Setelah berhasil kabur dari Ayah angkatnya, Iyuna Marge memutuskan untuk bersekolah di sekolah elite school of all things Dengan Bantuan Pak kepala yayasan. Ia dengan sengaja mengatur nilainya menjadi 50 lalu mendapat kelas F. Di kelas F ia berusaha untuk tidak terlihat mencolok, ia bertemu dengan Eid dan mencoba untuk memerasnya. Begitu juga beberapa siswa lainnya yang memiliki masa lalu kelam
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggara The Blukutuk³, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Reza Cardwel
Setelah Eid dan Sherin menjalankan perintah Iyuna dengan teliti, menempelkan kertas-kertas itu di setiap sudut strategis sekolah.
"A-a-apa ini?" Ucap Reza Cardwel, jari-jarinya gemetar saat menyentuh poster di tembok. Ia adalah seorang lelaki dari kelas 10E. Ia memiliki badan yang besar seperti preman, otot-otot lengannya menyembul di balik seragam yang tampak terlalu kecil untuk tubuhnya. Sehingga ia dianggap sebagai diktator di kelasnya, membuat siswa lain menundukkan kepala saat berpapasan dengannya di koridor.
"I-ini-ini, ini fitnah!" Teriak Reza Cardwel yang gelisah menatap poster tentang dirinya yang dulunya ternyata korban bully, mata berkilat-kilat penuh kemarahan, vena di lehernya menonjol membentuk garis-garis biru yang kentara.
Orang-orang di sekitarnya bergosip, berbisik-bisik sembari mencuri pandang, kepala mereka berkerumun dengan jarak yang aman. "Wah, kekar-kekar gitu ternyata dia di bully yah," ucap seorang siswa, tangan menutupi mulut, matanya menyipit penuh keingintahuan.
"Iya tuh, apaan yang diktator, dia cuman manfaatin wakil kelas E aja," bisik yang lain, suaranya tertahan namun cukup keras untuk didengar. Begitulah gosip mereka terdengar samar, bergema di koridor yang kini penuh tatapan ingin tahu.
"Tch," Reza hanya berdecak, giginya bergemeretak menahan amarah, jemarinya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih.
Sang wakil kelas 10E yang bernama Alta Atler melangkah mendekat dengan langkah tegas. Seorang gadis dengan rambut pendek coklat dipotong choppy sebatas rahang. Lapisan acak membingkai wajahnya dengan kesan tegas. Poni tak simetris menambah aura tomboy yang cuek. Gaya praktis, cerminan jiwa yang sedikit memberontak. Memegang pundak Reza dengan sentuhan hati-hati namun mantap, "Jangan dengarkan mereka," ucapnya, menenangkan Reza, matanya menatap lurus ke mata Reza yang berkabut amarah.
"Aku.... Aku akan menemukan siapa yang menyebarkan ini!" Ucapnya, amarah menguasainya, napasnya memburu seperti banteng yang siap menyeruduk, dadanya naik turun dengan tempo cepat.
Kembali ke kelas 10F. Pelajaran telah berlangsung, suara pensilnya terdengar menggores kertas. Seperti biasa, Iyuna menatap keluar jendela dengan ekspresi datar, jemari lentiknya menopang dagu, sesekali menguap dengan anggun, matanya setengah terpejam seolah pelajaran adalah lullaby yang membosankan.
Eid sesekali melirik Iyuna karena penasaran apa yang akan dilakukan oleh Iyuna, kepalanya berputar sedikit demi sedikit, matanya mencuri-curi pandang dari balik buku teksnya, sedangkan siswa lainnya termasuk Sherin tengah fokus pelajaran karena menyambut ujian pertahanan, jari-jemari mereka bergerak cepat mencatat setiap detail yang diberikan guru.
Setelah bel istirahat pertama berbunyi, dentumannya bergema di seluruh koridor, Kelas 10E sibuk diluar menginterogasi 1 per 1 siswa, tubuh-tubuh mereka bergerak gelisah, mata mereka menyisir setiap sudut mencari petunjuk. Sedangkan kelas 10F saat ini berada di kelas untuk mendiskusikan tentang grup belajar, kursi-kursi berderit saat diputar menghadap ke depan, membentuk lingkaran diskusi yang intim.
