SMA Adhirana dikenal sebagai sekolah elit dengan reputasi sempurna — tapi di balik tembok megahnya, beredar satu rumor yang gak pernah dibahas secara terbuka: “Lantai Tujuh.”
Katanya, gedung utama sekolah itu cuma punya enam lantai. Tapi beberapa siswa bersumpah pernah menekan tombol “7” di lift... dan tiba di lantai yang tidak tercatat di denah mana pun.
Lantai itu selalu berubah-ubah. Kadang berupa ruang kelas kosong dengan bau darah, kadang koridor panjang penuh loker berkarat. Tapi yang pasti — siapa pun yang masuk ke lantai tujuh selalu kembali dengan ingatan yang terpotong, atau malah tidak kembali sama sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 — Naya, Saksi yang Lupa
Setelah konfrontasinya dengan Daren yang penuh teka-teki, Reina merasa semakin terisolasi. Setiap orang yang ia temui di sekolah ini menyimpan lapisan kebohongan, entah untuk melindungi reputasi sekolah, atau untuk melindungi kewarasan mereka sendiri. Naya adalah satu-satunya sekutu yang tersisa, meskipun Naya mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan mental yang mengkhawatirkan.
Zio masih berada di UKS. Meskipun fisiknya stabil, ia terus mengalami episode halusinasi, berulang kali berteriak meminta flash kamera dan meracau tentang "loker tahun 2019 yang tertawa."
Reina memutuskan untuk kembali ke sumber. Naya. Pengakuan Naya tentang kakaknya yang hilang, Clara Wijaya, adalah koneksi emosional terkuat yang ia miliki di sekolah ini, selain Aksa.
Sore itu, mereka duduk di sebuah bangku kayu di taman belakang sekolah, area yang jarang dilalui siswa. Hujan baru saja berhenti, meninggalkan bau tanah dan klorofil yang kuat.
“Naya, kamu harus ingat. Clara Wijaya, kakakmu. Apa yang dia katakan sebelum dia hilang? Detail sekecil apapun,” pinta Reina lembut.
Naya memeluk lututnya, menatap kosong ke lapangan basket yang basah. “Aku… aku nggak ingat. Aku cuma ingat dia bilang dia ingin lari dari ‘dosa’. Tapi aku nggak tahu dosa apa. Kami jarang ngobrol. Dia terlalu sempurna untukku.”
“Daren bilang Lantai Tujuh memakan rasa bersalah. Kalau Clara merasa bersalah, berarti dia punya rahasia besar,” gumam Reina.
Reina mengeluarkan ponselnya. Ia membuka foto yang ia screenshot dari arsip klaim asuransi Zio—daftar siswa yang hilang yang ditutupi oleh administrasi. Ia memperbesar foto profil Clara Wijaya. Wajahnya cantik, dengan senyum yang dipaksakan.
“Lihat Naya. Ini Clara. Kakakmu,” kata Reina, menyodorkan ponsel itu.
Naya menatap foto itu. Ekspresinya tidak menunjukkan rasa sedih, tapi kebingungan.
“Aku tahu dia kakakku. Tapi… kenapa aku merasa dia bukan kakakku?”
“Apa maksudmu?”
“Dia terlalu… bersih. Kak Clara yang aku ingat itu lebih dingin, lebih sering marah. Foto ini kayak… editan,” Naya memiringkan kepalanya.
Reina ingat. Di Lantai Tujuh, realitas berubah. Rasa bersalah bisa memproyeksikan ilusi. Apakah ingatan Naya tentang kakaknya juga telah dimanipulasi?
“Naya, apa kamu pernah melihat Clara di Gedung Lama?”
“Aku nggak pernah ke Gedung Lama. Aku penakut. Tapi… Ayah pernah melarangku ke sana. Ayah bilang, ‘Jangan pernah dekati lift itu, atau kamu akan jadi seperti Kakakmu’,” Naya bergidik.
“Ayahmu bekerja di bagian keamanan, dia tahu lebih banyak,” kata Reina. “Dia yang bantu Daren membersihkan jejak Aksa.”
Saat Reina mengucapkan kalimat itu, Naya tiba-tiba memegang dahinya.
“Aduh. Sakit,” Naya merintih. “Kepalaku pusing.”
“Kenapa?”
“Aku… aku nggak ingat kita ngomongin apa barusan.”
Reina menatap Naya dengan terkejut. “Kita lagi bahas Kak Clara. Kita bahas Ayahmu yang bekerja di keamanan.”
Naya mengerutkan dahi. “Oh. Iya. Ayahku kerja di… di mana ya? Ah, sudah lah. Intinya, aku nggak suka Gedung Lama.”
Naya kehilangan ingatan dalam waktu singkat. Hanya beberapa menit. Persis seperti fenomena disorientasi waktu yang dialami Reina di Lantai Tujuh, tapi ini terjadi di dunia nyata.
