NovelToon NovelToon
ISTRI YANG DIPOLIGAMI

ISTRI YANG DIPOLIGAMI

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Poligami
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: Naim Nurbanah

Cinta sejati terkadang membuat seseorang bodoh karena dibutakan akal sehat nya. Namun sebuah perkawinan yang suci selayaknya diperjuangkan jika suami memang pantas dipertahankan. Terlepas pernah melakukan kesalahan dan mengecewakan seorang istri.

Ikuti kisah novel ini dengan judul
ISTRI YANG DIPOLIGAMI

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12

Nay menatap seragam guru yang melekat di tubuhnya, dadanya berdebar kencang seperti mau meloncat keluar. Ia masih duduk di kursi mobil Umar yang terparkir di depan rumah itu, kedua tangannya menggenggam erat sabuk pengaman seolah ingin menahan segala ketakutan yang menggerogoti hatinya.

“Mas Umar, aku takut,” suaranya lirih, gemetar saat berbisik.

Umar menyipitkan mata, menyadari kegugupan Nay. Perlahan, ia meraih pergelangan tangan Nay dengan sentuhan lembut, seolah menyalurkan keberanian yang Nay butuhkan. Tatapan Umar penuh hangat dan keyakinan, membuat napas Nay sedikit membaik.

Di benaknya, Nay mencoba merangkai kalimat penyemangat, “Mas Umar percaya aku kuat menghadapi mereka. Calon mertuaku bukan monster, mereka manusia biasa, sama seperti kita.” Hati yang sebelumnya berat mulai tergugah, langkah kecil berani mulai terbentuk dalam pikirannya.

Meski tangan Nay menggenggam erat jemari Umar, hatinya masih bergejolak. Bayangan wajah orang tua Umar muncul satu per satu, membawa serta rasa ragu yang tak kunjung reda.

"Apakah mereka akan menyukai aku?" pikir Nay, bibirnya merapat pelan. Ketika Umar menoleh, matanya menangkap kerutan di dahi Nay yang mulai muncul.

"Ayo turun, Nay! Bapak ibu ku sudah menunggu di dalam. Mereka pengin kenalan sama kamu," ujar Umar dengan senyum mengembang. Nay menatap tajam, alisnya mengerut.

"Kamu sudah cerita tentang aku ke mereka, Mas?" suaranya menahan harap, bola matanya membulat penuh tanda tanya. Matanya yang bulat itu terlihat makin hidup, seolah ingin menangkap setiap jawaban dari Umar. Umar tertawa ringan, matanya berbinar melihat kepolosan sekaligus ketegangan Nay.

"Sudah lah, jangan khawatir. Mereka pasti suka sama kamu."

Umar menghela napas panjang sebelum bicara, matanya menatap Nay penuh harap.

"Aku sudah cerita ke bapak dan ibu. Aku nggak mau lanjut perjodohan sama Citra." Suaranya agak bergetar, tapi dia berusaha tegar.

"Aku udah jelasin semuanya, kalau aku punya kamu, Nay. Wanita yang udah aku suka sejak lama."

Nay merasakan ada sedikit ketegangan di dadanya, tapi setidaknya Umar sudah berani membuka keadaan. Tangannya tertarik kuat saat Umar menggenggamnya.

"Ayo, tunggu apa lagi! Turun, jangan takut," suara Umar menggema sambil menarik tangannya pelan agar turun dari mobil.

Nay menghirup udara dalam-dalam, dadanya berdebar tapi dia mencoba tenang. Langkahnya pelan mengikuti Umar yang sudah melangkah duluan, menuntunnya masuk ke rumah orang tua Umar. Hatinya bergetar, tapi ada rasa percaya yang mulai tumbuh.

Berdiri di depan pintu rumah, bapak dan ibu Umar dengan wajah hangat menyambut kedatangan Umar dan Nay. Umar lupa bahwa sejak tadi, tangannya telah menggenggam erat tangan Nay. Saat melihat ke arah tangan mereka yang masih saling menggenggam, ekspresi pria setengah baya itu mengungkapkan rasa heran dan menggeleng kepalanya.

Umar menatap tangan Nay yang masih tergenggam erat di tangannya. Dadanya tiba-tiba sesak, kecemasan mulai merayapi pikirannya.

"Astaga, kenapa aku lupa melepas tangannya? Apa jadinya kalau orang tuaku tahu?" gumamnya dalam hati, telapak tangannya berkeringat. Namun, ada suara kecil yang mencoba menenangkan,

"Biarkan saja. Bapak ibu harus tahu kalau Nay itu spesial buat aku." Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba membuang rasa malu dan cemas yang merambat di dadanya. Umar menyunggingkan senyum yang tak sepenuhnya tulus.

"Oke, sudah sampai. Sekarang saatnya tunjukkan kalau Nay bukan sembarang teman." Dengan suara yang agak berat tapi berusaha sopan, ia berkata,

"Nay, ini bapak ibu ku. Bapak, ibu, ini Nay yang tadi aku ceritakan." Nay mengangkat kepalanya, lalu menyalami tangan kedua orang tua Umar dengan sikap hormat.

"Saya Naykesha, Bu, Pak," katanya pelan tapi tegas.

Wajah bapak ibu Umar merekah dengan senyum ramah, menyambut Nay dengan hangat. Umar merasakan beban di dadanya perlahan mengendur, digantikan rasa lega yang hangat.

Bu Rokaya tersenyum hangat sambil melangkah mendekat.

"Ayo, jangan sungkan di rumah ini, ya. Umar sudah sering cerita tentang kamu, lho. Makan dulu, yuk! Umar, ajak Nay makan sana," ujarnya dengan suara ramah yang membuat ruangan terasa akrab.

