NovelToon NovelToon
Istri Muda Paman

Istri Muda Paman

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Hasri Ani

Kecelakaan yang menimpa kedua orang tua Mala, membuat gadis itu menjadi rebutan para saudara yang ingin menjadi orang tua asuhnya. Apa lagi yang mereka incar selain harta Pak Subagja? Salah satunya Erina, saudara dari ayahnya yang akhirnya berhasil menjadi orang tua asuh gadis itu. Dibalik sikap lembutnya, Erina tentu punya rencana jahat untuk menguasai seluruh harta peninggalan orang tua Mala. Namun keputusannya untuk membawa Mala bersamanya adalah kesalahan besar. Dan pada akhirnya, ia sendiri yang kehilangan harta paling berharga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

AWWW.. SAAKIT OOM

Angin malam itu berembus pelan, mengibaskan tirai tipis yang menutup pintu geser menuju balkon atap. Dari ketinggian lantai dua, Tama berdiri di pagar pembatas balkon. Matanya menerawang jauh, sementara bulan separuh bersandar di langit, dikelilingi noktah-noktah bintang yang seolah sengaja menjaga jarak.

Tama bersandar pada pagar besi hitam, kedua siku menumpu, kepala mendongak ke atas dengan pikiran berkecamuk yang membuatnya resah.

Di udara yang sejuk itu, pikirannya justru panas. Ia mengepalkan tangannya, menahan emosi. Meskipun belum memergoki langsung Erina dengan laki-laki yang menjadi selingkuhan istrinya itu, namun dari foto dan video yang ditunjukkan Kemala saja sudah membuat darahnya mendidih.

Bukan semata-mata karena cemburu, namun karena harga dirinya sebagai laki-laki terinjak karena pengkhianatan itu.

"Aku bukan suami sempurna-ya Tuhan, aku bahkan tak bisa menahan godaan, Tapi aku berusaha keras untuk tetap setia meskipun sejujurnya aku tertarik pada Kemala." Tama meneguk ludah, mengingat betapa mudahnya situasi saat dirinya terpesona pada pandangan nakal yang mempelesetkan niat seorang pria. "Tapi aku selalu berusaha untuk tak pernah melewati batas. Tak sekalipun aku berniat menghianatinya. Dan sekarang, ternyata Erina malah mengkhianatiku. Entah sejak kapan, tapi aku tak bisa memaafkannya."

Kini rasa percaya itu runtuh, menyisakan lubang gelap di dada. "Erina..." gumamnya, lirih tetapi sarat luka. Kedua tangan mengepal, buku-buku jarinya memucat. "Kau tega membohongiku. Kau bersandiwara dengan begitu lihai hanya demi menutupi hubunganmu dengan selingkuhanmu, sementara aku-suamimu-kau campakan bagai sampah. Kau telah menodai pernikahan kita."

Suara langkah tertahan di balik pintu balkon membuatnya menoleh singkat; tak ada siapa-siapa. Hanya temaram ruang keluarga yang lampunya sudah dipadamkan, tirai masih bergoyang.

Ia mengembuskan napas berat. Tama menarik napas, lalu menengadah menantang bulan. "Bersenang-senanglah dulu, tapi nanti..." bisiknya, "aku akan balas semuanya. Aku akan menelan-jangi kebusukanmu, Rin. Bukan untukku-tapi untuk harga diriku... dan untuk Kemala."

Nama "Kemala" melesakkan rasa bersalah baru di dadanya. Gadis itu lugu, pendiam namun di sisi lain juga teguh. Di balik sikap diamnya, Kemala bukan gadis yang bisa diremehkan.

Mengingat percakapan di mobil tadi sore, ia meraih

Ponsel, membuka pesan yang tersimpan di notes:

Kemala membisikan sebuah rencana, sesuatu yang tidak Tama duga. Ia pikir Kemala akan membela tantenya, mengingat hubungan darah di antara mereka. Tapi ternyata, rasa kecewa itu membuat Kemala juga tidak segan untuk membalas sakit hatinya. Orang yang Kemala pikir tulus menyayanginya, nyatanya hanya datang untuk memanfaatkan.

"Rekam panggilan Tante Erina dan pria itu. butuh aplikasi perekam otomatis. Setelah itu pancing Tante Erina. Buat dia bersama selingkuhannya. Undang notaris dan dua saksi keluarga; siapkan dokumen pembatalan hak wali. Dengan begitu Tante Erina tidak bisa mendapatkan apapun dari harta peninggalan orang tuaku. Sewa investigasi privat-surveilans hotel, cctv restoran. Jika Tante Erina masih mengelak juga, maka viralkan saja. Dan selanjutnya terserah Om Tama, apakah masih ingin melanjutkan hubungan atau tidak?"

Begitulah rencana Kemala. Gadis itu sudah membulatkan tekat untuk membatalkan hak wali Erina padanya. "Maaf jika aku tidak bisa memberi apapun untuk Tante dan Om. Aku tak mau punya orang tua asuh yang munafik dan pembohong. Tapi jika suatu saat Om dan Tante Erina berpisah, mungkin Om Tama masih bisa jadi wali untukku. Yah, cuman agak ribet prosesnya karena kita tidak punya hubungan darah," tuturnya panjang lebar saat keduanya berada di perjalanan jalan pulang.

Bibir Tama membentuk garis keras. Gadis itu ternyata

Tidak bisa disepelekan. Dia sudah memikirkan langkah sedetail ini.

Dalam hati Tama membatin. "Kenapa harus jadi wali jika bisa memiliki hubungan yang lebih spesial?"

gumamnya tersenyum disela kepelikannya memikirkan cara balas dendam yang menyakitkan untuk Erina.

Jika Erina bisa selingkuh, kenapa aku tidak? Tak peduli jika usiaku dengan Kemala terpaut 12 tahun.

Mungkin dia lebih cocok dibilang adikku, tapi bukankah cinta tidak memandang umur?

Sementara itu, di kamarnya, Kemala memandangi langit-langit kamar yang gelap. Wajah Erina yang tertawa bersama Yudha masih terputar di kepalanya, lengkap dengan kilatan mata tantenya yang dulu ia hormati.

"Kenapa harus begini? Kenapa orang dewasa merusak hidup mereka sendiri?"

Ia menggeliat, duduk bersila di ranjang, lalu menepuk-nepuk pipinya pelan. Rasa kantuk sudah lenyap. Dari benaknya melintas bayangan Tama sendirian di lantai atas, sejak pulang mereka tak lagi bicara.

"Om pasti belum tidur." Kekhawatiran menuntunnya membuka pintu. Koridor rumah sunyi, hanya lampu malam redup di dekat tangga yang menyala.

Kemala melangkah, menaiki tangga menuju lantai atas. Udara luar membelai wajahnya saat ia mendorong daun pintu yang menghubungkan ruangan santai dengan teras balkon.

Benar saja-Tama bersandar di pagar, siluet bahunya tegang.

"Om..." panggilnya lembut.

Tama menoleh, sepasang mata sembap tapi kering.

"Kamu belum tidur?"

Kemala tersenyum tipis, melangkah mendekat sambil merapatkan cardigan ke tubuh. "Sama kayak Om. Susah tidur kalau pikiran masih riuh."

Tama memaksakan senyum, lalu menatap kembali lampu-lampu rumah lain. Keheningan memanjang sebelum akhirnya ia membuka suara, pelan namun teredam vibrasi marah: "Ternyata mudah sekali mempercayai seseorang bertahun-tahun. Bodoh sekali karena selama ini bisa terkecoh sikap manisnya."

Kemala berdiri di sampingnya, ikut memandangi horizon gelap. "Kadang, Om, kejujuran memang lebih menakutkan dari kebohongan. Tapi pada akhirnya... serapat apapun menyimpan bangkai, pasti akan tercium juga."

Tama mengangguk setuju. "Om memang bukan laki-laki baik, bahkan sama kamu saja Om tergoda. Mata ini kadang suka jelalatan." Tama menutup mata sejenak, mengulum senyumnya "Tapi Erina malah..."

Wajah Kemala berubah merona. "Manusiawi. Tergoda

Asal jangan melewati batas, Om," sela Kemala yang membuat Tama langsung menoleh dan tersenyum samar.

