NovelToon NovelToon
MENJADI PILIHAN KEDUA SAHABATKU

MENJADI PILIHAN KEDUA SAHABATKU

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Pengantin Pengganti / Nikah Kontrak
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Ibu Cantik

Sadewa dan Gendis sudah bersahabat dari kecil. Terbiasa bersama membuat Gendis memendam perasaan kepada Sadewa sayang tidak dengan Sadewa,dia memiliki gadis lain sebagai tambatan hatinya yang merupakan sahabat Gendis.

Setelah sepuluh tahun berpacaran Sadewa memutuskan untuk menikahi kekasihnya,tapi saat hari H wanita itu pergi meninggalkannya, orang tua Sadewa yang tidak ingin menanggung malu memutuskan agar Gendis menjadi pengantin pengganti.

Sadewa menolak usulan keluarganya karena apapun yang terjadi dia hanya ingin menikah dengan kekasihnya,tapi melihat orangtuanya yang sangat memohon kepadanya membuat dia akhirnya menyetujui keputusan tersebut.

Lali bagaimana kisah perjalanan Sadewa dan Gendis dalam menjalani pernikahan paksa ini, akankah persahabatan mereka tetap berlanjut atau usai sampai di sini?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu Cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bagian 10

Pagi itu matahari bersinar cerah, seolah tak tahu bahwa di rumah seberang masih tersisa duka yang belum kering.

Di kamar tidurnya, Bianca kecil berdiri di depan cermin rendah yang sengaja dibuat Papa Hendrawan khusus untuknya. Ia mengenakan dress putih bermotif bunga kecil, pita rambut warna peach, dan sepatu mungil yang berbunyi cekik-cekik setiap kali ia melangkah.

Dengan gaya centil khas anak lima tahun, Bianca merapikan bajunya sendiri. Tangannya menarik ujung dress agar jatuh rapi, lalu ia memiringkan kepala, menatap pantulan dirinya dengan serius seolah sedang mempersiapkan diri untuk acara sangat penting.

“Ma,” panggilnya lantang. “Bajuku sudah cantik belum?”

Dari dapur, Lestari tersenyum. “Cantik sekali.”

Bianca berseri-seri. Ia meraih boneka beruang kesayangannya, yang sudah ia beri nama Bobo, lalu memeluknya erat.

“Hari ini aku mau ketemu tante depan rumah,” katanya penuh semangat.

Lestari keluar dari dapur sambil membawa wadah makanan tertutup kain bersih. Aroma masakan rumahan tercium hangat opor ayam dan kue basah, dibuat dengan niat baik sebagai tanda selamat datang.

“Iya,” ujar Lestari sambil menggandeng tangan putrinya. “Kita mau silaturahmi. Ingat, harus sopan.”

Bianca mengangguk mantap. “Bianca anak baik.”

Mereka berjalan menyebrangi jalan kecil di depan rumah. Bianca melangkah dengan riang, sesekali melompat kecil sambil mengayunkan boneka beruangnya. Berbeda sekali dengan suasana rumah yang akan mereka datangi.

Lestari berdiri di depan pintu rumah keluarga Yudistira. Ia menarik napas pelan, lalu menekan bel.

Beberapa detik berlalu.

Pintu terbuka.

Seorang wanita berdiri di sana.

Tubuhnya terlihat sangat kurus, seolah berat badannya turun drastis dalam waktu singkat. Wajahnya pucat, matanya bengkak dan merah, jelas bekas tangisan panjang yang belum selesai. Rambutnya disanggul sederhana, tanpa riasan, tanpa senyum namun sorot matanya lembut.

Dialah Hanum Reila.

Lestari langsung menangkap kesedihan itu, meski belum tahu kisah apa yang melatarinya.

“Selamat pagi,” sapa Lestari lembut. “Saya Lestari, tetangga depan. Ini putri saya, Bianca.”

Hanum tersenyum tipissenyum yang nyaris tak terlihat. “Silakan… masuk.”

Nada suaranya pelan, hampir rapuh.

Mereka dipersilakan masuk ke ruang tamu yang masih terasa kosong. Kardus masih tersusun di sudut ruangan. Beberapa foto keluarga tertelungkup di atas meja seakan belum siap dipajang.

Lestari meletakkan wadah makanan di atas meja.

“Saya cuma ingin mengucapkan selamat datang. Ini masakan sederhana dari rumah.”

Hanum menatap wadah itu lama, lalu matanya berkaca-kaca.

“Aduh… harusnya saya yang datang menyapa tetangga,” katanya lirih. “Kami baru pindah, malah merepotkan.”

“Tidak merepotkan sama sekali,” jawab Lestari cepat. “Kami senang punya tetangga.”

Hanum mengangguk, tapi matanya justru teralihkan.

Ke arah Bianca kecil.

Bianca berdiri di dekat ibunya, memeluk boneka beruang. Matanya besar, bening, penuh rasa ingin tahu. Ia menatap Hanum dengan wajah polos tanpa tahu bahwa wanita di depannya sedang memikul kehilangan yang teramat berat.

Bianca melangkah maju satu langkah. Lalu dua langkah.

Dengan gerakan yang lucu dan penuh kesungguhan, ia mencium tangan Hanum, persis seperti yang sering ia lakukan pada orang dewasa yang baru dikenal.

“Halo, Tante,” katanya ceria. “Nama aku Bianca.”

Hanum tertegun.

Sentuhan kecil itu hangat, tulus seperti palu yang memecahkan dinding pertahanannya.

Wajah Bianca. Senyumnya. Caranya memeluk boneka.

Semuanya terlalu mirip.

Hanum tiba-tiba terisak. Tubuhnya bergetar hebat. Tanpa sadar, ia menarik Bianca ke dalam pelukannya.

Tangisnya pecah.

Tangis yang tertahan terlalu lama. Tangis seorang ibu yang kehilangan putri kecilnya dalam kebakaran kejadian yang membuat mereka pindah dari kota, dari rumah lama, dari kenangan yang terlalu menyakitkan.

“Ya Allah…” isaknya. “Nak…”

Lestari terkejut. Ia segera berdiri. “Tante… Tante tidak apa-apa?”

Hanum tidak menjawab. Ia memeluk Bianca kecil dengan erat namun bukan pelukan yang menyakiti, melainkan pelukan seorang ibu yang hatinya retak.

Bianca kaget sesaat.

Namun alih-alih menangis atau menarik diri, Bianca melakukan hal yang tak disangka siapa pun.

Dengan tangan mungilnya, ia mengelus punggung Hanum. Gerakannya pelan, canggung, seperti meniru apa yang sering dilakukan ibunya saat ia sedih.

“Jangan nangis, Tante,” ucap Bianca polos. “Kalau nangis nanti matanya sakit.”

Hanum semakin menangis.

Tangisnya berubah menjadi isak yang dalam, mengguncang bahunya. Ia berlutut perlahan agar sejajar dengan Bianca, masih memeluknya.

“Kamu…” suaranya bergetar. “Kamu mirip sekali dengan anak Tante…”

Bianca mengerjap bingung. “Anaknya Tante di mana?”

Hanum tidak mampu menjawab.

Lestari menutup mulutnya, menahan napas. Baru saat itu ia menyadari ini bukan sekadar kesedihan pindahan.

“Bianca,” panggil Lestari lembut. “Sayang, peluk Tante ya.”

Bianca mengangguk. Ia memeluk Hanum lebih erat, sekuat tenaga kecilnya. Boneka beruang terjepit di antara mereka.

“Bianca temenin Tante,” katanya polos. “Kalau Tante sedih, Bianca bisa peluk.”

Hanum menjerit pelan dalam tangisnya.

Sejenak, ruang tamu itu dipenuhi suara isakan dan keheningan yang berat. Lestari ikut berlutut, menepuk punggung Hanum dengan hati-hati.

“Pelan-pelan, mbak,” ujarnya. “Kalau berkenan, kami ada di sini.”

Hanum mengangguk di sela tangis. Ia mengusap wajah Bianca dengan tangan gemetar, menatapnya lama seolah takut bayangan itu akan hilang.

“Terima kasih,” katanya lirih. “Terima kasih sudah datang.”

Bianca tersenyum kecil, lalu mengangkat boneka beruangnya.

“Ini Bobo,” katanya bangga. “Bobo temannya Bianca. Tante boleh pinjam kalau mau.”

Tangis Hanum kembali pecah, kali ini disertai tawa kecil yang nyaris tak terdengar.

Hari itu, tanpa siapa pun sadari,

Bianca kecil menjadi obat bagi luka yang belum sembuh,

dan Hanum menemukan kembali alasan untuk bernapas, meski hanya untuk sesaat.

Dan di balik dinding rumah itu, seorang anak laki-laki bernama Sadewa mengintip dari lorong melihat ibunya menangis sambil memeluk anak perempuan kecil yang kemarin berteriak memanggilnya kakak.

Untuk pertama kalinya sejak tragedi itu,

ia melihat ibunya menangis bukan karena kehilangan melainkan karena harapan.

1
Dewi Susanti
lanjut kak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!