NovelToon NovelToon
Ketika Takdir Menemukan Langit

Ketika Takdir Menemukan Langit

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / CEO / Office Romance
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Lacataya_

Embun Nadhira Putri, 28 tahun, terjebak antara tuntutan pekerjaan dan desakan keluarganya untuk segera menikah. Ketika akhirnya mencoba aplikasi kencan, sebuah kesalahan kecil mengubah arah hidupnya—ia salah menyimpan nomor pria yang ia kenal.

Pesan yang seharusnya untuk orang lain justru terkirim kepada Langit Mahendra Atmaja, pria matang dan dewasa yang tidak pernah ia pikirkan akan ia temui. Yang awalnya salah nomor berubah menjadi percakapan hangat, lalu perlahan menjadi sesuatu yang jauh lebih berarti.

Di tengah tekanan keluarga terutama sang Mama, rutinitas yang melelahkan, dan rasa takut membuka hati, Embun menemukan seseorang yang hadir tanpa diminta.
Dan Langit menemukan seseorang yang membuatnya ingin tinggal lebih lama.

Terkadang takdir tidak datang mengetuk.
Kadang ia tersesat.
Kadang ia salah alamat.

Dan kali ini…
takdir menemukan Langit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18 – Kegagalan Profesionalitas

Pagi itu, apartemen Langit masih tenggelam dalam ketenangan khas lantai tinggi—sunyi, tertata, hanya ditemani cahaya matahari muda yang menembus tirai dan jatuh lembut ke lantai marmer. Aroma kopi hitam barusan diseduh memenuhi udara, naik pelan bersama uap tipis yang memantul di kaca meja makan. Langit berdiri bersandar di island dapur, mengenakan kaus gelap dan celana jogger, rambutnya sedikit berantakan seolah ia belum sepenuhnya kembali dari dunia mimpi.

Ia baru saja menyesap kopi pertamanya ketika ponselnya bergetar pelan di samping cangkir.

Getaran yang seharusnya biasa. Rutinitasnya saat ini, notifikasi yang biasanya ia abaikan sampai dirinya siap menghadapi dunia luar.

Tapi entah kenapa… getaran itu membuat jantungnya terasa terpleset sedikit.

Pelan-pelan, Langit menurunkan gelasnya. Ia meraih ponsel—niatnya hanya memeriksa cepat sebelum mandi. Namun, begitu layar menyala… nama itu muncul.

Voice note baru dari: “Unknown Number.”

Langit terdiam. Mata gelapnya menatap layar itu beberapa detik lebih lama dari seharusnya—seolah sedang memastikan apakah ia tidak sedang berhalusinasi. Cahaya pagi memantul tipis di wajahnya, menegaskan garis rahangnya yang mengencang perlahan karena rasa penasaran yang muncul tanpa permisi.

Ia menekan tombol play. Dan suara itu…

Suara lembut yang sedikit serak pagi, gugup tapi berusaha terdengar santai—mengalir begitu halus lewat speaker ponselnya.

Unknown Number : “Gue… nggak tahu harus bilang apa… tapi… yaaa… kalau pagi lo jadi ribut dan suara gue bikin lo candu… maafin ya… suara gue… ya… emang gitu.”

Langit langsung freeze.

Tubuhnya benar-benar berhenti bergerak—bahkan nafasnya seolah tertahan di tenggorokan. Tangannya menggenggam ponsel sedikit lebih erat, sementara tatapan matanya berubah… lebih fokus, lebih gelap, lebih tertarik dari yang ingin ia akui.

Ada keheningan panjang setelah voice note itu selesai. Hening yang anehnya… terasa terlalu penuh.

Langit menutup mata sejenak, menghela napas pelan. Tapi bukan karena kesal. Bukan karena bingung juga. Lebih seperti… berusaha menenangkan sesuatu di dadanya yang tiba-tiba bergerak liar.

Ia menarik kursi dan duduk, tapi punggungnya bersandar setengah—pose santai yang seolah tidak dipikirkan… padahal ia sedang kehilangan segala wibawa CEO-nya. Satu tangannya naik mengusap tengkuknya, kebiasaan ketika sesuatu membuat pikirannya kacau.

Dan sekarang, kacau adalah kata yang paling akurat.

Ia memutar voice note itu lagi. Sekali lagi. Dan sekali lagi.

