Nadia mengira melarikan diri adalah jalan keluar setelah ia terbangun di hotel mewah, hamil, dan membawa benih dari Bramantyo Dirgantara—seorang CEO berkuasa yang sudah beristri. Ia menolak uang bayaran pria itu, tetapi ia tidak bisa menolak takdir yang tumbuh di rahimnya.
Saat kabar kehamilan itu bocor, Bramantyo tidak ragu. Ia menculik Nadia, mengurungnya di sebuah rumah terpencil di tengah hutan, mengubahnya menjadi simpanan yang terpenjara demi mengamankan ahli warisnya.
Ketika Bramantyo dihadapkan pada ancaman perceraian dan kehancuran reputasi, ia mengajukan keputusan dingin: ia akan menceraikan istrinya dan menikahi Nadia. Pernikahan ini bukanlah cinta, melainkan kontrak kejam yang mengangkat Nadia .
‼️warning‼️
jangan mengcopy saya cape mikir soalnya heheh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Celyzia Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Nadia kini tinggal di penthouse megah milik Bramantyo yang menghadap ke seluruh kota. Ia selalu didampingi pelayan dan pengawal, namun kali ini ia diberikan akses lebih luas—selama ia tidak meninggalkan pandangan Bramantyo.
Bramantyo menjadi pria yang sangat berbeda. Ia sering pulang lebih awal, membawakan hadiah-hadiah mewah, dan menatap Nadia dengan tatapan yang sulit diartikan—bukan sekadar kepemilikan, tapi ada semacam kerinduan yang mendalam.
Beberapa bulan berlalu dalam keheningan yang tegang, hingga akhirnya kabar itu kembali datang.
"Selamat, Tuan Dirgantara. Nyonya Nadia kembali hamil," ujar dokter pribadi keluarga itu.
Nadia hanya terdiam di ranjangnya, merasakan perutnya yang kembali berisi. Ada rasa takut yang luar biasa, namun ia juga melihat perubahan drastis pada Bramantyo. Pria itu berlutut di depan Nadia, mencium tangannya dengan kelembutan yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya.
Malam itu, setelah Nadia divonis hamil lagi, Bramantyo tidak tidur. Ia duduk di balkon, memandangi lampu kota, lalu kembali masuk ke kamar dan membuka sebuah kotak kayu tua yang ia simpan di dalam brankas pribadinya.
Ia mengeluarkan sebuah foto usang yang sudah menguning. Di foto itu, terlihat seorang remaja laki-laki—Bramantyo muda—bersama seorang gadis kecil berusia sekitar 5 tahun yang sedang memegang kincir angin kertas.
"Kau mungkin tidak mengingatnya, Nadia," bisik Bramantyo, suaranya parau. Ia menunjukkan foto itu kepada Nadia yang sedang bersandar di ranjang.
Nadia mengerutkan kening, menatap foto itu. "Siapa gadis kecil ini?"
Bramantyo tersenyum pahit. "Itu kau. Dua puluh tahun yang lalu, di sebuah taman tua di pinggiran kota. Saat itu aku baru saja kehilangan ibuku, dan aku ingin mengakhiri hidupku di sana. Tapi kemudian, seorang gadis kecil datang menghampiriku, memberikan kincir angin kertasnya, dan memanggilku... 'Kakak'."
Nadia terpaku. Memori yang sudah terkubur sangat dalam di masa kecilnya perlahan muncul. Ia ingat pernah memberikan mainan kesayangannya kepada seorang remaja yang sedang menangis sendirian di bangku taman.
"Gadis kecil itu bilang, 'Kakak, jangan menangis, nanti kincir anginnya tidak mau berputar kalau tidak ada tawa'," lanjut Bramantyo, matanya berkaca-kaca. "Sejak hari itu, aku berjanji pada diriku sendiri. Aku akan menjadi sangat kuat agar bisa menemukan gadis itu lagi dan menjadikannya milikku. Aku menghabiskan seluruh hidupku mencari siapa gadis kecil itu, sampai akhirnya aku menemukanmu di hotel malam itu."
Nadia menatap Bramantyo dengan rasa ngeri yang bercampur haru. "Jadi... semua penculikan ini, semua kurungan ini... hanya karena kau terobsesi pada gadis kecil di taman?"
"Aku tidak ingin kehilanganmu untuk kedua kalinya, Nadia," Bramantyo menggenggam tangan Nadia dengan erat. "Dunia ini kejam. Aku tahu bagaimana cara orang-orang menghancurkan hal yang indah. Aku mengurungmu karena aku ingin kau hanya melihatku. Aku ingin kau aman dalam dunia yang kubangun untukmu."
"Tapi kau menyiksaku, Bram! Kau membuatku kehilangan anak pertama kita!" tangis Nadia pecah.
Bramantyo menunduk, penyesalan terpancar jelas di wajahnya. "Aku salah. Aku membiarkan amarahku dan Larasati menghancurkan segalanya. Tapi kali ini, aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuhmu. Aku akan menjadi 'Kakak' yang dulu kau selamatkan, tapi aku juga akan menjadi pria yang tidak akan pernah membiarkanmu pergi."
Nadia menyadari kenyataan yang mengerikan: Bramantyo bukan sekadar pria jahat yang menginginkan ahli waris. Dia adalah pria yang mengalami trauma masa kecil dan telah mengubah cinta masa kecilnya menjadi obsesi yang gelap.
Kini, dengan benih baru yang tumbuh di rahimnya, Nadia berada di posisi yang sangat sulit. Ia memegang kunci hati Bramantyo melalui kenangan masa kecil itu, namun ia juga terikat selamanya pada pria yang telah menghancurkan hidupnya demi sebuah janji masa lalu.
"Kau gila, Bramantyo," bisik Nadia.
"Mungkin," jawab Bramantyo sambil mengecup kening Nadia. "Tapi kegilaan ini adalah satu-satunya hal yang membuatku tetap hidup sejak hari itu .
Malam-malam di penthouse Jakarta tidak lagi sesunyi biasanya. Bramantyo tidak lagi bersikap seperti penguasa yang memerintah tawanannya; ia lebih menyerupai seorang pria yang berusaha menebus dosa masa lalu.
Suatu sore, Nadia menemukan sebuah kotak kaca di ruang kerja Bramantyo. Di dalamnya, tersimpan kincir angin kertas yang sudah rapuh dan berwarna pudar—mainan yang ia berikan di taman dulu. Melihat benda itu, air mata Nadia jatuh tanpa bisa dibendung. Ia teringat gadis kecil yang tulus itu, dan bagaimana takdir menyeretnya kembali ke pelukan remaja yang pernah ia hibur.
Saat Bramantyo pulang dan mendapati Nadia sedang menatap kincir angin itu, ia tidak marah. Ia justru mendekat dan menyelimuti bahu Nadia dengan lembut.
"Aku masih ingat tawa kecilmu saat itu," bisik Bramantyo pelan. "Itu adalah satu-satunya suara yang membuatku ingin bertahan hidup."
Nadia menoleh, menatap mata Bramantyo yang biasanya tajam namun kini tampak rapuh. "Kenapa kau tidak mengatakannya dari awal, Kak? Kenapa harus dengan cara yang begitu kejam?"
Bramantyo tertunduk. "Karena aku tidak tahu cara mencintai tanpa menguasai. Aku takut jika aku melepaskanmu, kau akan hilang lagi seperti sore itu di taman."
Untuk pertama kalinya, Nadia tidak menepis tangan Bramantyo. Ia merasakan getaran penyesalan yang tulus. Meski luka lama belum sepenuhnya sembuh, benih-benih pengampunan mulai tumbuh di antara mereka.
Di tengah suasana hati yang mulai melunak, Bramantyo memutuskan untuk tidak lagi menyembunyikan Nadia. Ia ingin dunia tahu siapa wanita yang berada di sisinya.
Melalui sebuah konferensi pers resmi di gedung Dirgantara Group, Bramantyo mengumumkan dua berita besar sekaligus: Kematian tragis Larasati karena kecelakaan (skenario yang sudah dirapikan) dan pernikahan resminya dengan Nadia.
Namun, yang paling mengejutkan adalah pengumuman terakhirnya.
"Istri saya, Nadia Dirgantara, saat ini sedang mengandung ahli waris utama keluarga Dirgantara," ujar Bramantyo di depan puluhan kamera yang berkilat. Ia memegang tangan Nadia dengan erat, seolah mendeklarasikan kepada dunia bahwa Nadia adalah miliknya yang paling berharga.
Berita itu menjadi headline di seluruh negeri. Nadia yang dulunya hanya gadis biasa, kini menjadi pusat perhatian sebagai "Cinderella" yang berhasil menaklukkan hati sang naga Dirgantara.
Kembali ke rumah, Nadia merasakan janinnya bergerak untuk pertama kalinya. Rasa itu membangkitkan harapan yang dulu sempat mati bersama anak pertamanya.
"Dia bergerak, Kak," ujar Nadia pelan sambil menyentuh perutnya yang mulai membuncit.
Bramantyo langsung mendekat, meletakkan telinganya di perut Nadia dengan wajah penuh binar kebahagiaan yang belum pernah terlihat sebelumnya. "Dia kuat. Dia akan menjadi sepertimu, Nadia. Memiliki hati yang bisa menyelamatkan orang yang tersesat."
Nadia tersenyum tipis. Untuk sesaat, ia melupakan statusnya sebagai "simpanan yang diresmikan" dan merasa seperti seorang istri yang benar-benar dicintai. Namun, di balik kebahagiaan itu, Nadia tetap waspada. Ia tahu bahwa di dunia Dirgantara, musuh bukan hanya datang dari masa lalu, tapi juga dari orang-orang yang iri dengan posisi barunya.
"Berjanjilah satu hal padaku," ucap Nadia sambil menatap mata Bramantyo. "Jangan pernah lagi ada rahasia. Jangan pernah lagi ada kurungan. Jika kau ingin aku mencintaimu, cintailah aku sebagai manusia, bukan sebagai barang milikmu."
Bramantyo mengangguk mantap. "Aku berjanji. Nyawaku adalah jaminannya."