"Jadi-jadi, bagaimana dengan grup belajar itu?" Tanya Lucy semangat, tangannya melambai-lambai di udara untuk menarik perhatian, matanya berbinar penuh antusiasme.
"Iya tuh, gimana? Aku juga nggak mau dikeluarkan dari sekolah ini!" Ucap seorang gadis berambut hitam pendek, namanya Anya Amagiri, jemarinya meremas-remas ujung seragamnya dengan gerakan gelisah.
Sementara siswa lain juga menanyakan hal yang sama berulang, suara mereka tumpang tindih memenuhi ruangan, "Tenang tenang," ucap Sherin cool, berusaha menenangkan suasana, telapak tangannya bergerak turun naik seperti menekan udara, ia saat ini berdiri di depan papan tulis, kakinya menapak di lantai keramik yang berkilau.
Iyuna hanya menatap dari bangkunya sembari meminum sekaleng soda di mulutnya seperti biasa, tenggorokannya bergerak-gerak saat meneguk minumannya, jemarinya mengetuk-ngetuk meja dengan irama teratur. Sesekali ia menatap keluar jendela, matanya menerawang jauh ke lapangan yang dipenuhi siswa berlalu-lalang.
"Baiklah, pertama tama, kita harus menentukan akan belajar dimana?" Ucap Sherin, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk dagu dengan gerakan berpikir.
Fyona mengangkat tangannya tinggi-tinggi, jari-jarinya terentang seperti menggapai langit-langit kelas, "Bagaimana kalau kantin?" Tanyanya, alisnya terangkat penuh harap.
Sherin berpikir sejenak, keningnya berkerut samar, ia hanya mengangguk, kepalanya bergerak turun naik perlahan. Namun, gadis pendek berambut kuncir 2 hitam bernama Calista menjawab, tubuhnya condong ke depan dari bangkunya, "Jangan, kalau disana pasti tidak akan serius karena ada banyak hal yang bisa mengganggu," ucapnya, tangannya bergerak-gerak menggambarkan keramaian.
Sherin mengangguk, kepalanya bergerak, "Benar juga". "Yang lain?" Tanyanya, matanya menyapu seisi ruangan, mencari ide lain.
Lucy mengangkat tangannya dengan semangat, lengannya terayun ke atas dengan cepat hingga hampir menyentuh siswa di sampingnya, "Bagaimana dengan perpustakaan? Kita bisa mereservasinya juga loh! Jadi, hanya ada kita saja disana, tidak akan ada yang mengganggu," usulnya, bibirnya melengkung membentuk senyuman lebar.
Sherin menepuk tangannya, suara tepukannya bergema di ruangan, "Sempurna, itu mungkin bagus, apa kalian setuju?".
Hampir semua orang di dalam mengangkat tangannya setuju, lengan-lengan terangkat ke udara seperti hutan tangan, selain satu orang... Benar, Iyuna tidak mendengarkan apa yang dibicarakan Sherin, ia hanya fokus melihat keluar jendela sembari meminum sekaleng soda, bibir tipisnya menempel di pinggiran kaleng aluminium yang berembun.
"Iyunaaa? Apa kau tidak setuju?" Panggil Sherin, melambaikan tangannya ke Iyuna, jari-jarinya bergerak seperti kipas.
Iyuna sontak kaget, tubuhnya tersentak kecil, "Eh? Iya, aku setuju," sembari mengangkat tangannya dengan gerakan canggung, lengannya terangkat setengah hati.
Sherin menepuk tangannya antusias, telapaknya bertemu dengan suara yang riang, "Baiklah, sekarang kita pilih orang yang paling cerdas diantara kita sebagai pembimbing," ucapnya, matanya berkilat penuh semangat.
"Aku tunjuk Iyuna Marge!" Ucap Sherin, menunjuk ke arah Iyuna dengan jari telunjuk yang terarah tepat, lengannya terentang penuh keyakinan.
Iyuna yang menyadari itu, mata melebar kaget, "Bffrrrfff..." Air soda muncrat dari mulutnya seperti semprotan kecil, membasahi meja di depannya. "Ha?" responnya heran, alis terangkat tinggi, matanya mengerjap cepat.