Seolah mencoba memastikan bahwa suara malu-malu itu beneran ditujukan kepadanya—bukan halusinasi pagi atau efek kopi yang terlalu pahit.

Langit menatap ponselnya lama… sangat lama. Ada sesuatu yang menghangat di balik tatapan dinginnya. Sesuatu yang tidak bisa ia kendalikan.

Dan untuk pertama kalinya pagi itu— dia tersenyum kecil. Senyum yang tidak pernah muncul untuk siapa pun dalam beberapa tahun terakhir.

**

Siang itu kantor Global Farmasi sudah mulai sibuk seperti biasa. Printer berdenging, aroma kopi sachet bercampur dengan AC yang agak terlalu dingin, dan suara sandal karyawan bersliweran dari kubikel ke kubikel. HRD lantai dua bergerak seperti mesin besar—rapi, terjadwal, dan pragmatis.

Kecuali satu orang. Embun.

Ia duduk di meja kerjanya, mengenakan blazer abu dan kacamata kerja, tetapi pandangannya… kosong. Bukan kosong karena meditasi. Bukan juga kosong karena fokus kerja.

Kosong yang… memikirkan suara cowok misterius jam tujuh pagi tadi.

Ia menatap layar monitor, kursor berkedip di file laporan absensi, tapi otaknya hanya mengulang satu hal  “… suara lo itu malah bikin pagi gue ribut banget, tapi bikin candu.”

Embun menghembuskan napas panjang, menutup wajah dengan satu tangan, dan meremas ujung blazer sendiri.

“Astaga… itu suara kenapa sih bisa nempel kayak lem Korea…” gumamnya lirih.

Dari sebelah kubikelnya, Karin memandanginya lama, mencicip keripik kentang, lalu berucap tanpa emosi:

“Bun, sumpah ya… gue bingung lo itu HRD atau pasien kesurupan jin bengong.”

Embun langsung menoleh cepat, nyaris terpeleset dari kursi. “A—apa?! Gue kerja ini!”

Karin mengangkat alis tinggi-tinggi. “Kerja apaan? Dari tadi muka lo kayak buffering tanpa Wi-Fi. Gue panggil dari tadi nggak nyaut, cuma senyum-senyum kayak lagi nonton sinetron Korea.”

“Gue… lagi mikir. Banyak kerjaan.”

“Mikir kerjaan bene rapa mikir kerjaan dihati, masih pagi loh ini! Apaan sih yang lagi lo pikirin?”

Nada Karin sengaja dibuat ringan tapi penuh tuduhan sayang sahabat.

Embun menutup laptop pelan, seperti butuh jeda realita. “Rin, sumpah, gue nggak ngerti kenapa suara orang random bisa kayak… nyangkut di dada sama otak gue.”

“Ah, itu mah jelas.” Karin mengunyah keripik, menunjuk Embun pakai sedotan. “Itu namanya lo kena racun love at first sight.”

Embun meletakkan kepalanya di atas meja. “Bisa nggak lo berhenti bikin gue bingung sama kata kata lo?”

**

Satu jam  kemudian, seluruh tim divisi HRDGA & IT dipanggil ke ruang rapat besar. Meja panjangnya rapi, slide presentasi sudah muncul di layar, menampilkan tema besar:

“RAPAT PERSIAPAN ANNIVERSARY KE-20 GLOBAL FARMASI.”

Embun duduk di kursi tengah, membuka buku catatan, mencoba mengembalikan dirinya ke mode profesional. Tapi yang ada suara itu… suara itu… masih bergaung lembut di kepalanya.

“… suara lo itu malah bikin pagi gue ribut banget, tapi bikin candu.”

Dan Embun langsung ingin menabrakkan kepalanya ke meja.

Manager HRD, Pak Dimar — Pria paruh baya yang rapi, tegas, wajah selalu terlihat seperti habis minum espresso tiga shot — mulai bicara.

“Jadi, anniversary tahun ini harus lebih elegan dan formal. Kita ingin menampilkan—”

Tiba-tiba Embun melihat ponselnya menyala. Satu notifikasi. Dari Mr. Don’t Know.

Embun menegang. Jantungnya langsung naik ke tenggorokan. Ia menunduk sedikit untuk melihat, tanpa niat membuka.

