Di Desa Fuyun yang terkubur salju, Ling Tian dikenal sebagai dua hal yakni badut desa yang tak pernah berhenti tertawa, dan "Anak Pembawa Sial" yang dibenci semua orang.
Tidak ada yang tahu bahwa di balik senyum konyol dan sikap acuh tak acuh itu, tersimpan jiwa yang lelah karena kesepian dan... garis darah monster purba yang paling ditakuti langit yakni Kunpeng.
Enam puluh ribu tahun lalu, Ras Kunpeng musnah demi menyegel Void Sovereign, entitas kelaparan yang memangsa realitas. Kini, segel itu retak. Langit mulai berdarah kembali, dan monster-monster dimensi merangkak keluar dari bayang-bayang sejarah.
Sebagai pewaris terakhir, Ling Tian dipaksa memilih. Terus bersembunyi di balik topeng humornya sementara dunia hancur, atau melepaskan "monster" di dalam dirinya untuk menelan segala ancaman.
Di jalan di mana menjadi pahlawan berarti harus menjadi pemangsa, Ling Tian akan menyadari satu hal yakni untuk menyelamatkan surga, dia mungkin harus memakan langit itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alvarizi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PROLOG: Ketika Langit Menangis Darah
15 yang Tahun Lalu - Langit Benua Utara, Qingling.
Langit tidak hanya retak pada hari itu. ia seakan menjerit.
Suara yang turun dari angkasa bukanlah guntur, melainkan suara robekan. Tinggi, melengking dan menusuk, seperti kain realitas yang direnggut paksa hingga seratnya putus satu per satu.
Di bawah langit, di hamparan salju abadi Benua Utara, jutaan manusia menengadah. Petani kedinginan, pedagang yang tamak, hingga tetua sekte yang merasa diri mereka perkasa, semua menatap dengan perasaan yang sama 'mereka hanyalah titik debu'.
Sesuatu yang begitu besar memblokir matahari.
Bayangan raksasa itu membentang seluas tiga ribu mil. Ia bergerak pelan, bergeser antara wujud padat dan gelombang cahaya, seperti makhluk yang tak seharusnya ada di dunia fana.
Sisiknya adalah gugusan bintang yang meredup. Siripnya melebar laksana sayap kosmik yang mampu mengaduk badai hanya dengan satu sentuhan.
Sang Kunpeng Terakhir.
Raja purba dari segala raja langit.
Namun tiada keagungan dalam kedatangannya kali ini, yang ada hanya kehancuran. Bau ozon terbakar bercampur aroma logam pekat memenuhi udara, membuat siapa pun yang menghirupnya merasa mual.
Lalu darah menetes dari langit.
Tesss.
DUAAR!
Setetes darah emas kebiruan seukuran kereta kuda jatuh menghantam puncak gunung es. Ledakannya tidak meruntuhkan gunung itu. Melainkan gunung itu… menguap.
Sang Kunpeng sedang sekarat.
“Lari… kau harus… lari…”
Suara yang melintas bukan melalui mulut melainkan melalui struktur dunia itu sendiri. Benua bergetar ngeri. Itu adalah sisa-sisa kesadarannya yang terurai.
Di belakangnya, pada retakan dimensi tempat ia muncul, merembeslah sebuah kegelapan yang salah.
Bukan gelap malam.
Bukan juga bayang-bayang.
Tetapi kekosongan yang sedang lapar.
Void Sovereign atau setidaknya bayangan dari nafsu makannya.
Kunpeng tahu ia tak akan bertahan. Bilah-bilah kehampaan telah mencabik organ spiritualnya. Jantung yang selama ribuan tahun menjadi jangkar keseimbangan dunia kini berdetak lemah, seperti gong purba yang kehilangan gema terakhirnya.
Ia menatap ke bawah.
Bukan untuk mencari keselamatan. Melainkan untuk menyembunyikan satu-satunya hal yang masih bisa diselamatkan yakni sebuah harapan.
“Mereka akan memburu darahku. Mereka akan memakan tulangku. Tapi mereka tidak boleh menemukan… jiwaku.”
Dengan sisa kekuatan yang mengguncangkan atmosfer Benua Utara hingga longsor salju berguguran ribuan titik, sang Kunpeng melakukan sesuatu yang tabu.
Ia memadatkan seluruh esensi hidupnya.
Mulai dari ribuan tahun kultivasi.
Memori era purba.
Hingga hukum ruang dan waktu yang ia kuasai.
Semuanya ia tarik, ia peras, ia paksa menjadi segumpal sinar kecil.
Rasa sakitnya tak terkatakan, seperti merobek jiwanya sendiri menjadi serpihan-serpihan tajam. Retakan mulai menyebar di tubuh raksasanya. Cahaya biru menyembur dari sela-sela retakan, menyilaukan siapa pun yang melihatnya.
Caar.
Tubuh fisiknya meledak.
Ledakan cahaya itu bukan api, melainkan partikel spiritual yang meluap bagai hujan bintang. Bagi manusia biasa, itu tampak seperti kembang api terindah sekaligus paling mengerikan yang pernah ada.
Hujan cahaya biru turun, menyuburkan tanah mati, menyembuhkan orang tua sakit, memberi berkah pada siapa pun yang disentuhnya.
Dunia bersorak dan mengira ini mukjizat.
Padahal ini… pemakamannya.
Di tengah badai cahaya itu, satu titik kecil yang tak lebih besar dari sebutir beras meluncur turun tanpa suara. Luput dari para ahli bela diri yang sibuk mengais darah raksasa, luput dari mata-mata kegelapan yang menunggu.
Titik cahaya itu menembus badai salju, terbang menuju sebuah gubuk reyot di desa terpencil bernama Fuyun.
Di dalam gubuk itu, seorang wanita menjerit kesakitan, tengah berjuang melahirkan anaknya.
Cahaya itu menyusup masuk.
Bukan ke dada sang bayi melainkan ke dalam darahnya.
Itu bersembunyi di balik detak jantung mungil yang baru berdenyut untuk pertama kalinya.
Di langit, sisa tubuh Kunpeng perlahan memudar, tertelan angin utara.
Dunia kembali sunyi.
Hanya tangisan bayi yang pecah di tengah malam.
Tangisan yang berbeda.
Tangisan yang bukan ketakutan.
Melainkan seolah… menertawakan takdir kejam yang baru saja menyentuh pundak kecilnya.
Era para Dewa telah berakhir.
Dan di salju terpencil Desa Fuyun,
Era Sang Pemangsa Langit baru saja dimulai.