Ketika Li Yun terbangun, ia mendapati dirinya berada di dunia kultivator timur — dunia penuh dewa, iblis, dan kekuatan tak terbayangkan.
Sayangnya, tidak seperti para tokoh transmigrasi lain, ia tidak memiliki sistem, tidak bisa berkultivasi, dan tidak punya akar spiritual.
Di dunia yang memuja kekuatan, ia hanyalah sampah tanpa masa depan.
Namun tanpa ia sadari, setiap langkah kecilnya, setiap goresan kuas, dan setiap masakannya…
menggetarkan langit, menundukkan para dewa, dan mengguncang seluruh alam semesta.
Dia berpikir dirinya lemah—
padahal seluruh dunia bergetar hanya karena napasnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Sinar matahari menembus dedaunan, menimpa seorang pria sederhana yang tengah berjongkok di antara hamparan kebun hijau yang luas.
Di atas kepalanya, topi jerami besar melindungi wajahnya dari terik matahari. Bajunya lusuh, tangannya berlumur tanah, dan di punggungnya tergantung keranjang penuh sayuran.
Li Yun perlahan mengusap keringat di dahinya.
“Hah… melelahkan sekali berkebun.”
Ia berdiri, menatap matahari yang tinggi di langit dan menarik napas panjang. Di hadapannya, sayur-mayur segar berjajar rapi: tomat merah menyala, kentang besar berkulit halus, bawang berkilau seperti mutiara, sawi hijau, selada segar, hingga cabai yang warnanya menyala seperti bara.
Li Yun memetik satu kol dan menatapnya dalam-dalam.
“Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi sayur-mayur di dunia ini sungguh aneh. Mereka tumbuh dan siap panen dengan cepat… terlalu cepat.” Ia menghela napas. “Ini membuatku lelah setiap kali harus memanen semuanya.”
Ia menatap kebunnya — sebidang lahan luas yang dulunya tandus, kini penuh kehidupan. Angin bertiup lembut, membawa aroma tanah yang segar. Tapi di balik keindahan itu, Li Yun justru mengernyit.
“Kalau tidak segera dipanen,” gumamnya, “besok mereka tiba-tiba membusuk… tapi anehnya, setelah kupanen, meski tidak disimpan di kulkas, mereka tetap segar berminggu-minggu…”
Ia menatap kol di tangannya lagi. “Apa ini semacam kutukan panen cepat atau bonus kerja keras, ya?”
Ia berjongkok kembali, mencabut satu akar ginseng dari tanah. Ginseng itu bersinar samar, urat-uratnya berkilau seperti urat emas.
Li Yun menatapnya lama, lalu tersenyum lelah.
“Sepertinya aku butuh asisten rumah tangga…” katanya sambil memandang langit biru yang cerah. “Apakah ada orang yang mau jadi pembantuku di dunia gila ini?”
Angin menjawab dengan sunyi.
Li Yun tertawa getir.
“Ha… sepertinya tidak mungkin.”
Ia lalu mengangkat beberapa keranjang penuh hasil panen, berjalan perlahan menuju gudang makanannya — sebuah bangunan kayu kecil di belakang rumah. Saat ia membuka pintunya, aroma segar langsung menyambutnya: tumpukan sayur, buah, dan rempah-rempah memenuhi ruangan.
Li Yun berdiri di tengah gudang, menggaruk kepalanya.
“Haa… panen terus, makan terus, tapi stok malah semakin banyak…”
Ia menatap tomat-tomat berkilau dan bawang-bawang sebesar kepalan tangan. “Apakah aku sebaiknya jadi pedagang rempah-rempah saja?”
Ia menghela napas panjang, lalu menepuk dadanya dengan santai.
“Sudahlah, nanti kupikirkan. Hari ini aku harus membuat sup kol!”
Sementara itu, di kota Qinghe…
Suasana kota dipenuhi aktivitas warga dan kultivator yng lewat. Udara hangat membawa aroma roti panggang dan dupa dari kuil-kuil kecil di sudut jalan.
Tiga sosok berjalan perlahan menuruni jalan utama: Mu Qinglan, Guru Bai Yuan, dan Tetua Meng Qi.
Keberadaan mereka membuat banyak orang menunduk hormat.
Para kultivator yang mengenali mereka bahkan menyingkir dari jalan dengan wajah segan. Tapi tiga orang itu tampak tak memperhatikan tatapan sekeliling. Mereka tengah menatap kota itu dengan ekspresi antara bingung dan kagum.
“Apakah kau yakin Senior Li tinggal di kota ini?” tanya Bai Yuan sambil menyapu pandangan ke arah keramaian.
Mu Qinglan mengangguk mantap. “Tentu saja, Guru. Aku bertemu beliau di hutan dekat sini. Kalau dugaanku benar, tempat tinggalnya tidak jauh dari kota Qinghe.”
Tetua Meng Qi menyipitkan mata. “Kota ini tampak biasa saja… tapi Qi spiritual di udara sangat bersih. Bahkan, aku merasa napasku lebih ringan sejak masuk gerbang kota.”
Mereka berjalan lebih jauh, melewati pasar kecil. Anak-anak berlarian sambil tertawa — tapi yang membuat ketiganya berhenti bukanlah tawa itu… melainkan benda-benda yang dibawa anak-anak itu.
“Guru… lihat,” bisik Mu Qinglan.
Anak-anak itu menggenggam patung kecil dari kayu, ukirannya halus, menyerupai Ultraman atau binatang. Tapi dari setiap patung itu, mengalir aura samar — lembut, nyaris tak terasa, namun memiliki gema Dao Surgawi yang sulit dijelaskan.
Bai Yuan dan Meng Qi saling berpandangan. Keringat dingin menetes di pelipis mereka.
