Sepuluh bulan lalu, Anna dijebak suaminya sendiri demi ambisi untuk perempuan lain. Tanpa sadar, ia dilemparkan ke kamar seorang pria asing, Kapten Dirga Lakshmana, komandan muda yang terkenal dingin dan mematikan. Aroma memabukkan yang disebarkan Dimas menggiring takdir gelap, malam itu, Anna yang tak sadarkan diri digagahi oleh pria yang bahkan tak pernah mengetahui siapa dirinya.
Pagi harinya, Dirga pergi tanpa jejak.
Sepuluh bulan kemudian, Anna melahirkan dan kehilangan segalanya.
Dimas dan selingkuhannya membuang dua bayi kembar yang baru lahir itu ke sebuah panti, lalu membohongi Anna bahwa bayinya meninggal. Hancur dan sendirian, Anna berusaha bangkit tanpa tahu bahwa anak-anaknya masih hidup. Dimas menceraikan Anna, lalu menikahi selingkuhan. Anna yang merasa dikhianati pergi meninggalkan Dimas, namun takdir mempertemukannya dengan Kapten Dirga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. kedua bayi ini...
Begitu mobil berhenti di halaman panti, Anna langsung turun. Nafasnya masih tersengal setelah menceritakan semua tragedi sepuluh bulan lalu pada Kapten Dirga, tentang Dimas, tentang jebakan itu, tentang kamar hotel sialan yang mengubah hidupnya.
Namun belum sempat ia menenangkan diri, Ibu Panti tergesa menghampirinya.
“Anna, cepat. ASI cadangan untuk bayi-bayi itu sudah habis. Mereka dari tadi menangis terus.”
Anna mengangguk cepat. “Baik, Bu.”
Tanpa ragu, tanpa canggung, ia bergegas masuk ke ruang bayi. Dua tangisan memecah keheningan sore. Anak kembar itu, yang sejak beberapa hari terakhir ia susui dan langsung merentangkan tangan kecil mereka seolah mengenali aroma tubuh Anna.
Ia tersenyum tipis, perih tetapi lembut.
“Ayo, Nak … ibu di sini.”
Gerakannya terlatih. Anna sudah sangat terbiasa menjadi ibu susu bagi mereka, frekuensi menyusui membuatnya tak lagi kikuk atau gugup. Yang ada hanya naluri keibuan yang menguat setiap kali mendengar tangisan mereka.
Dirga berdiri di dekat pintu, memperhatikan Anna yang tampak jauh lebih damai saat menggendong salah satu bayi. Kontras sekali dengan air mata yang jatuh di mobil tadi setelah ia menceritakan malam kelam di hotel itu, malam ketika Dimas membawanya makan malam, lalu tiba-tiba ia pingsan.
Dirga mengepalkan tangan dengan rahang yang mengeras,masih mendengar jelas suara Anna yang bergetar,
'Seharusnya Dimas mengantar aku ke kamar 999 … tapi dia membawa aku ke kamar 666. Dia tidak cek siapa yang ada di dalam kamar itu. Dia cuma ... meninggalkan aku … Dan setelah itu dia bilang aku selingkuh.'
Dirga tak bisa menerima itu begitu saja. Begitu memastikan Anna dan si kembar aman, ia keluar sebentar ke teras panti dan mengambil ponselnya.
“Raka.” Suaranya tegas. “Aku butuh kamu selidiki kasus lama. Sepuluh bulan lalu, Hotel Adinata, lantai sembilan. Cari siapa yang menempati kamar 999 pada tanggal itu. Cari rekaman CCTV, riwayat akses pintu, siapa saja yang berada di koridor.”
Ia jeda sejenak sebelum melanjutkan, nada suaranya makin dingin.
“Dan cari tahu kenapa Dimas menjebak Anna. Aku sudah dapat petunjuk, selingkuhannya terlibat. Wanita itu ingin popularitas, dan Dimas melakukan apa saja demi mendorongnya masuk agensi dunia akting.”
Ada suara angin melewati daun-daun di halaman panti. Dirga menatap ke dalam, melihat Anna yang kini sedang mengelus kepala bayi kedua, wajahnya lembut, tak ada yang tahu luka sebesar apa yang ia sembunyikan.
