NovelToon NovelToon
Ayah Anakku, Ceo Amnesia

Ayah Anakku, Ceo Amnesia

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO Amnesia / Bertani / Romansa pedesaan
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: indah yuni rahayu

Lia, gadis desa Tanjung Sari, menemukan seorang pria pingsan di pematang sawah tanpa ingatan dan tanpa identitas. Ia menamainya Wijaya, dan memberi lelaki itu tempat pulang ketika dunia seolah menolaknya.

Tekanan desa memaksa mereka menikah. Dari pernikahan sederhana itu, tumbuh rasa yang tak pernah direncanakan—hingga Lia mengandung anak mereka.

Namun Wijaya bukan lelaki biasa.

Di kota, keluarga Kusuma masih mencari Krisna, pewaris perusahaan besar yang menghilang dalam kecelakaan misterius. Tanpa mereka sadari, pria yang dianggap telah mati kini hidup sebagai suami Lia—dan ayah dari anak yang belum lahir.

Saat ingatan perlahan mengancam kembali, Lia harus memilih: mempertahankan kebahagiaan yang ia bangun, atau merelakan suaminya kembali pada masa lalu yang bisa merenggut segalanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indah yuni rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ketika Tanah Tidak Lagi Diam

Desa Tanjung Sari tidak pernah seramai pagi itu.

Bukan oleh pasar dadakan, bukan oleh panen, melainkan oleh kemarahan yang tumbuh tanpa aba-aba. Sejak matahari naik setinggi tombak, orang-orang berkumpul di dekat petak timur. Ada yang membawa cangkul, ada yang hanya berdiri dengan tangan mengepal, ada pula yang datang karena takut—takut kehilangan, takut ketinggalan, takut diam.

Wijaya berdiri di antara mereka, tubuhnya tegang seperti tali yang ditarik terlalu kuat.

“Kalau kita diam saja, sawah ini benar-benar hilang,” ujar Parman lantang. “Hari ini dihentikan, besok dipagar!”

Beberapa orang mengangguk. Yang lain ragu.

“Ini urusan pemerintah,” sahut Tulus. “Kalau kita melawan, kita yang salah.”

Wijaya melangkah maju. Suaranya tidak keras, tapi cukup untuk membuat beberapa kepala menoleh.

“Kita bukan melawan. Kita menuntut kejelasan.”

“Dan kalau tidak diberi?” tanya seseorang.

Wijaya terdiam sejenak. Kata-kata yang tepat terasa berat di lidahnya. Ia memandang hamparan padi yang belum waktunya dipanen—padi yang ditanam dengan doa, bukan tanda tangan.

“Kita bertahan,” jawabnya akhirnya. “Karena kalau kita pergi sekarang, mereka akan menganggap desa ini kosong.”

Kalimat itu tidak heroik. Tapi cukup jujur untuk menyulut sesuatu.

Tak lama kemudian, dua mobil bak terbuka berhenti di tepi jalan tanah. Beberapa aparat turun, diikuti seorang pria berkemeja rapi—bukan seragam, bukan petani. Sepatunya bersih, terlalu bersih untuk tanah basah desa.

“Kita tidak bisa diam saja!” suara Parman meninggi. “Kalau kita turuti, besok-besok seluruh sawah bisa diambil!”

“Terus mau apa?” sahut Tulus. “Melawan? Kita ini siapa?”

Wijaya menatap tanah sebentar sebelum mengangkat kepala. Dadanya sesak, bukan karena takut, melainkan karena tanggung jawab yang tiba-tiba terasa terlalu besar.

“Kita minta penjelasan,” katanya akhirnya. “Bukan ribut. Tapi juga bukan tunduk.”

Beberapa orang mengangguk, yang lain ragu.

“Kamu enak ngomong,” sela seseorang. “Kamu bukan orang sini.”

Kalimat itu menghantam lebih keras dari dugaan Wijaya.

Ia menoleh perlahan. “Memang bukan,” jawabnya tenang. “Tapi aku bekerja di sawah yang sama. Aku kena dampaknya sama seperti kalian.”

Sunyi turun sejenak.

“Mohon warga tidak berkumpul di area ini,” kata petugas itu melalui pengeras suara kecil. “Ini demi ketertiban.”

“Ketertiban siapa?” teriak seseorang.

Pria itu tidak menjawab. Ia hanya memberi isyarat pada aparat.

Wijaya merasakan dadanya mengeras. Ia melangkah lebih dekat. “Kami hanya ingin kejelasan. Sawah ini milik kami.”

Pria berkemeja rapi itu menatap Wijaya—tatapan singkat, mengukur.

“Data kami menunjukkan lain.”

“Data tidak pernah menanam padi,” balas Wijaya, tanpa sadar suaranya meninggi.

Suasana memanas. Satu dorongan kecil berubah menjadi teriakan. Teriakan berubah menjadi desakan. Tanah yang basah membuat langkah tidak stabil. Seseorang terjatuh. Yang lain refleks menarik.

Wijaya mencoba menahan seorang bapak tua yang hampir di hantam balok kayu dari belakang. Di saat yang sama, satu batu kecil entah dari mana melayang, memecah udara, mengenai pelipis seseorang.

