High School Iyuna
"Ting nong²" — suara lonceng sekolah bergema nyaring, menggetarkan tiap jengkal koridor panjang yang tadinya diliputi ketenangan pagi. Gema dentingnya memantul di antara dinding-dinding putih sekolah, menandai dimulainya hari baru yang penuh harapan dan juga kegelisahan.
Hari ini adalah hari penerimaan siswa baru. Di sepanjang lorong-lorong, suara langkah kaki bercampur bisik-bisik antusias terdengar dari berbagai arah. Para guru berdiri di depan kelas masing-masing, menyambut para siswa dengan senyum ramah. Petugas OSIS lalu-lalang, membagikan selebaran dan mengarahkan siswa yang tampak kebingungan.
Elite School All Things — sebuah sekolah bergengsi yang terletak di kota Surabaya (fiksi) — bukan hanya dikenal di dalam negeri, tapi juga menarik perhatian calon siswa dari luar negeri. Keunggulan sistem pendidikannya, kemegahan fasilitasnya, dan reputasi para alumninya menjadikannya magnet bagi banyak anak muda berbakat yang ingin meniti masa depan gemilang.
Di antara kerumunan wajah baru yang bersemangat, seorang gadis berjalan pelan menyusuri koridor utama. Langkahnya tenang, tidak tergesa, seolah tidak tergoyahkan oleh suasana ramai di sekelilingnya. Sepatu hitamnya menginjak lantai marmer dengan ritme lambat namun pasti, menciptakan suara ketukan halus yang nyaris tak terdengar di tengah keramaian. Ia mengenakan seragam rapi, dasi terikat dengan presisi, rok jatuh sempurna di atas lututnya.
Gadis itu adalah Iyuna. Ia melangkah menyusuri lorong dengan kepala sedikit tertunduk, membiarkan helaian rambut hitam panjangnya tergerai bebas di punggung. Rambutnya bergerak lembut mengikuti gerakan tubuhnya, menari di udara seperti bayangan yang tak bisa dilepaskan. Wajahnya cantik, namun dingin — dengan tatapan kosong namun tajam, seperti mata yang telah melihat terlalu banyak dalam waktu yang terlalu singkat.
Ia terus melangkah, tangannya sesekali merapikan kerah bajunya yang tertiup angin dari jendela koridor. Saat berpapasan dengan sekelompok siswa lain, ia hanya menoleh sekilas, kemudian kembali menatap lurus ke depan. Ia tidak menyapa, tidak tersenyum. Diam.
Dari balik pikirannya yang sunyi, kenangan pahit masa kecilnya sesekali muncul, menggerus ketenangan batinnya. Sejak kecil, Iyuna sudah berpisah dari kedua orang tuanya. Mereka menjualnya karena tak mampu lagi menghidupi dirinya. Ia dijual kepada seorang pria asing, yang kemudian menjadi kepala yayasan sekolah dasar tempat ia mengenyam pendidikan — dan juga tempat penderitaannya dimulai. Siksaan, kekerasan, dan tekanan psikologis menjadi makanan hariannya, membentuk dinding kokoh yang kini melingkupi jiwanya.
Selama masa SD hingga SMP, Iyuna belajar untuk bertahan, memendam semua luka dalam diam. Ia mengunci dirinya dalam keheningan, tak pernah mengeluh, tak pernah memberontak secara terang-terangan. Tapi di dalam hatinya, keinginan untuk bebas terus tumbuh. Dan akhirnya, ia kabur. Ia mencari tempat di mana ia bisa bernapas tanpa ketakutan.
Kini, ia berada di bawah asuhan kepala yayasan Elite School All Things — seorang wanita yang ternyata merupakan bawahan dari ayah angkatnya yang kejam. Meskipun hubungan itu mengkhawatirkannya, namun untuk pertama kalinya, Iyuna merasa seperti memiliki harapan baru, secercah cahaya di ujung lorong yang panjang dan gelap.
Langkahnya perlahan terhenti ketika ia tiba di depan ruang kelas bertanda “F”. Ia mendesah pelan, menarik napas panjang dan dalam, lalu menghembuskannya perlahan seolah ingin mengusir keraguan. Ia menggenggam pegangan pintu kelas, mendorongnya dengan ringan hingga terbuka. Pintu bergeser perlahan, mengeluarkan bunyi seret halus.
Matanya menyapu seluruh ruangan. Siswa-siswa lain sudah duduk di tempat masing-masing, sibuk berbicara, tertawa, dan saling mengenal satu sama lain. Suasana ramai, namun tidak gaduh. Beberapa siswa melirik ke arahnya, namun segera mengalihkan pandangan mereka saat melihat ekspresi datar yang menghiasi wajah Iyuna.