"Kamu nakal juga ya sekarang. Beda banget sama Kemala yang dulu," ucap Tama. Ia masih ingat saat 5 tahun lalu pertama kali dibawa Erina untuk diperkenalkan kepada keluarga kakaknya di daerah puncak. Disana Tama pertama kali bertemu dengan Kemala, gadis remaja yang cupu dan pemalu.

Kemala terkekeh sambil menutup wajahnya malu-malu. "Aku malu, Om. Jangan diledek terus ah. Gimana, aku baru sebulan lebih disini, sudah cocok jadi orang kota kan? Bukan cuman penampilan berubah, aku juga lebih percaya diri dong," ucapnya bangga.

"Hahaha... Lucu juga kamu. Om senang ada kamu, Mala. Kamu benar-benar menghibur. Setidaknya saat seperti ini, hati Om gak terlalu sakit," ujarnya seraya mengacak rambut gadis itu.

Kemala jadi salah tingkah. Namun obrolan hangat tercipta setelahnya. Kehadiran Kemala, membuat Tama terhibur.

Di tengah obrolan mereka, tiba-tiba Kemala mengeluarkan ponsel, menunjukkan foto-fotonya bersama teman-teman barunya di kampus. Obrolan mereka semakin mencair.

Mata Tama mulai menyala- kagum. Ia menyentuh bahu Kemala ringan. "Kamu cantik, Mala. Kamu juga cerdas, entah gimana kalau tadi gak ada kamu. Bawaannya

Emosi terus."

Kemala tersenyum. "Urusan kayak gini harus pakai otak, Om. Jangan pakai otot. Tante Erina orang yang licik. Itulah sebabnya mungkin ibu dari dulu tidak dekat sama tante. Tante pasti bakal melakukan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Dan Kita, nggak boleh kalah licik tadi dia," ujarnya.

Tama mangut mangut. Ia tersenyum bangga.

"Andaikan saja aku lebih dulu bertemu denganmu dari pada Erina. Andai Om lahir nggak lebih awal, mungkin aja kita..."

Tama sendiri merapatkan lengan, menahan udara malam. "Maafkan Om kalau... kalau pernah bikin kamu tak nyaman," katanya hampir tak terdengar.

Kemala sebenarnya sejak tadi mendengar gumaman pelan itu. Namun ia pura-pura sibuk dengan ponselnya. Antara malu, bingung sekaligus bahagia.

Kata-kata Tama seolah menunjukkan jika pria itu tertarik padanya. Namun disisi lain Kemala juga bingung, apakah jika ia dekat dengan Om nya di saat seperti ini, ia akan disebut pelakor?

Mereka kembali memandang malam. Bulan sudah condong ke barat, cahaya keperakannya membentuk siluet ganda di lantai balkon.

"Om," ujar Kemala, memecah hening. "Aku minta maaf atas kesalahan Tante."

Tama tersenyum. "Gak perlu minta maaf. Om mungkin akan sangat membencinya, namun bukan berarti Om bakal benci kamu. Om malah suka...," ucapnya diujung kalimat.

Kemala mengerutkan keningnya. Pura-pura budeg. "Hah, apa, Om?"

"Gak apa-apa. Udah malem. Sekarang tidur gih! Apa mau Om temani?" tanya pria itu seraya menaik turunkan alisnya.

Kemala tertawa kecil, wajahnya makin merona. "Ih, dasar! Yaudah aku balik ke kamar ya. Om juga lekas tidur. Jangan ngelamun di luar sendirian, nanti kesambet lho!" Kemala melangkah pergi, namun sebelum masuk, ia menoleh, memastikan Tama tidak lagi larut dalam perasaan rapuh karena patah hati.

Wajar memang, siapa yang tidak patah hati jika pasangan kita berkhianat? Namun, apakah salah jika Kemala ingin menjadi obat?

Saat pintu balkon menutup, Tama mengembuskan napas panjang. Ia tersenyum menatap ke atas sekali lagi, tapi kali ini cahaya bintang dan bulan itu terlihat menenangkan. Tidak seperti tadi yang nampak suram. Mungkin karena Kemala telah menghiburnya.

Seketika seringai itu muncul, menghiasi wajah tampannya. Tama tiba-tiba punya ide yang lebih gila untuk membalaskan dendam pada istrinya itu.

"Erina," gumamnya mantap, "bukan hanya hatiku

Yang kau hancurkan. Tapi malam ini... kau membuka pintu kehancuranmu sendiri. Kau akan merasakan sakit yang melebihi dari ini."

Udara pagi masih dingin ketika Kemala berkutat di dapur seorang diri. Cahaya matahari menyelinap malu-malu lewat celah tirai jendela.

Semalam, ia mendapatkan pesan dari Erina. Pesan yang Mala abaikan begitu saja.

[Mala, Tante gak pulang. Maaf ya. Tante ada urusan penting. Dan Om Tama juga lagi ke Bandung. Kalau kamu takut sendirian di rumah, nanti minta temanmu menginap saja ya. Kalau mau makan, pesan aja.]

Kemala tersenyum sinis. "Urusan penting apa?

Urusan sama pacarnya? Dasar pembohong!"

Dengan langkah ringan, ia menyalakan pemanas air, lalu mulai menakar bubuk kopi favorit Tama-kopi hitam dengan sedikit gula. Ia mengetahui itu karena sering melihat tantenya. karena tidak bisa memasak, Kemala berniat untuk membuat kopi dan roti bakar saja.

Tangannya sedikit gemetar saat menuangkan air panas ke dalam cangkir. Entah karena hawa dingin, atau karena pikirannya yang tidak bisa berhenti memikirkan peristiwa di balkon semalam.

Ia mengambil baki kecil, meletakkan cangkir di

atasnya. Senyum tipis mengembang di bibirnya. Setidaknya, ini bisa sedikit menghangatkan pagi Om Tama.

Namun langkahnya menuju ruang keluarga terlalu cepat. Tangan kirinya tak sepenuhnya stabil. Dan saat kakinya menyentuh sudut karpet, ia terpeleset sedikit-cukup membuat baki miring dan cangkir itu oleng.

"Aaaaakh!" teriaknya spontan saat cairan panas menyambar paha kanannya.

Cangkir pecah menghantam lantai. Kopi hitam tumpah tak bersisa. Tapi rasa perih yang menyambar kulit lebih menyakitkan dari apapun.

Kemala jatuh terduduk di lantai, tangisnya pecah seketika.

"Astaga! Kemala!?" teriak Tama dari lantai atas. Ia yang baru saja selesai mandi dan keluar kamar itu, dibuat terkejut dengan teriakan Kemala. Tubuhnya menyambar pegangan tangga dengan tergesa.

Begitu melihat ke dapur, matanya melebar. "Ya Tuhan, ada apa? Kamu kenapa?" serunya panik.

Kemala hanya bisa meringis, memegangi paha kanannya yang mulai memerah. Air mata membanjiri pipinya.

"Kopinya tumpah... panas, Om... perih banget...!" ucapnya tersengal, mencoba menahan sakit.

Tama segera menunduk, mengangkat cangkir pecah

Ke samping lalu meraih Kemala dengan kedua tangan.

Tama menggendong Kemala ala bridal style menuju sopa depan TV. Tatapan keduanya bertemu. Tama menatap wanita cantik yang wajahnya telah basah oleh air mata itu.

"Sini, duduk dulu. Om ambil kotak P3K, tunggu sebentar ya!"

Setelah membaringkan Kemala di sofa, ia berlari ke lemari obat, kembali dengan kotak berwarna putih.

Kemala kini duduk, lututnya gemetar, dan air mata belum berhenti.

Tama berlutut di hadapannya. "Maaf, Om buka celanamu sedikit ya... biar bisa kasih salep untuk luka bakar," katanya pelan, penuh hati-hati. Wajahnya serius, tak ada sedikitpun niat lain.

Kemala mengangguk kecil, masih terisak. "Iya... aahhh, perih banget, Om..."

"Aaaw, sakit, Om!" teriaknya lagi.

Tama menelan Saliva kuat-kuat. Teriakan dan kata-kata Kemala begitu ambigu, jika ada orang lain lewat depan rumahnya, pasti akan berpikir macam-macam.

Tama menarik sedikit bagian celana tidur gadis itu, dan terpampang kulit paha yang kini memerah, ada bagian yang tampak mulai melepuh kecil. Ia mengerutkan dahi, lalu membuka salep luka bakar dan mengoleskannya perlahan.

"Aduh, aduh, pelan-pelan, Om! Sakit banget. Huhuhu,

Perihh, Om...!!"

"Sabar ya, biar lukanya cepat sembuh. Kalau gak dikasih salep, malah bisa melepuh dan inspeksi."

Sentuhan jari-jari Tama yang hangat menyentuh kulit perih Kemala membuat gadis itu memejamkan mata, menahan rasa sakit. Nafasnya tercekat. Bukan hanya karena rasa panas yang perlahan berubah jadi dingin karena salep, tapi karena detak jantungnya yang tiba-tiba melonjak.

Degup itu... terlalu keras untuk diabaikan.

Tama pun terdiam. Tangannya sejenak membeku di atas kulit Kemala. Ia meniup dengan lembut. Tatapan matanya secara tak sadar bertemu dengan mata gadis itu.

Seketika, waktu terasa berhenti.

"Kamu... harus lebih hati-hati," ucap Tama pelan,

suaranya serak dan sek-si.

Kemala mengangguk pelan. "Maaf... aku cuma mau buatkan kopi untuk Om..." bisiknya lirih, hampir tak terdengar.

Tama menelan ludah. Pandangannya masih tertuju pada wajah Kemala yang kini basah oleh air mata dan keringat dingin. Tapi di sana, ada juga semburat emosi lain yang mulai ia pahami.

Rasa itu... rasa yang pernah berusaha mereka kubur dalam-dalam. Rasa yang tak seharusnya. Namun setelah kenyataan pahit menghantam yaitu perselingkuhan yang dilakukan oleh Erina, apakah perasaan itu boleh diungkapkan?

"Udah Om, cukup," ucap Kemala, wajahnya pias.

Tama berdiri, meletakkan kembali salep ke dalam

kotak P3K, lalu menutupnya dengan cepat.

"Aku buatkan lagi kopinya," ujar Kemala pelan,

mencoba berdiri meski masih limbung.

"Nggak usah," potong Tama cepat. Ia mendekat, lalu membantu menopang tubuh gadis itu. "Kamu istirahat dulu. Duduk di sofa aja. Biar Om yang beresin semuanya.

Kamu mau apa, Kopi, susu atau teh? Om aja ya yang buat."

"Susu saja Om. Maaf ya, malah jadi merepotkan."

"Gak repot kok. Om yang minta maaf. Gara-gara mau buatin kopi untuk Om, kamu harus mengalami ini. Kakinya direbahkan saja ya supaya gak kaku. Om buat kopi dan susu dulu."

Setelah memastikan Kemala duduk nyaman, Tama kembali ke dapur. Ia bereskan pecahan cangkir, mengepel kopi yang tercecer, dan merapikan semuanya sebelum akhirnya membuat Kembali kopi, susu dan roti bakar untuk mereka sarapan.

Denyut di dadanya itu tak bisa ia abaikan. Aroma manis gadis itu, sorot mata yang tadi sempat bertemu... membuat tembok pertahanannya goyah.

Di sofa, Kemala terdiam. Pandangannya kosong menatap televisi yang belum dinyalakan. Tapi jantungnya masih berdetak seperti genderang perang.

Apakah ini cinta, atau hanya obsesi...? Tapi aku tak bisa menyangkal, setiap kali Om Tama menatapku dengan mata teduhnya itu, aku merasa... bahagia.

Rasa ini tak seharusnya tumbuh, bisik batinnya.

Tapi... mengapa terasa begitu hangat?

"Om Tama... Kau benar-benar menggoda. Bagaimana bisa pria tampan, baik, perhatian dan cool seperti ini diselingkuhi?"

HAYOOO NUNGGUIN APAA PASTI KALIAN NUNGGUIN ADEGAN AW AW YAA HIHIHI..

1
Towa_sama
Wah, cerita ini seru banget, bikin ketagihan!
✨HUEVITOSDEITACHI✨🍳
Ngakak banget!
im_soHaPpy
Datang ke platform ini cuma buat satu cerita, tapi ternyata ketemu harta karun!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!