Teriakan menggulung. Orang mendorong orang, bahu saling berbenturan, kata-kata berubah menjadi bentakan.

Pandangan Wijaya menggelap sekejap. Dunia terasa berputar, seperti kilasan-kilasan yang pernah datang sebelumnya. Gedung tinggi. Lampu putih. Suara klakson.

“Mas Wijaya!” seseorang berteriak.

Ia mencoba bangkit, tapi kepalanya terasa berat, denyutnya menghantam dari dalam. Langkahnya oleng. Ia hanya sempat melihat Lia berlari dari kejauhan wajahnya pucat, mata membulat oleh panik sebelum semuanya runtuh.

Tubuh Wijaya ambruk di pematang sawah.

Kerumunan kembali bergerak. Teriakan yang tadi pecah, kini berubah bentuk.

“Lihat! Sampai orang jatuh korban!” “Beginikah yang kalian sebut pendataan?” “Kalau satu tumbang, kami semua berdiri!”

Orang berseragam mulai gugup. Kepala Desa berusaha menenangkan, suaranya parau. Perempuan-perempuan menangis. Pemuda-pemuda mengepalkan tangan.

Pecahnya konflik warga tidak lagi sekadar tentang tanah.

Ini tentang harga diri. Tentang ketakutan kehilangan hidup yang mereka bangun sedikit demi sedikit.

Lia berlutut di tanah, tangannya gemetar memegang bahu Wijaya. “Mas… Mas, dengar aku…”

Tidak ada jawaban.

Ibu Surti tiba tak lama kemudian, napasnya terengah. “Ya Allah…”

Beberapa warga membantu mengangkat Wijaya ke tempat teduh. Darah tipis terlihat di pelipisnya. Napasnya ada, tapi lemah.

Kerumunan tiba-tiba hening bukan karena sadar, tetapi karena ketakutan baru menggantikan amarah lama.

Beberapa orang mundur. Beberapa menatap tanah. Orang berseragam menoleh tak nyaman. “Kita bawa ke puskesmas!” seru seseorang.

“Naik apa? Motor nggak mungkin, jalannya masih becek!”

“Pak Riyanto punya pick–up! Panggil cepat!”

Tak lama kemudian suara mesin pick–up tua membelah keheningan. Catnya terkelupas, bak belakangnya basah, tapi saat itu kendaraan itu tampak seperti penyelamat. Dua lelaki naik ke bak lebih dulu, menggeser karung jerami agar Wijaya bisa direbahkan.

Lia naik ke bak belakang, memeluk tubuh Wijaya erat-erat. Tangannya menopang kepala suaminya agar tidak terbentur. Bajunya basah, rambutnya menempel di pipi, tetapi ia tidak peduli.

“Pegangan yang kuat, Bu,” kata sopir dari depan.

Pick–up bergerak, mengguncang-guncang melewati jalan berlubang. Setiap guncangan membuat Lia meringis, seolah rasa sakit ikut berpindah ke tubuhnya sendiri.

“Tolong bertahan,” bisiknya.

.

Di ujung desa, di dekat warung tua yang setengah tertutup, Natan menghentikan langkahnya.

Suara gaduh terbawa angin—teriakan, langkah berlarian, suara perempuan yang setengah menangis. Ia menoleh cepat, nalurinya bekerja sebelum pikirannya sempat menyusul.

“Ada apa?” tanyanya pada seorang anak kecil yang berlari melewatinya.

“Orang pingsan di sawah timur!” jawab anak itu tanpa berhenti.

Natan merapatkan jaketnya. Jantungnya berdegup tidak wajar, padahal namanya belum disebut, wajahnya belum terlihat. Tapi setiap kali mendengar kata “sawah timur”, tubuhnya otomatis tegang.

Pingsan?

Ia melangkah lebih cepat, namun berhenti sebelum belok ke jalan tanah menuju petak sawah. Ia tidak ingin terlalu menonjol. Belakangan ini, ia sudah cukup sering bertanya.

Dari kejauhan, ia hanya melihat kerumunan yang menggunung, kepala-kepala saling berhimpitan, suara orang berdebat dengan nada marah dan panik yang bercampur jadi satu.

“Siapa yang pingsan?” tanya Natan pada seorang lelaki yang baru saja menjauh dari kerumunan.

“Entah. Orang baru itu, katanya,” jawab lelaki itu singkat. “Yang kerja di sawah timur.”

Orang baru.

Kata itu membuat tengkuk Natan dingin sesaat—namun ia belum berani menyimpulkan.

Ia menahan diri untuk mendekat. Ia memilih berdiri agak jauh, di bawah pohon randu, memperhatikan semua pergerakan tanpa ikut campur.

Di antara kerumunan itu, sebuah tubuh diangkat tergesa ke atas bak pick–up. Natan hanya melihat sekilas siluet bahu lelaki itu dan rambutnya yang berantakan. Belum cukup untuk memastikan.

Namun rasa familiar itu datang, perlahan tapi menyakitkan—seperti luka lama disentuh kembali.

Natan mengepalkan tangan.

“Jangan-jangan…”

Kalimat itu menggantung di kepalanya.

Belum ada kepastian.

Tapi untuk pertama kalinya sejak ia tiba di Tanjung Sari, firasatnya terasa terlalu dekat untuk diabaikan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!