Bu Devina melanjutkan, “Dan khusus tim HR, kita butuh data lengkap untuk—”

Saat ini yang ada dipikiran Embun malah, “Gue buka nggak? Jangan. Tapi pengen. Tapi jangan. Tapi penasaran. Ini salah satu tanda-tanda gue perlu terapi, bukan?”

Ia mencoret-coret buku catatannya tanpa sadar. Bukan catatan rapat. Tapi tulisan  ‘Suaranya kenapa gitu?’ ‘Gue kangen suara dia?’

Tiba-tiba Pak Dimar menatapnya. “Embun, kamu bisa ulangi poin yang tadi?”

Seluruh ruangan menoleh.

Embun langsung duduk tegak, membuka mulut, dan… mengucapkan kalimat paling memalukan sepanjang sejarah HRD.

“Ehm… iya Pak. Jadi… untuk ulang tahun Global Farmasi ke-20… kita harus hubungi—” Napasss. Mulut bergerak lebih cepat dari otak. “—Pak .. Pak – Pak, Pak siapa yaa.”

Hening. Total.

Seluruh ruangan menatap Embun seperti embun barusan menyatakan cinta ke CEO perusahaan lain.

Pak Dimar mengernyit tajam. “Maaf, Embun? Ketua panitia ulang tahun kita namanya Pak Gandhi, bukan Pak Siapa.”

Embun membeku. Satu detik. Dua detik. Lalu— Seluruh ruangan MELEDAK TAWA.

“BHAHAHAHAHAHA— EMBUN NGELAMUN!!”

“Astaga Bun, lo mimpi apa semalem?”

“Kayanya kamu butuh ngopi Bun” ucap Pak Dimar disela tawanya.

Embun ingin menghilang dari dunia. Ia menutup wajah, merosot di kursi, wajah merah seperti tomat rebus.

Di sampingnya, Karin menepuk bahunya sambil berbisik, “Jin bengong lo upgrade jadi jin bingung.”

Embun mengerang pelan. “Rin… gue mau resign. Sekarang.”

**

Ruang pantry siang itu berbau kopi sachet, mi goreng cup, dan sedikit aroma toner mesin fotokopi yang entah kenapa ikut menyelinap masuk. Lampu neon di atas kepala berpendar agak redup, menciptakan suasana seperti ruang interogasi bagi karyawan yang kabur dari meeting.

Embun berdiri di pojokan, tepat di belakang dispenser air panas yang berdengung halus—spot paling strategis untuk sembunyi dari keramaian lantai dua. Napasnya masih belum stabil setelah insiden memalukan di ruang rapat tadi. Ia membuka ponselnya pelan, seperti takut isinya bisa meledak jika disentuh terlalu cepat.

Dan di sana. Tepat di layar. Pesan dari Mr. Don’t Know.

Mr. Don’t Know: Gimana kerjaan pagi ini, lancar? Atau… malah chaos karena kepikiran sesuatu?

Embun meraih dada, hampir menjatuhkan tutup gelas kopinya.

“Kok dia tahu banget pola hidup gue sih…” gumamnya lirih sambil menatap layar seperti itu teka-teki milik NASA.

Ia menghembuskan napas panjang, merapikan rambut, lalu bersandar ke dispenser—meski suhunya jelas tidak mendukung kegiatan membakar pipi yang sudah panas dari sononya. Pikirannya memutar kembali suara cowok itu, berat, sedikit serak, tapi punya ketenangan yang justru bikin lututnya suka goyah tanpa alasan logis.

Dia menggulung ujung lengan blazernya, mencoba bersikap netral saat jemarinya mulai mengetik.

Embun: Kerjaan… aman. Maksud gue… aman secara fisik. Mental masih rawan bubar.

Embun menatap chat-nya, menggigit bibir bawah pelan. “Aduh Bun, kenapa sih chatting sama dia kayak ikut lomba memalukan nasional,” gerutunya pada diri sendiri sambil menenggak setengah isi gelas.

Notifikasi masuk lagi. Cepat. Terlalu cepat malah. Seolah cowok itu memegang ponselnya 24/7 hanya untuk menunggu Embun balas.

Mr. Don’t Know: Mental kenapa? Lo gak papa kan? Apa ada yang buat lo mikir sesuatu same mental lo rawan bubar gitu?