"Apa? Ucapkan sekali lagi?" Ucap Iyuna heran, namun tetap datar, jari telunjuknya mengorek telinga seolah tidak yakin dengan apa yang didengarnya.
"Etto, anu, aku ingin kau menjadi pembimbing! Iyuna!" Ucap Sherin gugup, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja dengan irama gugup.
"Tidak tidak tidak, Eid jauh lebih cerdas dariku," elak Iyuna, menunjuk ke arah Eid dengan gerakan cepat, lengannya terentang lurus mengarah pada pemuda itu.
Seluruh perhatian tertuju pada Eid sekarang, kepala-kepala berputar serempak, "Hah?" Respon Eid, matanya melebar seperti rusa yang tertangkap lampu mobil.
"Aku pernah melihat Eid memecahkan rumus integral dan eural hanya menggunakan 2 langkah dan dalam waktu 30 detik!" elak Iyuna, tangannya bergerak-gerak di udara menggambarkan kecepatan, yah, dia berbohong sih.
Eid menoleh ke Iyuna dengan gerakan patah-patah, keningnya berkerut dalam, "Tu-tunggu, apa?" Ucapnya, suaranya tercekat di tenggorokan.
“wah, aku tidak tau kalau Eid sepintar itu”, Gumam gadis lainnya disana.
Sherin hanya menatap mereka dengan ekspresi bingung, kepalanya sedikit miring seperti anak anjing yang kebingungan, "Baiklah, kalau begitu Eid West saja!"
"Seharusnya kita butuh lebih dari 1 sih. Tapi itu akan kita tentukan nanti yah..." Sambungnya, jarinya mengetuk-ngetuk papan tulis, meninggalkan jejak-jejak putih dari kapur.
"Baik," ucap semua siswa serentak, suara mereka bergabung menjadi paduan suara yang kompak.
Setelahnya, Iyuna berjalan pulang ke sebuah gang, langkahnya ringan namun mantap di atas aspal yang kasar. Ia mengeluarkan sebuah kertas dari saku roknya dengan gerakan halus dan menulis di dinding dengan tangan yang gesit, jemarinya menari di atas permukaan kertas.
Suara langkah kaki terdengar samar di dinding, menggema di gang sempit yang sunyi, "Oh, jadi kau yang menulisnya yah?" Ucapnya, siluet pria tinggi menghampiri Iyuna, bayangannya memanjang di tanah, menutupi Iyuna seperti selimut gelap.
Iyuna membuat gesture kaget, tubuhnya tersentak, bahunya menegang, "Heh?" Suaranya rendah namun melengking seolah panik, jantungnya berdegup kencang di balik rusuknya.
Pria tinggi itu adalah Reza, ia lalu mendorong Iyuna ke dinding dengan satu gerakan kasar, telapak tangannya mendarat keras di bahu Iyuna, "Kyaahhh!" Teriak Iyuna, punggungnya membentur dinding bata dengan bunyi gedebuk yang nyaring.
Reza mendekatkan wajahnya, napasnya terasa panas di pipi Iyuna, "Mengapa kau menyebarkan kertas itu, hah!?" Tanya Reza membentak, giginya bergemeretak menahan amarah.
Ia kemudian membelai rambut Iyuna dengan gerakan yang terlalu kasar, jari-jarinya menyisir helaian rambut Iyuna seperti sisir yang rusak, dan menaikkan dengkulnya ke selangkangan Iyuna hingga tubuh Iyuna terangkat, kedua kakinya tidak lagi menyentuh tanah, "Dilihat-lihat, kau cantik. Apa kau sibuk malam ini?" Tanyanya, nadanya mengancam, seringai tipis menghiasi bibirnya.
"Nnghh~" Erang Iyuna kesakitan, tubuhnya menggeliat mencoba melepaskan diri, napasnya tertahan. Ia hanya diam ketakutan, matanya bergerak-gerak liar mencari jalan keluar.
"Duarr," Reza memukul tembok sangat keras, tangannya menghantam permukaan bata hingga debu-debu halus beterbangan, "Jawab!" Bentaknya, suaranya menggema di gang sempit itu.
