering diundang menjadi pembicara tentang sejarah kuliner Nusantara.
Namun, ada satu lubang dihatinya yang tak bisa ditambal.
Setiap akhir pekan, Kirana selalu pergi ke Museum Nasional. Ia akan duduk berjam-jam di depan Lesung Batu itu, menatapnya kosong, berharap ditarik kembali. Tapi keajaiban itu tidak pernah datang dua kali.
Siang itu, museum cukup sepi. Kirana sedang berdiri memandangi sebuah etalase kaca baru di bagian Pahlawan Majapahit.
Di sana, terpajang replika keris Kyai Sengkelat. Dan di sebelahnya, ada sebuah keterangan sejarah :
Raden Arya Wirasena (1385-1440)
Panglima Perang legendaris yang dikenal tak terkalahkan. Catatan sejarah menyebutkan beliau menolak perjodohan kerajaan dan memilih melajang hingga akhir hayatnya. Beliau dimakamkan dengan memegang sebuah ‘Benda Asing’ yang diyakini sebagai jimat cintanya: Sebuah jepit rambut plastik berwarna merah muda.
Kirana tertawa sambil menangis. Jepit rambut gue…dia nyimpen jepit rambut gue yang jatoh.
“Tragis ya kisahnya?”
Sebuah suara bariton yang berat dan familier terdengar dari sampingnya.
Kirana menoleh kaget. Jantungnya berhenti berdetak.
Di sebelahnya, berdiri seorang pria muda jangkung. Ia mengenakan kemeja putih yang lengan bajunya digulung, memperlihatkan lengan yang kokoh. Wajahnya…rahang tegas itu, hidung mancung itu, mata elang itu.
Sama persis,
Hanya saja rambutnya pendek rapi ala eksekutif muda, dan tidak ada bekas luka perang.
Pria itu tersenyum melihat Kirana yang melongo.
“Saya sering lihat kamu di sini setiap minggu,” kata pria itu ramah. “Kamu suka banget sama sejarah Panglima Arya?”
Mulut Kirana terkunci. Ia hanya bisa mengangguk kaku.
Pria itu mengulurkan tangan. “Kenalin. Saya Arya. Arya Baskara. Saya arsitek yang lagi ngerjain renovasi sayap kiri museum ini.”
Kirana menatap tangan yang terulur itu. Tangan yang sama yang pernah memeluknya di hutan, yang pernah mengobati lukanya, yang pernah melepaskannya pergi.
Perlahan, Kirana menyambut uluran tangan itu. Saat kulit mereka bersentuhan, ada sengatan listrik statis yang kuat.
Pria bernama Arya itu tersentak sedikit, matanya membesar. Ia menatap Kirana dengan tatapan aneh…tatapan deja vu. Seolah dia baru saja menemukan sesuatu yang hilang selama berabad-abad.
“Aneh…”gumam Arya pelan, tidak melepaskan jabatannya. “Saya merasa…kita pernah ketemu sebelumnya? Apa kita pernah kenal?”
Kirana tersenyum lebar, air mata bahagia mengalir di pipinya. Ia menggenggam tangan itu erat, memastikan kali ini ia tidak akan melepaskannya.
“Pernah, Mas,” jawab Kirana lembut. “Kita pernah ketemu. Jauh…jauh sekali dari sini. Di bawah bulan merah.”
Arya modern itu tampak bingung, tapi ia tidak menarik tangannya. Malah, ia tersenyum, senyum yang membuat hati Kirana hangat.
“Kalau begitu,” kata Arya. “Mau temani saya makan siang? Saya tahu tempat Nasi Goreng yang enak. Atau…kamu mau masakin saya?”
Kirana tertawa renyah. “Boleh. Tapi jangan protes kalau pedas ya.”
“Siap, Tuan Putri.”
Di luar museum, langit Jakarta cerah. Sejarah telah berakhir, namun kisah baru mereka baru saja di mulai.
End Of Season 1
Bonus Chapter (setelah Kirana menghilang di telan cahaya)
Cahaya putih menyilaukan itu padam secepat kemunculannya. Pusaran angin berhenti berhembus. Daun-daun kering yang beterbangan jatuh kembali ke tanah.
Hutan Larangan kembali sunyi. Senyap. Mati.
Raden Arya masih berdiri dengan tangan terulur ke depan, mencengkeram udara kosong.
Tidak ada siapa-siapa di sana.
Hanya ada Lesung Batu tua yang kini tampak biasa saja, dingin dan tak bernyawa. Sosok gadis mungil dengan kemeja flanel dan celana sobek-sobek itu sudah hilang. Lenyap tak berbekas seolah tak pernah ada.
“Kirana…”
Arya memanggil pelan. Suaranya serak, pecah di tenggorokan.
Tidak ada jawaban. Hanya suara jangkrik yang mulai berani bersuara lagi.
Lutut sang Panglima yang tak terkalahkan itu akhirnya menyerah. Arya jatuh berlutut di tanah yang lembap. Bahunya yang tegap, yang biasa memikul beban perang kerajaan, kini berguncang hebat.
Ia menundukkan kepalanya, memukul tanah dengan kepalan tangannya. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Hingga kulit bukunya lecet dan berdarah.
“AARGGHHH!!!”
Teriakan pilu Arya menggema ke seluruh penjuru hutan, menakuti burung-burung malam. Teriakan seorang pria yang separuh jiwanya baru saja di cabut paksa oleh waktu.
Saat ia menarik tangannya dari tanah, matanya menangkap kilatan kecil di sela-sela rumput liar, tepat di tempat Kirana berdiri.
Benda kecil berwarna merah muda cerah. Terbuat dari bahan aneh yang ringan (plastik), berbentuk pita.
Itu jepit rambut Kirana. Terjatuh saat ia tersedot pusaran waktu.
Dengan tangan gemetar, Arya memungut benda mungil itu. Benda remeh yang di mata orang lain hanyalah sampah, tapi bagi Arya kini lebih berharga daripada mahkota Raja.
Ia membersihkan debu yang menempel di jepit itu dengan ujung jarinya, lalu mengecupnya lama. Masih tercium samar sampo stroberi yang biasa dipakai gadis itu.
Arya menggenggam jepit itu erat-erat di dadanya, tepat di jantungnya. Ia mendongak menatap bulan yang warna merahnya mulai memudar, kembali menjadi putih pucat.
Perlahan, Arya bangkit berdiri. Wajahnya yang basah oleh air mata kini berubah keras. Tatapan matanya tajam kembali, namun kali ini ada kekosongan abadi di sana.
“Tunggu aku…”bisik Arya pada bulan.
Ia menyisipkan jepit rambut merah muda itu ke balik sabuk kulitnya, di samping keris pusakanya.
“Kau boleh pergi sejauh waktu memisahkan kita. Tapi aku…aku akan tetap di sini. Menjaga ingatan tentangmu. Sampai napas terakhirku, sampai tulangku menjadi debu, aku tidak akan membiarkan dunia melupakan bahwa kau pernah ada.”
Arya berbalik badan, memunggungi Lesung Batu itu. Ia berjalan kembali menuju istana sendirian, melangkah menuju masa depan yang sepi tanpa cintanya, memeluk janji setia yang akan ia bawa sampai mati.