Embun menutup mulut dengan tangan. Dia berdiri lebih tegak, mencoba menarik napas.

“Kenapa sih dia ngomongnya kayak tahu gue lagi mikir sesuatu terus… padahal… ya .. emang gue lagi mikirin dia,” bisiknya dengan wajah merona parah.

Namun sebelum Embun sempat mengetik balasan, langkah kaki terdengar dari arah pintu pantry. Karin masuk sambil membawa tiga cup yogurt dan ekspresi penuh curiga, seperti detektif yang ingin menuntaskan kasus.

“KETAHUAN.” Karin menunjuk Embun dengan tutup yogurt. “Tadi di meeting lo bingung soal nama bos, sekarang lo ngumpet di belakang dispenser kayak kriminal cinta. Lo chatting sama dia kan??”

Embun langsung menggeleng keras, tapi pipinya memancarkan kebenaran yang telak.

“Oh my God. Beneran. DIA.” Karin menepuk dahi. “Gue harus panggil pak Kiayi buat rukiyah lo, sumpah.”

Embun hanya menutup wajah dengan gelas kopi. “Rin… gue nggak ngerti kenapa suara dia tuh—“

“—nggak usah dilanjut, Bun. Gue sudah lihat sendiri muka orang yang lagi kepincut suara bariton mahal,” balas Karin sambil menyendok yogurt seenaknya.

Sementara Embun mencoba menenangkan diri, ponselnya kembali bergetar. Dan ia tahu, jantungnya akan ikut bergetar juga.

**

Di puncak gedung Atmaja Group yang melesat menjulang ke langit Jakarta, suasana kantor sangat berbeda dengan pantry HRD Global Farmasi. Interiornya elegan, kaca bening memantulkan cahaya matahari, dan ruangan CEO berada dalam kesunyian yang biasanya menjadi tempat lahirnya keputusan penting bernilai miliaran.

Hari ini? Kesunyian itu penuh dengan kegelisahan tidak beralasan.

Langit duduk di belakang meja kerjanya, kemeja hitamnya tampak rapi, tetapi ekspresi wajahnya jauh dari kata fokus. Ia menatap layar laptop, grafik-grafik bergerak, proposal terbuka, tapi satu pun tidak masuk ke kepalanya.

Satu-satunya hal yang menancap di pikirannya hanya satu, pesan terakhir dari perempuan itu. Perempuan yang bahkan belum ia tahu namanya.

Ia memutar ponsel pelan dengan ujung jarinya, seolah itu benda rapuh yang tidak boleh dipegang terlalu keras. Sudut bibirnya terangkat sedikit—senyum langka yang hanya muncul ketika sesuatu benar-benar mengacak kewarasannya.

“Kenapa dia lama?” gumam Langit sambil menatap jam. Sudah lewat satu jam sejak pesan terakhirnya.

Biasanya perempuan itu cepat membalas. Terkadang bahkan terlalu cepat.

Langit menyandarkan punggung ke kursi, memijit pelipis, lalu menatap ponsel lagi. Ia tidak mau terlihat desperate, tapi tangannya beberapa kali hampir membuka pesan lama mereka. Sekedar mendengar ulang voice note-nya. Sekedar memancing balasan. Sekedar… memastikan perempuan itu masih ada di ujung sana.

Tiba-tiba Sekretarisnya, Reno, masuk membawa tablet.

“Pak Langit, ini draft—” Reno berhenti di tengah kalimatnya. Ia menatap bosnya dengan bingung.

“Pak… bapak kenapa menatap ponsel kayak menunggu ucapan ulang tahun dari gebetan?”

Langit menatapnya flat. “Tutup pintunya.”

“Siap, Pak." Tapi Reno sudah terlanjur melihat ekspresi itu. ekspresi atasannya yang tidak biasa.

Langit menahan diri untuk tidak melempar stapler. Reno menutup pintu sambil cekikikan kecil.

Dan tepat setelah pintu menutup, ponsel Langit akhirnya bergetar. Sekali. Pelan. Tapi cukup untuk membuat seluruh tubuhnya menegang.

Dia meraih ponsel itu dengan napas tertahan, membuka notifikasi… dan ketika membaca nama di layar— Senyum yang jarang muncul itu kembali melengkung.