Reina merasa dingin. Daren bilang Lantai Tujuh memilih administrator. Aksa bilang lantai itu menukar jiwa.
Tapi yang lebih mengerikan, lantai itu sekarang mulai menjalar ke dunia nyata.
Ia tidak hanya memutar waktu, tapi juga menghapus ingatan yang menyentuh kebenaran.
Reina segera mengalihkan pembicaraan. “Naya, lupakan itu dulu. Kita fokus ke Klub Jurnalistik. Zio pasti punya arsip yang lebih rahasia daripada yang dia tunjukkan padaku.”
“Kenapa harus ke sana lagi? Ruang itu menyeramkan,” keluh Naya.
“Zio itu paranoid. Dia pasti punya hard drive tersembunyi. Tempat dia menyimpan rahasia terbesar sekolah, yang dia takutkan akan ia publikasikan,” kata Reina, mencoba meyakinkan Naya.
Saat Reina mengatakan itu, ia menyadari ia sedang mendeskripsikan dirinya sendiri. Dirinya, yang takut akan rahasia tentang Aksa.
Mereka bangkit, berjalan menuju gedung ekstrakurikuler.
Saat mereka melewati sudut Gedung Lama, tepat di dekat lift terlarang, Reina melihatnya.
Daren Kurniawan.
Daren sedang berdiri di depan lift, membelakangi mereka. Ia tidak menekan tombol. Ia hanya berdiri, memeluk loker di sebelahnya, memejamkan mata. Bahunya bergetar samar.
Reina menyuruh Naya berhenti.
“Kenapa dia di sana?” bisik Naya.
“Dia sedang menyerap rasa bersalah. Atau rasa bersalahnya sedang diserap,” gumam Reina.
Mereka melihat Daren perlahan merogoh saku seragamnya, mengeluarkan sesuatu. Itu adalah sebuah kotak kecil, seperti tempat cincin. Daren membukanya.
Di dalamnya, Reina melihat sehelai rambut tipis, berwarna pirang, tergulung rapi di atas kain beludru.
Daren menatap helai rambut itu, lalu berbisik, suara yang sangat pelan, tapi Reina bisa mendengarnya di keheningan koridor.
“Maafkan aku, Clara.”
Reina menahan napas. Clara. Kakak Naya.
Ternyata, rahasia terbesar Daren bukanlah membunuh kakaknya sendiri—itu adalah pengakuan untuk Aksa. Rahasia terbesarnya di dunia nyata adalah keterikatannya dengan Clara Wijaya, kakak Naya yang hilang.
Apakah Daren dan Clara punya hubungan? Apakah Clara adalah kurban yang Aksa maksud, yang membuat Daren merasa bersalah?
Tiba-tiba, Daren menghela napas panjang, memasukkan kotak itu kembali ke saku. Ia berbalik, dan melihat Reina dan Naya.
Ekspresi Daren berubah dari kesedihan mendalam menjadi peringatan yang dingin.
“Klub Jurnalistik ditutup,” kata Daren datar, melangkah ke arah mereka.
“Apa?” tanya Reina.
“Saya baru saja mendapat instruksi dari Kepala Sekolah. Klub Jurnalistik ditutup, efektif malam ini. Karena... insiden Zio,” kata Daren, menekankan kata ‘insiden’ dengan nada mencemooh. “Ruangannya akan disegel sebelum jam delapan malam.”
Daren menatap Naya, yang kini terlihat bingung dan sakit kepala lagi.
“Naya, kamu pulang. Kamu terlihat tidak sehat. Kamu tidak boleh mendekati Gedung Lama lagi.”
Reina mencengkeram lengan Naya. “Kami nggak akan ke mana-mana, Daren. Kami akan mengambil barang-barang Zio.”
Daren tersenyum kecil, senyum yang menjengkelkan. “Terlambat. Saya sudah menyuruh petugas untuk mengemas semua barang Zio. Kalian tidak perlu repot-repot.”
Reina menyadari, Daren sedang memutus semua jalan keluar. Rekaman sudah terhapus. Saksi (Naya) mulai kehilangan ingatan. Dan sekarang, arsip terakhir Zio akan disita.
“Aku nggak peduli. Kami harus lihat ruangannya,” kata Reina.
“Silakan. Tapi jika kamu melanggar segel, itu akan menjadi masalah disiplin yang serius. Dan kamu akan dikeluarkan, Reina. Sama seperti Aksa.”
Daren berjalan pergi, meninggalkan mereka dengan ancaman yang jelas.
Reina menatap Naya. “Kita harus masuk sebelum jam delapan. Zio pasti menyembunyikan sesuatu di sana.”
Naya mengangguk pelan, kepalanya masih berdenyut. “Aku… aku ikut. Aku mau tahu kenapa dia menyebut nama Kak Clara.”
Reina memegang tangan Naya. Ia tahu, mereka sedang berlomba melawan waktu dan ingatan yang menghilang.