"Bagus, itu saja cukup," gumam Iyuna datar, mata berkilat dingin, bibirnya melengkung tipis.
Iyuna lalu memegang dengkul Reza dengan tangan kirinya dan menurunkannya perlahan, jari-jarinya mencengkeram kuat lutut lelaki itu. Saat Reza lengah dengan dengkulnya, perhatiannya teralih sesaat, ia menggerakkan tangan kanannya dengan cepat ke bawah hingga tangan Reza terlepas, memutar pergelangan tangannya dengan teknik presisi.
Iyuna melompat dengan gerakan menyamping yang gesit, tubuhnya melayang di udara sesaat, lalu menendang kepala Reza dari samping dengan ayunan kaki yang kuat dan tepat hingga terjatuh, sol sepatunya beradu dengan tulang pipi Reza. "Arkhh," rintihnya saat terjatuh, tubuhnya terhempas ke tanah, tangannya refleks menopang tubuh.
"Kau!" Ucapnya marah, matanya melotot, darah mengalir tipis dari sudut bibirnya yang robek.
Iyuna hanya merespon datar, wajahnya tanpa ekspresi seperti boneka porselen, ia lalu menunjukkan layar ponselnya yang menunjukkan rekaman suara, jempolnya mengusap layar untuk mengaktifkan fitur itu. Ia menekan tombol play dengan gerakan pasti, "Dilihat-lihat, kau cantik. Apa kau sibuk malam ini?" — "Nnghh~" Terdengar suara dari ponsel Iyuna, bergema di gang yang sunyi.
Reza bangkit dengan gerakan cepat, otot-otot kakinya menegang, lalu menyambar ponsel Iyuna dengan tangan yang gemetar karena amarah, namun Iyuna dengan cepat memasukkan ponselnya kembali ke saku roknya dengan gerakan mulus. Lalu menjotos perut Reza, tinjunya mendarat tepat di solar pleksus dengan kekuatan yang mengejutkan untuk ukuran tubuhnya. "Kau ingin menghapus rekaman itu? Itu sia-sia, aku sudah meng-backup otomatis rekamannya," ucap Iyuna dengan nada mengancam, matanya menatap dingin tanpa berkedip.
Iyuna mengangkat ponselnya lagi, jari-jarinya dengan cekatan menggeser layar, menunjukkan sebuah foto. Mata Reza terbuka lebar, pupilnya mengecil karena syok, ia kemudian menjadi marah, wajahnya memerah hingga ke telinga. Benar, Iyuna memperlihatkan foto saat Reza di bully, gambar yang memalukan dari masa lalunya, ia mendapatkannya dari data Reza di sekolah.
"Kauuu!" Reza lalu menyambar kerah Iyuna dengan gerakan brutal, jari-jarinya mencengkeram kain seragam dengan kuat, namun Iyuna lagi-lagi menghindarinya dengan gerakan elegan, tubuhnya berputar seperti penari balet menghindari sentuhan.
"Kau mau apa? Sudah kubilang itu sia-sia," ancam Iyuna, suaranya rendah dan mengintimidasi, matanya tidak berkedip menatap Reza.
"Patuhi aku untuk kedepannya, atau kusebar voice note dan foto ini," ucap Iyuna, matanya menatap Reza dengan tatapan dingin, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk layar ponsel dengan irama mengancam.
Membuat Reza membeku di tempatnya, tubuhnya kaku seperti patung, ia hanya tertunduk, bahunya merosot, "Hahahahaha!" Reza tertawa dengan keras, tawanya bergema di dinding-dinding gang, kepalanya terlempar ke belakang.
"Aku tidak menyangka gadis kecil sepertimu ternyata iblis yang lebih kejam dariku," ucap Reza, menggeleng-gelengkan kepalanya, tawa pahit masih tersisa di bibirnya yang berdarah.
"Baiklah, asal kau tidak menyebarkannya," ancam Reza, jari telunjuknya teracung ke wajah Iyuna.
"Bagus, ini sudah cukup untuk sekarang," monolog Iyuna, bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis penuh kemenangan, jemarinya memasukkan ponsel kembali ke saku dengan gerakan mulus.