*

Ruang kerja Langit siang itu dipenuhi cahaya matahari yang menembus kaca besar dari lantai ke langit-langit. Pantulan cahaya itu mengenai permukaan meja kayu gelapnya yang rapi, memantulkan siluet tubuhnya yang bersandar di kursi kulit hitam—wibawa seorang CEO terpampang jelas.

Namun wibawa itu… baru saja hancur dalam tiga detik. Karena ponselnya bergetar.

Dan voice note masuk.

Dari dia. Perempuan tanpa nama. Perempuan bersuara lembut yang entah bagaimana membuat semua fokusnya bubar seperti kertas yang kena hujan.

Langit menatap layar itu lama, sebelum akhirnya menyentuh ikon play. Pelan. Hati-hati. Seolah takut suaranya akan pecah jika disentuh terlalu kasar.

Voice note Unknown Number berbunyi.

Suara lirih, malu-malu, sedikit serak, tapi hangat… suara yang tidak seharusnya membuat seorang pria se-tenang dirinya kehilangan ritme napas.

Unknown Number : “Ehm… sebenernya… gue juga mikir lo tadi. Itu yang bikin meeting gue… yah… sedikit kacau. Jadi kalau suara gue bikin lo… kepikiran… ya, itu… fair.”

Langit berhenti bernapas. Benar-benar berhenti.

Seolah seluruh oksigen di lantai 50 gedung Atmaja Group hilang dalam sekejap saat suara itu mengalun di headphone-nya—suara perempuan yang bahkan tidak ia tahu rupanya seperti apa.

Tangannya yang terbiasa memegang pena metal dengan mantap kini justru gemetar halus.

Ia meletakkan ponsel itu perlahan ke meja, menatapnya seolah benda itu baru saja mengubah hukum fisika di kepalanya.

“Dia… ngomong apa barusan?” Bisikan itu nyaris tidak terdengar, tapi ruangan besar itu memantulkannya kembali dengan jelas.

Ia menyandarkan punggung ke kursi, menutup mata sejenak.

Ada sensasi aneh di dadanya. Sebuah tarikan. Ringan tapi kuat—seperti magnet kecil yang menempel tanpa izin. Dan hal paling fatal, Langit memutar voice note itu lagi. Lalu lagi. Lalu… lagi.

Setiap kali mendengar Embun mengucapkan kata “mikir lo”, sudut bibirnya bergerak—perlahan, terkendali, tapi jelas-jelas kalah.

“Ini gila,” gumamnya, tapi ada tawa kecil yang lolos dari tenggorokan. Senyum yang tidak pernah muncul ketika membahas kontrak ratusan miliar, muncul hanya karena satu voice note berdurasi sembilan detik.

Ia membuka mata, menatap jendela besar di depan meja. Jakarta terbentang luas, mobil-mobil terlihat kecil seperti semut. Biasanya pemandangan itu memberi rasa kuasa, fokus, dan kontrol.

Tapi hari ini? Yang ada hanya bayangan suara perempuan itu yang menggema lembut di kepala.

Langit meletakkan siku di meja, menutupi sebagian wajahnya dengan punggung tangan.

“Suara kayak gitu… siapa yang bisa fokus kerja?” Nada suaranya terdengar seperti seseorang yang benar-benar frustrasi, tapi bahagia dalam waktu yang sama—kombinasi yang hanya mungkin terjadi ketika seseorang mulai tertarik. Sangat tertarik.

Ia menarik napas, mencoba mengembalikan kewarasannya. Percuma. Karena detik berikutnya, ia tanpa sadar tersenyum lagi. Senyum yang kecil. Lembut. Tapi penuh sesuatu yang tumbuh diam-diam—sesuatu yang bahkan ia sendiri enggan akui.

Dan dia memutar voice note itu sekali lagi.

Reno membeku seperti sistem Windows yang kena blue screen. Tablet di tangannya merosot turun sedikit.

“Pak…” suaranya keluar lirih, seperti orang baru saja mendengar rahasia negara. “Itu… suara siapa?”

Langit—yang biasanya penuh kendali, dingin, elegan, CEO sejati—hanya menutup mata perlahan. Bukan pasrah. Lebih ke… “kenapa semesta benci gue hari ini.”

Reno melirik ponsel itu seperti menemukan harta karun ilegal.

