--- **“Luna adalah anak angkat dari sebuah keluarga dermawan yang cukup terkenal di London. Meskipun hidup bersama keluarga kaya, Luna tetap harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sekolahnya sendiri. Ia memiliki kakak perempuan angkat bernama Bella, seorang artis internasional yang sedang menjalin hubungan dengan seorang pebisnis ternama. Suatu hari, tanpa diduga, Luna justru dijadikan *istri sementara* bagi kekasih Bella. Akankah Luna menemukan kebahagiaannya di tengah situasi yang rumit itu?”**
--- Cerita ini Murni karya Author tanpa Plagiat🌻 cerita ini hanya rekayasa tidak mengandung unsur kisah nyata🌻
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 24 Peserta Lomba
Tuan Exo beserta istrinya segera melangkah mendekat untuk menyambut Bryan. Wajah Tuan Exo tampak berseri, jelas menunjukkan kebanggaan yang sulit ia sembunyikan. “Merupakan sebuah kehormatan besar bagi saya karena Tuan berkenan menghadiri acara ulang tahun ini,” ucap Tuan Exo dengan penuh hormat. Kehadiran Bryan seorang CEO ternama jelas akan membawa sorotan besar dan menaikkan reputasi acara tersebut di mata publik.
Bryan membalas dengan anggukan sopan. “Selamat ulang tahun, Tuan Exo,” ucapnya singkat namun berkelas. Isyarat kecil dari Bryan membuat para pengawalnya segera melangkah maju, membawa beberapa kotak hadiah dengan kemasan elegan. Tuan Exo tampak semakin terkesan.
“Terima kasih banyak, Tuan,” ujarnya tulus. Ia kemudian menoleh ke arah Luna, memberi senyum ramah sebelum kembali mempersilakan. “Silakan, mari duduk di sebelah sini.”
Tuan Exo mengantar Bryan dan Luna ke area khusus yang telah disiapkan tempat istimewa dengan pemandangan terbaik di dalam ruangan. Para tamu lain tak henti melirik ke arah mereka, menyadari bahwa malam itu pusat perhatian benar-benar telah berpindah.
“Caro…” bisik Luna pelan sambil mengeratkan genggamannya di tangan Bryan. Tatapannya sedikit menunduk, jelas terlihat bahwa ia merasa tidak nyaman menjadi pusat perhatian begitu banyak orang.
Bryan segera menoleh, menyadari perubahan kecil itu. Tanpa berkata apa-apa, ia menggenggam tangan Luna lebih erat, ibu jarinya mengusap punggung tangan istrinya dengan gerakan menenangkan. Ia sedikit memiringkan tubuhnya, seolah ingin melindungi Luna dari tatapan-tatapan di sekeliling mereka.
“Aku di sini” ucapnya lirih namun tegas. “Tak perlu memikirkan mereka.”
Ia kemudian menarik Luna sedikit lebih dekat ke sisinya, memastikan istrinya duduk dengan nyaman. Meski bisik-bisik dan pandangan penasaran masih mengarah pada mereka, bagi Bryan, dunia di sekitarnya seakan memudar. Yang penting baginya saat itu hanyalah memastikan Luna merasa aman di sisinya.
Tuan Exo tersenyum sopan, lalu mengalihkan pandangannya kepada Luna yang duduk anggun di sisi Bryan. “Tuan” ucapnya dengan nada hormat, “bolehkah saya tahu, siapa wanita yang mendampingi Anda ini?” Bryan menoleh sejenak ke arah Luna. Genggaman tangannya sedikit menguat, seolah memberi isyarat tenang. Kemudian ia kembali menatap Tuan Exo dengan ekspresi tenang namun tegas. “Istri saya,” jawab Bryan singkat.
Ucapan itu sontak membuat suasana di sekitar mereka seakan berhenti sesaat. Beberapa tamu yang berada tak jauh langsung menoleh, bisik-bisik pelan mulai terdengar. Tuan Exo tampak terkejut, lalu senyumnya melebar penuh antusias. “Oh, sebuah kehormatan besar” katanya cepat, lalu menundukkan kepala sedikit ke arah Luna. “Senang bertemu dengan Anda, Nyonya Bryan.”
Luna berusaha menyembunyikan kegugupan. Dengan senyum kecil yang sopan, ia membalas sapaan itu, sementara tangan Bryan tetap menggenggam tangannya diam-diam memberinya kekuatan. “Saya ingin istri saya ikut dalam ajang perlombaan Workshop mendesain fashion basic illustration” ujar Bryan dengan nada tenang namun jelas, seolah keputusan itu telah dipertimbangkan matang.
Tuan Exo tampak terkejut sekaligus antusias. Ia menoleh ke arah Luna, begitu pula istrinya. Tatapan mereka dipenuhi rasa kagum.
“Wah,” ucap Tuan Exo sambil tersenyum lebar “apakah istri Anda seorang desainer?”
Luna sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia menunduk sejenak, sementara Bryan tetap tenang di sisinya. “Begitu,” lanjut Bryan sebelum Luna sempat menjawab, “namun dia masih berstatus mahasiswa.”
“Oh, luar biasa” sahut istri Tuan Exo dengan nada tulus. “Bakat seperti itu sudah terlihat sejak sekarang.” Luna tersenyum kecil, merasa canggung dengan pujian yang datang tiba-tiba. Bryan menoleh padanya sekilas, sorot matanya penuh keyakinan—seolah ingin mengatakan bahwa ia benar-benar percaya pada kemampuan istrinya, bahkan sebelum orang lain menyadarinya.
“Kebetulan, di sini sudah hadir banyak peserta lainnya.” ujar Tuan Exo dengan nada profesional. “kalau begitu, istri Anda harus segera masuk ke ruangan studio desain.” Ia kemudian memberi isyarat kepada manajer acara yang bertugas mengatur jalannya sesi tersebut. “Tolong antar Nyonya Bryan ke ruangan studio desain.”
Manajer itu mengangguk hormat, lalu melangkah mendekati Luna. “Mari Nyonya.” ucapnya sopan. Luna berdiri perlahan. Sebelum melangkah, ia menoleh ke arah Bryan. Tatapan mereka bertemu. ada ragu dan gugup di mata Luna. Bryan membalasnya dengan anggukan kecil dan senyum tipis, seolah berkata bahwa ia mampu melewati ini.
Dengan menarik napas pelan, Luna pun mengikuti manajer acara menuju sesi perlombaan, langkahnya perlahan menjauh dari Bryan. Sementara itu, Bryan tetap berdiri di tempatnya, menatap punggung istrinya hingga menghilang di balik pintu studio.
“Nyonya, silakan ke sebelah sini. Anda merupakan peserta terakhir yang akan mengikuti perlombaan,” ucap manajer acara itu dengan nada sopan dan profesional sambil menunjuk ke arah area yang telah disiapkan.
Luna melangkah perlahan mengikuti arah tangannya. Di hadapannya, deretan meja dan kursi tertata rapi, masing-masing dilengkapi perlengkapan menggambar yang lengkap. khusus disediakan bagi para peserta lomba. Ia menarik kursi yang ditunjukkan lalu duduk dengan hati-hati.
Namun begitu pandangannya berkeliling, Luna tertegun. Beberapa wajah yang dikenalnya dari berita, majalah fashion, hingga layar televisi tampak duduk tak jauh darinya, para desainer ternama yang selama ini hanya ia kagumi dari kejauhan. Jantung Luna berdegup lebih kencang. Rasa terkejut bercampur gugup menyelimutinya, membuat jemarinya sedikit menegang di atas meja.
Ia menelan ludah, lalu menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Di benaknya terlintas sosok Bryan, dengan tatapan penuh keyakinan yang tadi ia tinggalkan. Perlahan, Luna meluruskan punggungnya. Ia mungkin peserta terakhir… namun malam ini, ia bertekad untuk tidak menjadi yang terlupakan.
“Baik,” ucap manajer acara dengan suara tegas namun teratur, “perlombaan akan segera dimulai. Dalam hitungan ketiga, seluruh peserta wajib mulai mengerjakan desain masing-masing. Ketika waktu berakhir, semua harus berhenti. Waktu yang diberikan adalah tiga jam"
Ruangan mendadak menjadi sunyi. Seluruh peserta bersiap di hadapan meja mereka, tangan terangkat di atas kertas, tatapan fokus menunggu aba-aba.
“Tiga… dua… satu.”
Bunyi *timer* langsung menyala, menandai dimulainya perlombaan. Para peserta segera bergerak, pensil dan pena mulai menari di atas kertas, menciptakan garis-garis awal rancangan mereka. Suara gesekan alat gambar terdengar bersahutan, berpadu dengan detik jam yang terus berjalan.
Luna menarik napas dalam-dalam, lalu menunduk menatap kertas kosong di hadapannya. Sekilas rasa gugup kembali menghampiri, namun ia segera mengusirnya. Dengan jemari yang kini lebih mantap, ia mulai menarik garis pertama. perlahan, terukur, penuh keyakinan. 3 jam dan di ruangan itu, setiap garis yang tercipta menjadi penentu masa depan.
Di atas meja para desainer itu, berbagai perlengkapan berserakan dengan rapi ala mereka sendiri. Lembaran sketsa terhampar, ada yang masih kosong, ada juga yang penuh coretan desain pakaian. Pensil, spidol warna, dan pulpen diletakkan sembarangan di dekat tangan, seolah siap diraih kapan saja ide baru muncul.
Beberapa potongan kain dengan warna dan tekstur berbeda ditumpuk di salah satu sisi meja. Ada yang dilipat rapi, ada pula yang dibiarkan terbuka. Pita ukur melingkar di atasnya, sementara gunting dan penggaris tergeletak tak jauh dari buku catatan kecil yang dipenuhi tulisan singkat dan gambar kasar.