Novel ini akan mengisahkan tentang perjuangan Lucas Alarik yang menunggu sang kekasih untuk pulang kepelukannya. Mereka berjarak terhalang begitulah sampai mungkin Lucas sudah mulai ragu dengan cintanya.
Akankah Mereka bertemu kembali dengan rasa yang sama atau malah asing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lee_jmjnfxjk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24. Yang Mulai Pergi, Yang Masih Bertahan
Danu baru benar-benar menyadarinya ketika rumah itu terasa terlalu sunyi.
Sunyi yang tidak biasa. Sunyi yang disengaja.
Kamar Gio rapi—terlalu rapi untuk ukuran seseorang yang biasanya meninggalkan jaket di kursi dan buku terbuka di lantai. Lemari setengah kosong. Meja belajar bersih tanpa coretan. Bahkan aroma sabun yang biasa menempel di handuk kamar mandi sudah menghilang.
Danu berdiri lama di ambang pintu, napasnya tertahan.
“Dia… beneran nyoba pergi dari hidup gue,” gumamnya lirih.
Bukan pergi dengan marah. Bukan menghilang sambil membanting pintu. Tapi pergi dengan tenang, seolah sudah diputuskan jauh-jauh hari.
Rasa panik datang terlambat.
Danu bergerak tanpa rencana. Ia menelepon nomor Gio berkali-kali. Pesan-pesan dikirim, tak satu pun dibaca. Ia mendatangi teman-temannya, bertanya ke orang-orang yang biasa dekat dengan Gio. Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang melihat Gio pamit.
Semakin ia mencari, semakin jelas satu hal—Gio tidak ingin ditemukan.
Dan itu menyakitkan dengan cara yang tidak pernah Danu bayangkan.
Di sisi lain kota, Lucas juga hidup dalam kegelisahan yang tidak kalah berat.
Athaya menghilang begitu saja. Tidak ada pesan. Tidak ada penjelasan. Lucas mencoba menghubungi jalur yang ia kenal, tapi Athaya seperti menarik diri dari seluruh dunia yang berhubungan dengannya.
Namun hidup Lucas tidak memberinya waktu untuk tenggelam terlalu lama.
Hampir setiap hari, ia bersama Dewi. Awalnya hanya makan, lalu obrolan panjang, lalu janji temu yang semakin terasa seperti rutinitas. Lucas meyakinkan dirinya bahwa itu hanya distraksi—tidak lebih.
Tanpa ia sadari, jaraknya dengan Athaya semakin melebar.
Tekanan lain datang bersamaan.
Night Holding.
Lucas mulai dilibatkan lebih dalam dari sebelumnya. Rapat-rapat panjang, dokumen strategis, keputusan-keputusan kecil yang perlahan diarahkan ke tangannya. Ia dipersiapkan—secara terang-terangan—untuk menggantikan ayahnya sebagai CEO.
Ia berusaha. Terlalu berusaha.
Namun setiap malam, ketika semua selesai, satu perasaan tetap tinggal.
Kosong.
“Kenapa semuanya berantakan justru pas gue nyoba ngatur hidup sendiri…” gumam Lucas, suaranya nyaris tak terdengar.
Sementara itu, di Jepang, Athaya duduk berhadapan dengan Rajendra.
Tidak ada meja panjang. Tidak ada suasana formal. Hanya dua kursi dan jarak yang selama ini jarang mereka lewati bersama.
“Kamu terlalu keras pada dirimu sendiri,” ucap Rajendra tenang.
Athaya menunduk. Jarinya saling mengunci.
“Kamu boleh salah,” lanjut Rajendra. “Tapi jangan berhenti bertanggung jawab hanya karena kamu kecewa pada dirimu sendiri.”
Athaya menghembuskan napas panjang. “Aku salah hitung. Dan dampaknya ke orang lain.”
“Daddy tahu,” jawab Rajendra. “Tapi kamu tidak lari. Kamu tetap di sini. Itu yang membedakan.”
Athaya mengangkat kepala perlahan. Dadanya masih berat, tapi tidak lagi sesak.
“Pemimpin bukan orang yang selalu benar,” kata Rajendra pelan. “Pemimpin adalah orang yang berani berdiri setelah salah.”
Kata-kata itu tidak menghapus rasa bersalah, tapi memberi arah.
Athaya mengangguk. Untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa masih layak memperbaiki sesuatu.
Malam itu juga, di dalam mansion yang sama, Revan duduk berhadapan dengan Gio.
Lampu kamar redup. Gio duduk di tepi ranjang, punggungnya sedikit membungkuk. Kedua tangannya mengusap perutnya perlahan, gerakan kecil yang kini tak lagi bisa ia sembunyikan.
Revan memperhatikannya lama sebelum bicara.
“Kamu gak bisa sembunyi selamanya,” ucap Revan lembut.
Gio menunduk. “Aku takut.”
“Paman tahu,” jawab Revan. “Tapi Danu berhak tahu.”
Gio menggeleng pelan. “Aku gak mau dia ngerasa terjebak.”
Revan mendekat sedikit. “Kejujuran bukan jebakan, Gio. Dan kamu bukan beban.”
Ia berhenti sejenak, memastikan Gio mendengar. “Kalau kamu terus diam, kamu bukan melindungi dia—kamu melukai diri sendiri.”
Mata Gio berkaca-kaca. “Aku capek, Paman.”
Revan mengangguk. “Dan kamu gak harus hadapin ini sendirian.”
Tangannya mengusap bahu Gio dengan lembut. “Kasih tau Danu. Secepatnya. Sebelum jarak itu jadi terlalu jauh untuk dikejar.”
Gio memejamkan mata. Tangannya kembali mengusap perutnya, kali ini sedikit gemetar.
Di tempat yang berbeda, tiga orang memikirkan orang yang sama—dengan rasa kehilangan, penyesalan, dan harapan yang saling bersilangan.
Dan tanpa mereka sadari, waktu sedang berjalan menuju titik yang tidak bisa lagi ditunda.
-bersambung-