Ia melangkah masuk, menyeret langkahnya pelan-pelan ke bangku kosong di dekat jendela. Tangannya memindahkan tas dari bahu dan meletakkannya di atas meja, sedikit menghempaskannya tanpa tenaga. Ia lalu menarik kursi dengan gerakan hati-hati, duduk perlahan, dan menyesuaikan posisi duduknya. Satu kakinya bersilang, dan tangannya terlipat di pangkuan. Pandangannya langsung terarah ke luar jendela.
Langit tampak biru cerah, dihiasi gumpalan awan putih yang bergerak perlahan. Iyuna memandangi langit dengan tatapan kosong, membiarkan pikirannya melayang jauh. Ia memutar-mutar ujung rambutnya secara refleks, lalu menghentikannya. Suara-suara di sekelilingnya seakan menjadi gema yang jauh, tak mampu menyentuh dinding batinnya.
Tiba-tiba, langkah kaki ringan terdengar mendekatinya dari samping. Seorang gadis dengan rambut coklat sebahu berjalan ke arahnya dengan penuh semangat, senyum cerah menghiasi wajahnya.
"Ha-hai! Namaku Fyona. Kau?" ucap gadis itu riang.
Iyuna hanya menoleh sedikit, tak beranjak dari posisinya. Ia tetap menatap keluar jendela, hanya menggerakkan bibirnya pelan, "Iyuna, Iyuna Marge," jawabnya datar, suaranya tenang seperti air yang mengalir.
Fyona tersenyum makin lebar, "Salam kenal yah," ucapnya sambil melambaikan tangan. Ia lalu menoleh cepat ke belakang saat seseorang memanggilnya. "Ya?" balasnya, sambil melangkah menjauh.
Iyuna sempat menatapnya sekilas, mengamati gerak-gerik cerianya. Ia menyipitkan mata sedikit, lalu mengalihkan pandangannya ke arah sebelah. Di sana, seorang anak laki-laki menatapnya dari jauh, dengan tatapan yang tampak ragu dan penasaran.
"ada apa?" tanya Iyuna, memiringkan kepalanya ringan ke kanan, alisnya naik sedikit seolah menantang.
"E-eh, ng-ngga ada!" jawab anak laki-laki itu cepat-cepat. Ia menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal, lalu memalingkan wajah sambil menunduk. Pipinya memerah.
Iyuna hanya menatapnya beberapa detik, lalu menghela napas kecil, menoleh kembali ke arah jendela. Ia menumpangkan dagunya ke tangannya yang bersandar di meja, membiarkan pikirannya kembali hanyut dalam lamunan.
Tak lama, suara pintu kelas terbuka dan seorang wanita dewasa masuk. Rheina-Sensei, guru wali kelas mereka, berdiri di depan kelas dengan senyum ramah dan clipboard di tangan. Ia mengatur suara kelas, memanggil siswa satu per satu untuk memperkenalkan diri.
Ketika giliran Iyuna tiba, Rheina-Sensei menunjuk ke arahnya dengan pulpen, "kamu! Sekarang giliranmu."
Iyuna bangkit perlahan dari kursinya. Gerakannya anggun, meski terlihat berat. Ia berdiri tegak, membenarkan posisi rok seragamnya dengan tangan kiri, lalu berkata dengan suara datar namun tegas, "Namaku Iyuna Marge."
Ia lalu duduk kembali dengan tenang, merapikan posisi duduknya dan kembali menyilangkan kaki.
Beberapa siswa tampak heran dengan perkenalan yang singkat itu. Salah satu siswa laki-laki di belakang bergumam dengan kening berkerut, "gitu doang?"
Bu Rheina terdiam sejenak, matanya menatap Iyuna dengan ekspresi canggung, lalu berdeham, "Ba-baiklah, Ekhm," katanya, mencoba mengalihkan suasana.
"Untuk hari ini, kelas hanya diisi dengan perkenalan. Begitu juga beberapa hari ke depan! Jadi, sudah untuk hari ini yah," lanjut Bu Rheina, menyilangkan jarinya di depan dada sambil tersenyum lebar ke seluruh kelas.
"Baikk!" seru siswa-siswa lainnya, penuh semangat, membalas dengan suara kompak dan sorakan kecil.
Iyuna hanya mengamati semuanya dari tempat duduknya, tubuhnya tetap diam, namun mata tajamnya merekam semuanya — dalam diam, ia memulai kisahnya di tempat baru ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments