"Apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku hanya ingin bersamamu malam ini."
🌊🌊🌊
Dia dibuang karena darahnya dianggap noda.
Serafina Romano, putri bangsawan yang kehilangan segalanya setelah rahasia masa lalunya terungkap.
Dikirim ke desa pesisir Mareluna, ia hanya ditemani Elio—pengawal muda yang setia menjaganya.
Hingga hadir Rafael De Luca, pelaut yang keras kepala namun menyimpan kelembutan di balik tatapannya.
Di antara laut, rahasia, dan cinta yang melukai, Serafina belajar bahwa tidak semua luka harus disembunyikan.
Serafina’s Obsession—kisah tentang cinta, rahasia, dan keberanian untuk melawan takdir.
Latar : kota fiksi bernama Mareluna. Desa para nelayan yang indah di Italia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Mimpi, Surat, dan Jejak Di Pasir
Mimpi itu datang lagi, lebih nyata dan menyakitkan dari sebelumnya. Serafina berdiri di atas pasir, cahaya bulan purnama menyelimuti segala sesuatu dalam cahaya perak.
Di kejauhan, dia melihat Rafael duduk membelakangi, silhouette-nya tegas melawan gemerlap laut. Jantung Serafina berdebar kencang. Dia berlari, tapi setiap kali mendekat, sosok itu menghilang seperti asap.
Lalu, tiba-tiba, ada kehangatan di belakangnya. Sepasang lengan kuat melingkari pinggangnya, menariknya ke dalam pelukan yang begitu familiar.
“Rafael,” desisnya dalam mimpi, suaranya sendiri tak terdengar.
Mereka berjalan bergandengan tangan di sepanjang pantai, kaki mereka tenggelam dalam pasir yang lembut. Tatapan mereka saling terpaut, penuh dengan cinta dan kerinduan yang tak terucapkan. Seluruh adegan itu bisu, seperti film bisu yang indah dan menyedihkan.
Kemudian, Rafael berhenti dan menatapnya. Dia menunduk, dan bibir mereka bertemu. Awalnya lembut, penuh kerinduan. Tapi perlahan, ciuman itu berubah menjadi lebih dalam, lebih penuh gairah. Nafas mereka menjadi berat, dan dunia di sekitar mereka memudar.
Rafael membimbingnya untuk berbaring di atas pasir yang masih hangat oleh sisa sinar matahari. Tubuhnya yang kekar dengan lembut menindihnya, tapi berat itu terasa nyaman. Tangannya yang kasar namun lembut meraba punggungnya, lalu merayap ke bawah gaunnya. Sentuhannya membakar. Serafina menghela napas, menyerah pada sensasi yang membanjiri dirinya. Ini terasa begitu nyata…
Kukuruyuk!
Suara ayam jantan berkokok memecah ilusi.
Serafina membuka mata dengan terengah-engah. Kegelapan kamar perlahan tergantikan oleh cahaya pagi yang remang-remang. Dan kemudian, dia menyadarinya. Bibirnya tidak membayangkan sensasi itu. Dia benar-benar sedang melumat bibir Elio yang tidur di sebelahnya!
“DIO MIO!” teriak Serafina, mendorong tubuh Elio dan melompat dari kasur. “ELIO! KENAPA KAU TIDUR DI KASURKU?!”
*Ya Tuhan
Elio terbangun mendadak, matanya terbuka lebar penuh keterkejutan. Dia segera turun dari kasur, berdiri tegak seperti prajurit yang sedang dihukum.
“Signorina, maaf! Semalam ... Signorina yang menahanku. Aku berusaha melepaskan diri, tapi Signorina menggenggamku terlalu erat dan ... mengunciku dengan kaki.” Wajahnya memerah, mengingat posisi mereka yang memalukan.
Serafina menelan ludah. Darahnya berdesir. “Jadi itulah yang kurasakan ... itu bukan Rafael.” Rasa malu yang membara menyelimutinya. “Apa ... apa yang kulakukan selain ... quello?” tanyanya, tidak bisa menyebutkan ‘ciuman’.
*Itu
“Hanya itu, Signorina. Aku berjanji,” jawab Elio cepat, matanya menghindari kontak. “Aku akan pergi sekarang.”
Dia berbalik, tapi Serafina, dipenuhi oleh rasa ingin tahu dan malu yang membingungkan, menahannya. “Tunggu. Apa ... semalam ... così?” tanyanya sambil melirik cepat ke area celana Elio.
*Seperti itu
Elio mengikuti pandangannya dan melihat ‘tonjolan’ yang jelas terlihat di celana panjangnya. Wajahnya berubah merah padam. “Mannaggia!” kutuknya, lalu langsung melarikan diri dari kamar seolah-olah iblis sedang mengejarnya.
*Sialan
...🌊🌊🌊...
Sejak hari itu, sebuah ritual baru dimulai. Setiap pagi, setelah matahari terbit, Serafina akan duduk di meja kecilnya dan menulis surat untuk Rafael. Dia menceritakan tentang harinya, tentang Mila, tentang angin laut, tentang betapa dia merindukannya. Surat-surat itu tidak pernah akan sampai, tapi menuliskannya membuatnya merasa masih terhubung.
Dia akan menyelipkan surat yang dilipat rapi ke dalam sebuah kotak kayu kecil yang dia taruh di gazebo di padang rumput—tempat di mana mereka pertama kali berciuman dengan sadar dan penuh cinta.
Suatu pagi, Matteo yang sedang menggembalakan domba-dombanya melihatnya. Dia memperhatikan bagaimana Serafina dengan hati-hati menaruh surat itu, lalu duduk sebentar di gazebo, matanya berkaca-kaca menatap laut. Hati nelayan tua itu yang awalnya hancur, perlahan mulai meleleh. Dia mulai percaya bahwa cinta gadis kota ini pada anaknya bukanlah sekadar kesedihan sesaat atau pelarian.
Ini tulus.
Elio, di sisi lain, semakin khawatir. “Signorina,” katanya suatu sore, suaranya lembut. “Jika Rafael benar-benar sudah tiada, kau harus terus hidup. Jangan ikut mati bersamanya.”
Serafina menatap laut yang tak berujung, wajahnya pucat tapi tekad di matanya menyala. “Aku bisa hidup, Elio, justru karena aku masih menunggunya.”
...🌊🌊🌊...
Pasar malam di Mareluna adalah sebuah festival warna dan suara. Lampu-lampu lentera menggantung di antara stan-stan, memancarkan cahaya hangat.
Serafina dan Elio berjalan di antara kerumunan, mengenakan jaket tebal. Elio dengan sigap melindungi Serafina dari desakan orang atau kendaraan yang lewat, sikapnya persis seperti kakak laki-laki yang posesif pada adik perempuannya.
Tiba-tiba, pandangan mereka bertemu dengan Marco dan beberapa kawannya. Tatapan Marco penuh dengan kebencian dan kesedihan yang belum reda.
Elio langsung berdiri lebih tegap. “Ada masalah, Marco?”
Marco mendesis. “Dia selalu mendengarkan aku. Selalu sopan. Tapi sejak gadis kota ini datang,” Dia menunjuk ke arah Serafina, “Rafael berubah. Dia jadi lebih ... nekat. Seolah-olah dia tidak takut kehilangan apapun lagi, kecuali dia.” Tatapannya menusuk Serafina. “Dan lihatlah hasilnya.”
Elio menggeram, tinjunya mengepal. “Rafael memutuskan sendiri untuk melompat. Itu bukan salah Sera.”
“Bagi kami, itu sama saja!” balas Marco sebelum berbalik dan pergi bersama kawan-kawannya.
Serafina menunduk, air mata menitik di jaketnya. Rasa bersalah yang sudah dipendamnya meluap.
“Bukan salahmu, Signorina,” bisik Elio, meletakkan tangan di pundaknya. “Itu adalah pilihannya.”
Tak lama kemudian, mereka melihat Rosa dan Mila. Gadis kecil itu terlihat lebih kurus dan lesu. Serafina menghampiri dan tanpa bicara, mengangkat Mila ke dalam pelukannya.