Umar menebar senyum simpul, napasnya terasa sedikit lega. Melihat Nay diterima dengan baik oleh ibunya, beban berat di dada perlahan mencair.

"Oh iya, Bu, Nay baru saja pulang dari mengajar di sekolah," jawab Umar sambil menggenggam tangan Nay erat, mengajaknya ke ruang makan.

Di dalam hati Nay muncul rasa malu dan canggung yang tiba-tiba menggebu. Dia menundukkan kepala sebentar, menahan gelisah agar tak terlihat. Namun, dia berusaha menyeimbangkan langkahnya, tak ingin membuat suasana jadi kaku.

Saat melewati ruang tamu, Nay bertemu dengan Pak Usman, ayah Umar. Pak Usman mengangguk ramah, suara hangatnya mengusir rasa canggung itu,

"Ayo Nay, Umar, makan dulu sebelum kita ngobrol lebih lanjut."

Nay menghela napas pelan, sedikit terhibur oleh sikap ramah keluarga Umar yang membuatnya merasa diterima dan nyaman.

Nay menutup matanya sejenak, membayangkan masa depan yang indah bersama Umar. Senyum tipis terukir di bibirnya, tapi di sudut hati kecilnya mengendap keresahan yang tak mudah diusir.

"Kalau keluarga Umar melihat keluarga aku, apakah mereka akan terima?" gumamnya dalam hati, tangan secara otomatis menggenggam erat ujung bajunya sendiri. Saat senyuman mulai tergantikan oleh rasa ragu, suara Pak Usman memecah kesunyian.

“Umar, ingat! Nay bukan muhrimmu. Tidak pantas kamu terus pegang tangan dia. Aku lihat kamu makin lama makin nggak tahu aturan,” suara bapak itu terdengar tegas, sekaligus ada sedikit nada protes yang tersimpan dalam tiap katanya.

Umar hanya mengangguk pelan, menyunggingkan senyum menyesal. Ia sadar, kelakuannya memang kelewatan. Nay menarik nafas dalam-dalam, mengusir gelisahnya perlahan.

“Aku harus percaya pada diriku sendiri,” bisiknya pelan, “dan berharap yang terbaik untuk masa depan kita.”

"Iya, pak! Maaf saya khilaf," ujar Umar dengan santai, tanpa rasa bersalah yang terlihat di wajahnya.

Di sisi lain, Bapak dan Ibu Umar saling bertukar pandang, mata mereka mengernyit penuh keprihatinan.

"Anak jaman sekarang memang beda," gumam Ibu Rokaya pelan sambil mengelus dada, merasa tak kuasa menahan gelisah. Suara Pak Usman pecah dari keheningan,

"Makan yang banyak, Nay! Nanti kalau sudah jadi istri Umar, siap-siap saja makan hatinya, ya." Godaan itu membuat alis Umar berkerut, bibirnya ingin membantah.

"Kok sakit hati sih, pak? Itu nggak akan pernah terjadi. Aku pasti bikin Nay bahagia dan sejahtera. Mana ada sakit hati. Bapak ini loh," balas Umar dengan nada setengah protes, setengah manja, seolah masih anak kecil yang ingin dibela. Pak Usman terkekeh, senyum lebar Bu Rokaya pun ikut merekah, menatap hangat keakraban antara suami dan putranya. 

Nay menunduk pelan, wajahnya merona merah saat Pak Usman mulai berkomentar dengan nada genit,

“Umar ini, ganteng dan mapan, ya. Apalagi dosen muda di kampus, bapak curiga dia playboy yang suka tebar pesona, deh. Pasti banyak mahasiswi yang naksir dan ngejar-ngejar, kan?”

Umar justru menyunggingkan senyum sombong, menyilangkan tangan di dada.

“Pak, saya ini bukan sembarangan. Kalau soal wanita, cuma Nay yang saya suka. Hanya Nay di hati saya.”

Mendengar itu, Nay tidak kuasa menahan malu, pipinya semakin panas. Ini pertama kalinya ia melihat sisi lain Umar, bukan dosen keren di kampus, tapi anak kecil yang lugu saat di depan orang tuanya. Pak Usman dan Bu Rokaya hanya saling tukar pandang, kemudian senyum tipis tersungging di bibir mereka. Tampak jelas, mereka senang putranya sudah mulai serius dengan Nay.

Pak Usman menatap Nay dengan mata berkilat, senyum nakal terukir di bibirnya.

"Ya sudah, habis makan, akan bapak nikahkan kalian malam ini juga," godanya dengan suara berat yang membuat Nay hampir tersedak, dada berdebar tak menentu.

Mata Nay menoleh ke Umar, yang malah tersenyum lebar, seolah kalimat itu adalah hadiah terbaik dalam hidupnya. Jelas, Umar sudah sangat setuju, dan antusiasme itu membuat Nay semakin canggung di hadapan pria setengah baya yang tak lain adalah ayahnya..

1
Shaffrani Wildan
bagus
Dhani Tiwi
kasuhan nay... tinggal aja lah si umar nay..cari yang setia.
tina napitupulu
greget bacanya thorr...gak didunia maya gak didunia nyata banyak kejadian serupa../Grievance/
Usman Dana
bagus, lanjutkan
Tini Hoed
sukses selalu, Thor
Ika Syarif
menarik
Sihna Tur
teruslah berkarya Thor
Guna Yasa
Semangat Thor.
NAIM NURBANAH: oke, terimakasih
total 1 replies
Irma Kirana
Semangat Mak 😍
NAIM NURBANAH: Terimakasih banyak, Irma Kirana. semoga nular sukses nya seperti Irma menjadi penulis.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!