“Temukan semuanya,” kata Dirga pelan namun berat. “Aku ingin bukti lengkap. Anna sudah cukup lama hidup dalam tuduhan.”
Raka di seberang sana menjawab singkat, [Siap, Kapten!]
Begitu telepon ditutup, Dirga kembali masuk. Anna sudah selesai menyusui. Ia tengah menidurkan si kembar dengan penuh kasih sayang, seperti biasa ia lakukan selama ini. Dirga melihatnya lama, merasakan sesuatu menegang di dadanya.
Keesokan paginya.
Pagi itu kantor terasa lebih dingin dari biasanya. Para anggota tim sudah memasuki ruang rapat satu per satu, membawa berkas, laptop, dan secangkir kopi. Namun begitu Kapten Dirga masuk, seluruh ruangan otomatis sunyi. Bukan hanya karena ia atasan mereka.
Namun aura dingin di wajahnya hari itu berbeda, lebih tajam, lebih tegas, seperti sedang menahan badai. Dimas yang duduk di barisan kiri merasakan bulu kuduknya meremang. Sejak semalam ia tidak bisa tidur. Ada sesuatu di mata Dirga yang membuatnya gelisah, seolah atasan mereka itu sudah mengetahui sesuatu yang seharusnya tidak pernah diketahui siapa pun.
Dirga meletakkan map hitam di atas meja. Ia tidak duduk dulu, hanya berdiri tegak, rahang mengeras.
“Baik,” suaranya datar, “kita mulai.”
Presentasi berjalan seperti biasa, laporan-laporan disampaikan. Namun setiap kali Dimas berbicara, Dirga tidak memalingkan pandangan. Tatapan lurus, kosong, namun dinginnya menusuk.
Dimas berulang kali salah menyebut data, tangannya gemetar ketika mengganti slide, keringatnya menetes di pelipis.
“Dimas,” Dirga akhirnya memotong. Nada suaranya sangat datar, hingga ruangan terasa kaku.
“Angka yang kamu sebut tidak sesuai laporan.”
“Ma...maaf, Kapten. Saya...”
“Sudah kesekian kali kamu melakukan kesalahan,” Dirga menambahkan, kali ini suaranya penuh tekanan. Dimas menelan ludah. Ia bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat.
Begitu rapat ditutup, anggota tim lain segera bergegas keluar. Hanya Dimas yang masih duduk, tubuhnya membeku ketika Dirga berkata pelan,
“Tetap di tempatmu.”
Pintu tertutup, tersisa hanya mereka berdua. Dirga membuka map hitam di tangannya. Di dalamnya ada beberapa lembar bukti, rekaman CCTV, daftar akses pintu kamar hotel, catatan reservasi, hingga screenshot pesan antara Dimas dan wanita selingkuhannya.
Raka mengirimkan semuanya sebelum fajar. Dirga melemparkan salah satu lembar bukti ke atas meja tepat di depan Dimas.
“Ini,” katanya dengan nada mengiris, “adalah rekaman saat kamu menyeret Anna ke lantai sembilan. Kamu bilang hendak membawa dia ke kamar 666.”
Dirga mencondongkan tubuh sedikit, tatapannya tajam seperti pisau.
“Tapi kamu bawa dia ke kamar 999. Kamu tinggalkan dia dengan seorang pria yang tidak kamu kenal.”
Dimas gemetar. “Itu … itu salah paham, Kapten...”
“Salah paham?” Dirga menyimpan tawa dingin. “Lalu kenapa kamu menuduh Anna selingkuh keesokan harinya?”
Dimas tak bisa menjawab, Dirga mengeluarkan lembar bukti lainnya. Foto seorang wanita, selingkuhan Dimas, muncul di atas meja.
“Dan ini,” lanjut Dirga, “cukuplah bukti niatmu. Kamu menjebak Anna supaya rumor itu naik. Supaya wanita ini...” ia menunjuk foto itu tanpa ragu “bisa memakai sensasi untuk masuk ke agensi.”
Dimas semakin pucat, kini ia sadar, semuanya terbongkar. Dirga berdiri tegak, suaranya tegas dan tidak bisa dibantah.
