NovelToon NovelToon
KEPALSUAN

KEPALSUAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Misteri / Action / Persahabatan / Romansa
Popularitas:217
Nilai: 5
Nama Author: yersya

ini adalah cerita tentang seorang anak laki-laki yang mencari jawaban atas keberadaannya sendiri

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yersya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 12

“Kutukan… kami membagi tingkat bahaya mereka menjadi beberapa tingkatan,” jelas Adelia sambil berjalan di sampingku. Suaranya tenang, tapi setiap kata terasa berat. “Yang terlemah berada di tingkat 10. Tingkat itu masih cukup berbahaya bagi manusia biasa, tapi tidak mengancam penyihir pemula sekalipun. Semakin tinggi tingkatannya, semakin besar ancamannya. Memasuki tingkat 8 saja, satu kutukan sudah mampu menghabisi seluruh desa kecil. Tingkat 4 dapat menghancurkan kota, dan tingkat 1… cukup untuk menghapus satu negara.”

Aku menelan ludah. Penjelasan itu menggema di kepala seperti ancaman yang tidak terlihat.

Kami terus melangkah menyusuri koridor gelap gedung tua, mencari jejak keberadaan kutukan.

“Jadi tingkat 1 itu yang paling tinggi dan paling berbahaya?” tanyaku memastikan.

“Tidak.” Adelia menggeleng pelan. “Tingkat tertinggi adalah tingkat 0. Kutukan di tingkat itu… mampu menghancurkan dunia.”

Aku terdiam. Menghancurkan dunia? Jika kutukan setingkat itu ada… berarti ada penyihir yang bisa melawannya. Bukankah itu juga berarti ada penyihir yang sekuat itu?

“Para penyihir juga diukur dengan tingkatan yang sama,” lanjut Adelia sambil terus berjalan. Suaranya terdengar mantap, seolah ia sedang mengulang hal yang sudah ia jelaskan ratusan kali. “Sebelum misi dimulai, ada tim khusus yang bertugas mengukur level kutukan yang muncul. Dari situ, asosiasi menentukan penyihir mana yang cocok dikirim.”

Aku mengangguk pelan. “... Dan tingkatan kita sekarang?” tanyaku, rasa penasaranku semakin menguat.

“Tingkat 8,” jawab Adelia tanpa menoleh. Nada suaranya datar, penuh keyakinan. “Untuk penyihir tingkat 7 sepertiku, ini harusnya tugas yang sangat mudah.”

Aku menatap punggungnya. Sikapnya santai, tapi langkahnya tetap ringan dan cepat. Percaya diri? Sudah pasti. Berlebihan? Mungkin. Namun, pertarungan bukan soal angka. Tingkat tinggi bukan jaminan selamat. Dalam dunia kutukan, yang ceroboh mati duluan.

Tiba-tiba Adelia menghentikan langkahnya. Aku hampir menabraknya.

“Sebaiknya kupasang sekarang…” gumamnya, suaranya merendah seperti bicara pada dirinya sendiri.

“Pasang apa?” tanyaku refleks.

Adelia menoleh sedikit dan tersenyum tipis—senyum khasnya yang entah antara mengejek atau menyembunyikan sesuatu. Ia mengepalkan tangan kanan perlahan, seperti menahan sesuatu di dalamnya. Kemudian ia mengangkat tangan itu setinggi dada, meluruskan telunjuk dan jari tengah ke depan dengan gerakan yang sangat presisi, seperti ritual.

Dalam hitungan detik, tubuh Adelia memancarkan gelombang energi transparan. Awalnya tipis—seperti embun kaca. Lalu menebal, berputar, dan meluas dengan cepat. Udara bergetar. Lantai berderak halus. Cahaya seolah dipelintir.

WUUUMM—

Energi itu meledak diam-diam, membentuk kubah raksasa yang menyelimuti seluruh gedung tua. Dari dalam, kubah itu terlihat seperti gelembung dimensi yang berdenyut pelan, seolah hidup.

Aku tertegun melihatnya dari jendela yang retaknya berserakan seperti urat kaca. “Ini… pemisah ruang?”

Adelia mengalihkan pandangannya kepadaku. “Jika kau bisa melihatnya sedetail itu…” Ia mendesah kecil. “Itu berarti kau sudah terlalu sering bersentuhan dengan kutukan. Padahal seharusnya kau baru bertemu tiga kali, dan itu pun cuma sebentar.”

Ia menyipitkan mata. “Apa kau jalan-jalan cari masalah lagi dan bertemu kutukan lain tanpa bilang apapun padaku?”

Aku mencoba mengingat. Hanya lorong sekolah. Kelas. Pulang.

“… Seingatku, tidak,” jawabku akhirnya.

Adelia menatapku lama, seperti sedang menganalisis kebohongan. Lalu ia mengibaskan tangan. “Yah, sudahlah.”

Ia melangkah maju dua langkah, mengangkat telapak tangannya ke depan.

“Keluarlah, Fenrir!”

Cairan hitam merembes keluar dari telapak tangannya—bukan menetes, tapi mengalir seolah gravitasi tak mempengaruhinya. Cairan itu jatuh ke lantai, menyebar seperti tinta hidup, lalu menggumpal. Suara seperti tulang dan daging membentuk diri terdengar halus, crack—crack—.

Dalam hitungan detik, cairan itu berubah menjadi seekor serigala besar berbulu abu-abu gelap. Bukan monster—tapi jelas bukan hewan biasa. Matanya menyala redup, napasnya berat, setiap helaan napas meninggalkan kabut dingin kecil di udara.

Fenrir menginjak lantai pelan, tak, tak, tak, kepalanya menoleh kiri-kanan seperti mengukur keadaan. Bulu di sepanjang lehernya berdiri, seolah membaca bau kutukan dari kejauhan.

Adelia menunduk sedikit dan mengusap kepala serigala itu. Untuk pertama kalinya sejak tadi, ia tampak… lembut.

Fenrir mengibaskan ekornya sekali. Gerakannya tenang, tapi aura yang keluar darinya…

cukup untuk membuat bulu kudukku meremang.

“Sebaiknya kau tetap di belakangku,” ucap Adelia sambil menatapku sekilas, nada suaranya kembali datar dan galak. “Jika kau tidak mau mati konyol.”

Fenrir berjalan lebih dulu, hidungnya mencium lantai dan udara, mengikuti jejak aroma yang hanya dia yang bisa baca. Adelia mengikutinya, percaya penuh pada arah yang ditunjukkan familiar-nya itu.

Sementara aku… hanya bisa menelan ludah dan mengikuti di belakang mereka.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!