“Ini… niat Dao…” gumam Bai Yuan.
“Bagaimana mungkin?” sambung Meng Qi. “Benda fana seperti itu tak seharusnya memancarkan Dao. Bahkan pedang surgawi pun jarang sehalus ini.”
Mereka berjalan lagi, kali ini menatap orang-orang dewasa yang duduk di pinggir jalan.
Beberapa wanita paruh baya tengah membaca buku dengan tenang. Namun dari setiap halaman yang terbuka, samar terlihat kilasan cahaya lembut — seolah tiap kata mengandung prinsip hukum alam.
“Guru, Tetua?” Mu Qinglan menatap dua orang tua itu bingung. “Ada apa? Kenapa kalian berkeringat?”
Bai Yuan menghela napas panjang. “Qinglan… apa kau tidak merasakannya? Setiap benda di kota ini—figurin, buku, bahkan udara—mengandung Dao yang murni. Ini seperti wilayah yang diberkahi surga.”
Mu Qinglan membulatkan mata. “Maksud Guru… semua ini berasal dari Senior Li?”
Tetua Meng Qi menelan ludah. “Mungkin… ini adalah berkah dari beliau. Semua yang kulihat di sini—setiap ukiran kayu, setiap kalimat—penuh dengan hukum alam yang tak tertandingi. Mustahil dijelaskan dengan logika manusia.”
Bai Yuan tersenyum getir. “Sekte kita seharusnya berterima kasih pada surga."
Ketiganya berdiri terpaku di tengah jalan, menatap sekitar dengan campuran hormat dan gentar.
Bagi mereka, kota Qinghe bukan lagi sekadar kota — tapi tanah suci yang dipijak oleh makhluk melampaui pengertian.
Mu Qinglan lalu berkata pelan, “Kalau begitu… bagaimana kalau kita bertanya langsung pada seseorang di sini?”
Bai Yuan mengangguk. “Baiklah, tapi berhati-hatilah dengan ucapanmu. Kita mungkin sedang berada di bawah pengawasan beliau.”
Mereka menghampiri seorang pria tua yang duduk di kursi bambu, tengah membaca buku dengan serius. Di pangkuannya, tertulis judul besar dengan huruf elegan:
“Perjalanan ke Barat – Karya Pengrajin Li.”
Mu Qinglan menunduk sopan. “Permisi, orang tua yang terhormat. Kami ingin bertanya… apakah Anda tahu di mana tempat tinggal seseorang bernama Li Yun?”
Pria tua itu mengangkat wajahnya, menatap mereka dengan senyum ramah.
“Oh, kalian mencari Pengrajin Li?”
Tiga orang itu langsung mengangguk cepat.
“Ya, benar!” jawab Mu Qinglan penuh semangat.
Pria tua itu tertawa pelan. “Kediamannya tidak jauh dari sini, Nak. Dari jalan ini, kalian lurus saja ke utara sampai ujung, lalu belok ke arah hutan kecil di pinggir kota. Di sanalah rumahnya — tempat ia menulis, memahat, dan… berkebun.”
“Terima kasih, orang tua yang baik.” Bai Yuan menunduk hormat. “Kami akan berhati-hati.”
Namun sebelum pergi, Bai Yuan tak bisa menahan rasa penasarannya. Ia menatap buku di tangan pria tua itu.
“Maaf, bolehkah saya bertanya? Apa yang Anda baca itu… semacam kitab rahasia? Saya merasakan aura Dao yang luar biasa dari lembarannya.”
Pria tua itu tertawa keras hingga bahunya berguncang.
“Kitab rahasia? Tidak, tidak. Ini hanya novel biasa! Pengrajin Li yang menulisnya. Judulnya Perjalanan ke Barat. Semua orang di kota ini membacanya, mulai dari anak-anak sampai orang tua. Katanya, bacaan ini bisa membuat hati tenteram.”
Ketiga orang itu membeku.
Novel…?
Bai Yuan dan Meng Qi saling berpandangan — wajah mereka sama-sama pucat.
Novel yang memancarkan niat Dao?
Figur kayu yang mengandung hukum alam?
Kota yang diberkahi spiritualitas tanpa formasi pelindung?
Tidak ada lagi yang perlu dijelaskan.
“Terima kasih banyak, orang tua,” kata Bai Yuan dengan suara bergetar.
Mereka segera berpamitan dengan hormat, hampir seperti murid yang baru saja mendapat wejangan dari kaisar abadi.
Begitu mereka menjauh, Tetua Meng Qi berbisik, “Guru Bai… kalau benar Pengrajin Li yang disebut orang tua itu adalah Senior Li yang dimaksud Mu Qinglan… maka beliau…”
“Bukan hanya ahli,” potong Bai Yuan dengan suara pelan namun tegas. “Beliau adalah… eksistensi yang bahkan para dewa pun tak layak menilai.”
Mu Qinglan menggigit bibirnya, menatap hutan di kejauhan yang disebut sebagai tempat tinggal Li Yun.
“Senior Li…” gumamnya pelan. “Apa kau benar-benar tahu seberapa besar dunia mulai berubah karena hal-hal kecil yang kau buat?”
Angin bertiup lembut, membawa suara anak-anak yang masih bermain dengan figure kayu buatan Li Yun. Di atas langit, awan tampak bergerak pelan… seolah turut tersenyum.
Dan di tengah semua itu, jauh di dalam hutan, seorang pria dengan topi jerami tengah bersin kecil di atas seikat kol.
“Hachoo! Siapa yang membicarakan aku, ya?”
Ia mengangkat bahunya, lalu kembali memetik tomat.
“Sudahlah, panen dulu. Keburu membusuk besok.”