⚠️ sebelum baca cerita ini wajib baca Pengantin Brutal ok⚠️
Setelah kematian Kayla dan Revan, Aluna tumbuh dalam kasih sayang Romi dan Anya - pasangan yang menjaga dirinya seperti anak sendiri.
Namun di balik kehidupan mewah dan kasih berlimpah, Aluna Kayara Pradana dikenal dingin, judes, dan nyaris tak punya empati.
Wajahnya selalu datar. Senyumnya langka. Tak ada yang tahu apa yang sesungguhnya disimpannya di hati.
Setiap tahun, di hari ulang tahunnya, Aluna selalu menerima tiga surat dari mendiang ibunya, Kayla.
Surat-surat itu berisi kenangan, pengakuan, dan cinta seorang ibu kepada anak yang tak sempat ia lihat tumbuh dewasa.
Aluna selalu tertawa setiap membacanya... sampai tiba di surat ke-100.
Senyum itu hilang.
Dan sejak hari itu - hidup Aluna tak lagi sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim elly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 30
Angin laut sore itu bertiup lembut, membawa aroma asin dan suara ombak yang bergulung tenang. Langit berwarna jingga keemasan, seolah ikut menyaksikan dua sosok ayah dan anak duduk berdampingan di pasir putih yang lembut.
“Pah, kita udah jarang kayak gini ya,” ucap Aluna sambil bersandar di bahu Axel. Suaranya lembut, tapi menyimpan rindu yang dalam.
“Iya, kamu udah gede, sayang,” ucap Axel pelan, matanya menatap lautan yang bergelombang seolah ada kenangan yang ia sembunyikan di sana.
“Jangan jauh dari Al ya, Pah,” ucap Aluna lirih, pelukannya pada lengan Axel makin erat, seolah takut kehilangan sosok itu.
“Nggak dong, sayang. Kamu itu segalanya buat Papa,” ucap Axel sambil terkekeh kecil, mencoba mencairkan suasana meski senyum itu terasa dipaksakan.
“Janji ya,” ucap Aluna dengan mata besar menatap wajah ayahnya.
“Janji,” ucap Axel menatap balik, menepuk kepala putrinya lembut.
“Pah… itu si Baskara ternyata anaknya Laura. Berarti Laura bekas Om Reno,” ucap Aluna sambil menatap Axel tajam, mencoba membaca ekspresi wajah ayahnya.
Axel menarik napas panjang, wajahnya menegang. “Papa juga baru tahu sekarang,” ucapnya datar, tapi ada nada kecewa yang sulit disembunyikan.
“Papa cinta sama Laura?” tanya Aluna tanpa basa-basi.
“Nggak. Cinta Papa hanya untuk ibu kamu,” jawab Axel cepat, menatap laut lagi—menatap jauh, seolah wajah Kayla ada di balik cakrawala sana.
“Terus kenapa Papa nikah sama dia?” tanya Aluna, nada suaranya berubah lebih dalam, seperti menuntut kejujuran.
“Kamu nggak akan ngerti, sayang. Kamu masih kecil,” ucap Axel sambil tersenyum tipis, menyentuh kepala anaknya dengan lembut.
“Aku takut, Pa…” ucap Aluna tiba-tiba, pandangannya tertuju ke ombak yang mulai gelap.
“Takut kenapa?” tanya Axel, menoleh cepat, suaranya terdengar penuh perhatian.
“Aku takut dia curi hati Papa. Dia hasut Papa agar jauhin aku,” ucap Aluna, suaranya bergetar, matanya berkaca-kaca.
Axel menarik napas panjang lagi, lalu mengusap punggung Aluna perlahan. “Nggak akan kok, sayang. Kami jarang ngobrol, Papa seperlunya aja kok sama Laura,” ucapnya menenangkan.
“Pah… cinta pertama itu indah ya?” tanya Aluna tiba-tiba, nadanya berubah lembut tapi penuh rasa ingin tahu.
“Iya, indah… tapi kadang menyakitkan,” jawab Axel, menatap laut dengan pandangan kosong.
“Kok gitu?” ucap Aluna polos, kepalanya miring sedikit.
“Dulu Papa berharap pacaran sama ibu kamu,” ucap Axel sambil tersenyum, tapi matanya tampak sayu.
“Cerita dong, Pah. Aku tuh suka cerita Papa sama ibu zaman dulu,” ucap Aluna sambil terkekeh geli, mencoba menghidupkan suasana.
“Di hotel aja, udah mau malam ini,” ucap Axel sambil tertawa kecil.
“Ok,” ucap Aluna ceria, langsung berdiri dan menepuk-nepuk pasir di celananya.
Mereka berjalan berdua menuju hotel dengan langkah santai. Cahaya lampu pantai mulai menyala satu per satu, dan bayangan mereka memanjang di pasir.
Begitu sampai di kamar, Axel duduk di tepi ranjang. Matanya menatap langit-langit seolah menembus masa lalu.
“Papa dulu kenal sama Ibu kamu dari kecil tapi papa suka sama ibu kamu pas kelas 2 SMP,” katanya pelan, memulai kisah yang sudah lama tersimpan.
Flashback
Suasana sekolah ramai saat itu. Anak-anak berseragam putih biru berlari-lari kecil ke lapangan. Matahari pagi begitu terik.
Kayla baru datang—rambutnya dikuncir dua, wajahnya berkeringat tapi tetap cantik. Ia berlari kecil dari gerbang menuju lapangan karena upacara hampir dimulai.
“Hayu, Kay!” ucap Axel sambil meraih tangan Kayla agar cepat.
Kayla kaget tapi tidak menolak, mereka berlari bersama. Sampai di barisan, Kayla berterima kasih sambil tersenyum kecil.