“Pak… sumpah, suara ceweknya lembut banget… itu… pacar baru Bapak, ya?” Nada suaranya datar, tapi mukanya penuh rasa ingin tahu yang nyaris meledak.

Langit mengusap pelipisnya, mencoba menyelamatkan sisa-sisa wibawa.

“Reno.”

Tapi Reno justru maju setengah langkah, setengah menunduk seperti pengamat perilaku romantic, “Bapak bisa telepon dia, loh. Atau video call. Kenapa voice note? Pak, sumpah muka Bapak barusan kayak anak SMA yang nunggu balasan chat dari kelas sebelah—”

“Reno.” Kali ini suara Langit lebih rendah. Lebih dingin. Lebih seperti peringatan dini bencana alam.

Reno tercekat sedikit… tapi tidak bisa menahan senyum jahilnya. “Maaf, Pak. Tapi… suara ceweknya tadi… tipe Bapak banget, kan?”

Langit menoleh perlahan.

“Ren,” suaranya datar, penuh ancaman manis. “Kamu masih mau saya kasih kerjaan normal minggu ini? Atau mau saya kirim ke divisi audit internal yang pulangnya baru jam sembilan malam?”

Reno langsung tegap seperti prajurit kena inspeksi.

“TIDAK, PAK.”

“Bagus. Diam.”

Reno mengangguk cepat, tapi wajahnya masih merah karena menahan tawa. Ia mundur pelan, berusaha tidak membuat suara sandal berdecit karena takut memperkeruh keadaan.

Langit menghela napas panjang… panjang sekali. Ia menatap ponsel itu lagi—seakan benda kecil itu baru saja merusak reputasinya sebagai pria paling logis di gedung Atmaja Group.

Dan entah kenapa… sudut bibirnya terangkat. Pelan dan nyaris tidak terlihat. Tapi Reno, yang masih mengintip diam-diam sambil pura-pura baca laporan, melihatnya jelas.

“…ya ampun,” bisik Reno. “Bos gue jatuh cinta.”

Kemudian Reno mengangguk cepat, lalu mundur dua langkah. Tapi bibirnya terpaksa menahan tawa yang hampir pecah.

“Baik, Pak. Saya… pergi dulu. Semoga… eh… semoga chat-nya… lancar.”

Langit menatapnya tajam. Reno menghilang dengan kecepatan cahaya.

Begitu pintu tertutup, Langit akhirnya menutup wajah dengan satu tangan dan menghembuskan napas panjang—napas seorang CEO sekaligus pria yang baru kedapatan salting di depan asistennya sendiri.

“Gila… ini makin kacau,” gumamnya, tapi suara kecil di ujung bibirnya terdengar seperti seseorang yang… jatuh hati tanpa sadar.

**

tbc

1
Bia_
ferdi lu bener bener ya,
Al_yaa
greget banget sama bab ini, gak sabar nunggu lanjutannya, updatenya bisa langsung 5 bab gak thor,penasaran bangettt
Al_yaa
cepatt cari orang bodoh itu papiiii
Al_yaa
cefatt rekrut diaa langitttt
KaosKaki
rasakno koe fer
KaosKaki
boleh gak berkata kasar buat di Ferdi /Panic//Panic/
Bubuuu
ceritanya bagus banget 👍👍😍😍
Al_yaa
yg buat virus perempuan, diremehin pulak tapi bikin satu gedung gonjang ganjing /Joyful/
aRa_
hebat banget embun, langsung ulti si Ferdi pake virus biar kicep
aRa_
bajigur banget si Ferdi /Panic/
aRa_
baru telponan aja udh deg degan ya embun
Al_yaa
ferdi, lo syibal banget yakk/Angry/
Al_yaa
pandangan pertama awal aku berjumpa /Hey//Hey/
Al_yaa
one step closer langit, berawal dari callan lama lama video callan dehhh
Bia_
akhirnya akhirnya /Scream/
Bia_
yaloh mereka udah Callan aja
KaosKaki
huuwwaaa akhirnya mereka ketemu tapi gak kenal /Sob//Sob//Sob/
KaosKaki
ada apa inih, kenapa bapaknya angkasa nongol. tor ada apa ini coba jelaskan
KaosKaki
bener bener dah ya, embun sama langit udah kaya anak abg banget /Facepalm/
Bia_
wow apakah akan ada plot twist Pemirsa 🤭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!