“Berat?” tanya Elio.
“Ringan sekali. Seperti kapas,” jawab Serafina sambil mencium pipi Mila yang tak lagi segembul dulu.
Mila membuka tas kecil di lehernya. Hanya tersisa satu permen karamel.
“Ini … untuk Kaka Rafa,” bisiknya lirih. “Maaf, Kaka Sera. Mila tidak bisa berbagi lagi.”
Serafina menahan isakannya. Dia memaksakan senyum. “Tidak apa-apa, Picolla. Nanti Kaka Sera akan membelikanmu satu toko penuh permen karamel. Jadi jangan sedih lagi, ya?”
Mila memeluk leher Serafina erat-erat. “Kaka Rafa ... apa akan kembali? Kenapa Kaka Marco sudah pulang, tapi Kaka Rafa belum?”
Serafina mengusap punggung Mila. “Mungkin ... mungkin Kaka Rafa sedang menangkap ikan yang sangat besar dan langka. Kalau dia berhasil, dia akan menjualnya dan jadi kaya. Lalu dia akan membelikan Mila pabrik permen karamel sendiri.”
Imajinasi itu berhasil membuat Mila tersenyum kecil, dan dia balas mengusap pipi Serafina.
...🌊🌊🌊...
Malam harinya, dengan izin Nonna Livia, Serafina dan Elio menonton film romansa di ruang TV. Film itu bercerita tentang kisah cinta di kampus.
“Aku membayangkan betapa menyenangkannya bisa kuliah di tempat seperti itu,” gumam Serafina.
“Kau bisa,” sahut Elio. “Tanpa membawa nama Romano. Mulai dari awal.”
“Dengan uang dari mana?”
“Aku akan bekerja. Membiayaimu. Kita bisa hidup seperti kakak beradik sungguhan.” Elio mencoba menyembunyikan getar di suaranya.
Serafina hanya tersenyum kecil dan melanjutkan menonton sambil mengunyah popcorn.
Tiba-tiba, adegan berubah. Adegan ciuman panas antara dua tokoh utama di sebuah bar, yang berlanjut ke adegan ranjang yang cukup eksplisit di sebuah kamar. Suara erangan dan desahan keras dari laptop membuat suasana langsung canggung.
Elio, dengan panik, merebut laptop untuk memencet tombol fast forward, tapi malah memperbesar volumenya.
“Basta! Sudah waktunya tidur!” katanya, menutup laptop dengan keras.
*Cukup
Serafina, yang merasa sedikit iseng melihat kepanikan Elio, melirik ke arah celananya. Dia melihat ‘tonjolan’ yang kembali muncul.
“Si L bangun lagi?” tanyanya polos, menunjuk ke arahnya.
Elio terkesiap. “Siapa L?!”
Serafina masih menunjuk ke ‘sana’. Elio mendesis, wajahnya merah padam karena malu dan kesal.
“Jangan pernah melakukan hal itu pada pria lain!” peringatnya dengan suara kasar yang tak biasa, sebelum bergegas meninggalkan ruangan.
Sementara itu, di sebuah pantai tersembunyi yang hanya bisa diakses melalui gua kecil di tebing, seseorang masih bertahan. Kulitnya mengelupas terbakar matahari dan garam, tubuhnya lemah dan berlumuran darah kering.
Tapi mata hijau keabu-abuannya masih menyala dengan tekad yang membara. Dengan jari-jari yang luka dan kuku yang patah, dia terus menggali pasir di antara celah-celah batu, berusaha mencari sesuatu—atau seseorang—yang bisa membawanya pulang.
Setiap gerakan adalah penderitaan, tapi bayangan seorang gadis dengan rambut coklat dan mata hazel yang memancarkan harapan, memberinya kekuatan untuk terus bergerak.
...🌊🌊🌊...
Marco berkacak pinggang di hadapannya. “Oh ya? Di mana Rafael sekarang? Bagaimana kau bisa menikahi seorang mayat yang sudah empat hari hilang, dicari tapi tak ditemukan?”
Sera menatap jauh ke garis horizon. “Dia masih hidup. Dan aku akan menikahinya.”