“Tumben lo baik,” ucap Kayla sambil memicingkan mata, pura-pura curiga.
“Lah, gue takut lo nggak keburu, Kayla. Astagfirullah, lo suudzon terus sama gue,” ucap Axel sambil terkekeh geli.
“Makasih, btw,” ucap Kayla sambil tersenyum lembut.
Setelah upacara bubar, mereka berjalan menuju kelas.
“Kay, pulangnya bareng yuk,” ucap Axel, kali ini suaranya agak pelan tapi penuh harap.
“Sama Revan gue,” ucap Kayla santai sambil berjalan.
“Ya bareng, kan searah,” ucap Axel cepat.
“Ya ayok,” jawab Kayla akhirnya, dengan senyum kecil.
Pulangnya mereka berlima berjalan bersama—Kayla, Axel, Romi, Salsa, dan Revan. Axel terus menatap Kayla sepanjang jalan, matanya tidak lepas dari wajah cewek itu. karena tidak fokus, ia tiba-tiba terperosok ke got.
“BRAAAAK!”
Semua terkejut satu detik… lalu tawa pecah.
Bukannya menolong, Kayla dan yang lain justru tertawa sampai terpingkal-pingkal. Kayla bahkan sampai menepuk-nepuk lututnya saking lucunya.
Axel berdiri, wajahnya penuh lumpur, tatapan matanya tajam.
“Bukan bantuin malah ketawain! Brengsek!” ucapnya kesal sambil pergi.
“Lah dia kenapa,” ucap Kayla masih tertawa paling kencang.
Axel menoleh sebentar, melihat Kayla masih ngakak puas, lalu pergi dengan wajah merah padam.
Sore harinya mereka kembali bertemu di lapangan hijau. Udara sore sejuk, rumput lembut di bawah kaki mereka. Salsa dan Kayla sedang menulis di buku diary, sementara Revan dan Romi bermain mobil tamia.
Axel datang dari arah warung, rambutnya sudah rapi, bajunya bersih.
“Udah mandi, Xel?” ucap Kayla sambil terkekeh.
“Udah, puas lo?” balas Axel kesal.
“Dih, jangan marah,” ucap Kayla sambil menyenggol bahunya, menggoda.
“Lo puas banget gue jatuh!” ucap Axel sambil melotot kecil, tapi ekspresi itu justru membuat Kayla makin tertawa.
“Lucu, Axel, ih. Lo mah ambekan,” ucap Kayla sambil cemberut tapi masih senyum.
“Lucu banget Kayla,” ucap Axel dalam hati, menahan senyum kecil agar tidak ketahuan.
Tiba-tiba terdengar suara tukang cuangki lewat.
“Xel, mau itu dong. Jajanin!” ucap Kayla sambil merajuk, wajahnya ceria.
“Boleh, sok aja,” ucap Axel santai.
“Serius?” ucap Kayla bahagia, matanya berbinar.
“Iya,” jawab Axel.
“Semua-nya,” ucap Kayla menggoda.
“Iya, semua-nya,” balas Axel.
Mereka pun makan cuangki bersama-sama di bawah pohon besar.
Tawa mereka memenuhi sore itu—hingga suara ibu-ibu memanggil dari jauh.
“Axel! Pulang!” teriak Bu Ami, ibunya, dari kejauhan.
Axel buru-buru bangkit dan pergi tanpa membayar.
“Lah, ini gimana?” ucap Revan panik.
“Iya anjir, dia juga makan, kagak dibayar!” ucap Romi.
“Gue nggak bawa duit, Kay,” ucap Salsa cemas.
“Brengsek si Axel, gila!” gerutu Kayla sambil membayar semuanya dengan wajah kesal.
Keesokan harinya, suasana kelas riuh. Axel baru datang, membawa raut wajah letih.
“Lo gila ya! Kemaren jajanin kita nggak jadi!” teriak Kayla lantang, membuat seisi kelas menoleh.
“Kay, gue ada musibah… kakek gue meninggal,” ucap Axel pelan.
Kayla terdiam sejenak. “Gue masih maafin lo karena ada musibah,” ucapnya akhirnya sambil pergi bersama Salsa.
Siangnya, di jam istirahat, Axel mencoba menebus kesalahannya. Ia mendekati mereka di kantin sambil membawa nampan berisi makanan.
"Kay, sorry,"
Kayla menatap tajam wajah Axel.
“Nggak mau,” ucap Kayla ketus.
“Kay, serius,” ucap Axel.
“Ogah!” teriak Kayla keras-keras.
“Kay, maafin gue,” ucap Axel lagi, nadanya tulus.
“Ya udah, dimaafin. Tapi lo tuh bikin kesel tau nggak!” ucap Kayla sambil menatap tajam Axel.
Axel terdiam, matanya memanas, lalu pergi dengan wajah penuh emosi.
“Nggak jelas, anjir, si tai!” gerutu Kayla sambil uring-uringan.
“Kalian berdua kenapa sih?” tanya Revan bingung.
“Dia gila, Van!” ucap Kayla kesal.
“Lo juga emosian, kalian sama-sama tempramen,” ucap Romi sambil terkekeh.
“Nggak tau, gue kesel,” ucap Kayla sambil cemberut, pipinya menggembung lucu.
Sejak saat itu, Kayla selalu kesal tiap melihat Axel. Tapi di sisi lain, Axel justru semakin sulit menghapus wajah Kayla dari pikirannya. Ia ingin mendekati, tapi malu. Dan cinta itu mulai tumbuh — dengan cara yang paling aneh dan tidak diharapkan.
Flashback off.
Bersambung....
tapi aku suka ama anaknya🤣