“Mulai hari ini kamu saya nonaktifkan dari semua tugas.” Ia mengambil surat yang sudah ia siapkan sejak tadi malam.
“Dan setelah proses administratif selesai, kamu dipecat dari unit saya, permanen!”
Surat itu diletakkan di depan Dimas.
“Keluar dari ruangan saya, sekarang!
Dimas bangkit perlahan, lututnya hampir goyah. Ia tidak berani menatap Dirga, tidak berani protes. Hanya bisa memeluk mapnya dan berjalan pergi tanpa sekali pun menoleh. Begitu pintu tertutup, Dirga akhirnya menghela napas panjang. Ia menatap bukti-bukti itu sekali lagi, lalu merapikannya dalam map.
Langit memudar menjadi jingga ketika Kapten Dirga kembali ke panti asuhan. Langkah kakinya berat, seolah setiap detik yang ia jalani penuh pertimbangan. Dua hari menunggu hasil tes DNA terasa seperti dua tahun baginya.
Dan kini, semuanya sudah jelas dan sangat jelas dari sebelumnya. Dia masuk ke ruang menyusui. Anna duduk di kursi rotan, menggendong bayi laki-lakinya, tanpa mengetahui apa pun, tanpa menyadari kenyataan besar yang sedang dibawa Dirga kepadanya.
Anna tersenyum kecil ketika melihatnya.
“Kapten, sudah selesai rapatnya?”
Dirga tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangguk dan duduk di depannya, menahan napas seakan memilih kata yang tepat.
“Anna…” suaranya terdengar berat, namun lembut.
“Aku datang membawa jawaban yang selama ini kau cari.”
Anna mengerutkan kening. “Jawaban?”
Dirga menatap bayi kecil itu. Anak itu membuka mata pelan dan tatapan Dirga terpaku. Bening, bulat, dan jelas sekali mirip dirinya. Garis wajah bayi itu sudah lama membuat hatinya tidak tenang.
Sekarang ia tahu kenapa, dia mengeluarkan map cokelat dari jaketnya, lalu meletakkannya pelan di meja kecil di samping Anna.
“Semua catatan lahirmu sudah sampai di tanganku. Dan … hasil tes DNA juga.”
Anna menatap Dirga dengan bingung. “Kapten … kenapa harus ada tes DNA? Apa maksud semua ini?”
Dirga menarik napas panjang sebelum mengatakan kebenaran yang bisa mengubah hidup Anna selamanya.
“Anna…” suara Dirga merendah, tegas, dan tidak bergetar meski dadanya sesak,
“kedua bayi ini ... laki-laki dan perempuan ... adalah … anak kandungmu.”
Air mata Anna langsung jatuh. Ia memegang mulutnya dengan tangan gemetaran.
“Tuhan … jadi mereka … benar masih hidup?” Tangisnya pecah, keras namun tercekik.
“Mereka bilang … keduanya meninggal … mereka bilang...”
“Mereka bohong pada kamu,” Dirga memotong dengan lembut.
“Bayi-bayimu tidak pernah mati. Mereka diculik, dipalsukan datanya, dan dititipkan ke panti ini.”
Anna menangis semakin keras, memeluk bayi laki-laki itu erat seakan takut ia akan menghilang lagi. Dirga melanjutkan, suaranya semakin berat,
“Dan, Anna … ada satu hal lagi yang harus kau tahu.”
Ia menatap dalam ke mata Anna.
“Tes DNA menunjukkan … kedua bayi itu memang bukan anak Dimas.”
Anna membeku di tempat, seluruh tubuhnya gemetar. Dirga menjawab tanpa ragu, tanpa jeda, tanpa kesempatan bagi Anna untuk salah menafsirkan,
“Kedua bayi ini …
ayo basmi habis semuanya , biar kapten dirga dan anna bahagia
aamirandah ksh balasan yg setimpal dan berat 🙏💪
kejahatan jangan dibiarkan terlalu lama thor , 🙏🙏🙏
tiap jam berapa ya kak??
cerita nya aku suka banget🥰🥰🙏
berharap update nya jangan lama2 🤭🙏💕