Sebuah dusun tua di Sumatra Barat menyimpan kutukan lama: Palasik, makhluk mengerikan berupa kepala tanpa tubuh dengan usus menjuntai, yang hanya muncul di malam hari untuk menyerap darah bayi dan memakan janin dalam kandungan. Kutukan ini ternyata bukan hanya legenda, dan seseorang harus menyelami masa lalu berdarah keluarganya untuk menghentikan siklus teror yang telah berumur ratusan tahun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 Surau Tua di Balik Bukit
Pagi merekah pelan di Kampuang Binuang. Kabut mulai mengangkat dari perbukitan, dan embun masih menempel di rerumputan saat keempat sahabat itu berjalan menyusuri jalan setapak menuju bukit kecil di ujung kampung.
“Surau ini katanya sudah lama tak dipakai. Dulu tempat orang bertapa,” kata Bahri sambil menunjuk bangunan kecil beratap rumbia yang nyaris tertutup semak.
“Tempat bertapa atau tempat menyimpan rahasia kelam?” gumam Reno.
Ucup mendekat, tangannya membawa kantong berisi kacang dan garam. “Tolong ya, jangan sebut-sebut ‘kelam’ terlalu sering. Nanti suasana langsung horor.”
Ajo menepuk bahunya. “Kau bawa kacang terus, Cup. Jangan-jangan kau ini bukan pejuang anti Palasik, tapi calon pedagang warung.”
“Kalau hidup selamat, kenapa tidak?” balas Ucup.
Mereka tiba di depan surau tua. Pintu kayunya retak dan sebagian jendelanya tertutup kain putih usang. Suasana di sekitarnya sunyi. Tak ada suara burung, tak ada hembusan angin.
Bahri menunduk dan menyentuh tanah di depan pintu. “Tanah ini... pernah jadi tempat ritual. Lihat, sisa lingkaran garam masih membekas.”
“Berarti benar, di sinilah penyegelan Palasik dulu dilakukan?” tanya Ajo.
“Ya. Tapi gagal. Karena seseorang dari dalam kampung justru membuka segelnya dari dalam. Pengkhianatan.”
Ucup menelan ludah. “Pengkhianatan itu... berarti orang dalam kampung juga ada yang terlibat?”
“Bisa jadi. Mungkin keturunannya masih hidup sekarang.”
Mereka masuk ke dalam surau. Ruangan itu sempit dan lembap. Di dindingnya tergantung potongan naskah tua yang sudah menguning. Di sudut ruangan, ada tungku kecil dari batu dengan abu yang tampaknya tak disentuh bertahun-tahun.
Bahri membaca salah satu naskah. “Ini doa pengurung jiwa. Tapi ada satu bagian yang disobek.”
Reno mendekat. “Yang sobek itu... bagian penutup segelnya?”
Bahri mengangguk. “Ya. Tanpa penutup, Palasik bisa lolos meski sudah dikurung.”
Ucup memicingkan mata ke pojok ruangan. “Eh, itu ada ukiran aneh. Kayak... simbol ular melingkar tapi kepalanya tiga.”
Bahri langsung menoleh. “Itu simbol Tri-Wano, kekuatan gaib penggabung waktu, darah, dan suara. Artinya penyegelan di sini memang menyangkut lebih dari sekadar roh jahat. Tapi ikatan lintas zaman.”
“Lintas zaman? Jadi Palasik ini... bisa meloncat waktu karena ritual ini?” tanya Ajo.
“Bisa jadi. Itulah kenapa kita terpental ke masa lalu. Kita harus tutup portalnya dari tempat ini.”
Tiba-tiba terdengar langkah kaki di luar. Reno mengintip dari celah jendela. Seorang perempuan paruh baya berdiri membawa nampan.
“Siapa itu?” tanya Ucup.
“Warga kampung. Mungkin datang untuk...”
Perempuan itu membuka pintu perlahan. “Maaf, saya bawa minuman panas. Kalian pasti lelah.”
Bahri tersenyum ramah. “Terima kasih, Buk...”
“Saya Yuniar. Cucu Mak Tundun.”
Wajah Bahri berubah. “Mak Tundun punya cucu?”
“Dulu tinggal di Padang. Baru pulang setelah dengar kampung kacau. Saya mau bantu sebisanya.”
Mereka menerima minuman itu. Tapi Ucup diam-diam menuangkan sedikit ke tanah. Reaksi aneh terjadi—tanah tempat cairan jatuh berubah hitam.
“Eh, minumannya... ada yang janggal,” bisik Ucup.
Bahri mengangguk pelan. “Dia bukan cucu Mak Tundun.”
Yuniar tersenyum. Tapi senyum itu dingin. Ia menutup pintu dan berdiri di tengah ruangan. Lalu dari tubuhnya keluar asap hitam pekat.
“Jadi... kalian yang coba menutup portal?” suaranya berubah berat. “Sayang sekali. Aku penjaga darah dari masa lalu. Kalian bukan lawanku.”
Reno melompat mundur. “Palasik?! Atau... keturunannya?”
Asap itu membentuk kepala besar, melayang, dan tubuh Yuniar jatuh tak sadarkan diri.
“Bentuk pertahanan terakhir!” teriak Bahri. “Baca doa! Lempar garam dan kacang!”
Ucup langsung menghambur ke arah tungku batu, membakar daun sirih dan menyebarkan asapnya. Ajo dan Reno menahan kepala itu dengan senjata mereka. Bahri membaca bagian doa yang masih tersisa, lalu menggambar lingkaran segel di lantai.
Kepala hitam itu menjerit, lalu terhisap masuk ke dalam lingkaran. Tubuh Yuniar gemetar dan matanya terbuka perlahan.
“Apa... yang terjadi?” bisiknya lemah.
Bahri menghela napas. “Sementara aman. Tapi ini baru permulaan. Kita harus temukan bagian doa yang hilang itu... sebelum portal benar-benar terbuka.”
Ucup menjatuhkan diri ke lantai. “Kalau ketemu yang nyobek doa ini, tolong... suruh dia nulis ulang tiga rangkap dan laminating sekalian.”
Mereka tertawa lelah. Tapi bahaya belum usai.
Hari sudah merangkak siang ketika mereka kembali ke kampung. Langit tampak cerah, namun suasana di Kampuang Binuang masih penuh kecemasan. Beberapa warga mengintip dari celah-celah jendela, wajah-wajah mereka penuh tanya, penuh harap.
“Menurutmu, Yuniar benar-benar tak tahu apa yang merasukinya tadi malam?” tanya Reno sambil menyeka keringat.
“Dia tidak sadar. Tapi kemungkinan dia memang memiliki ikatan darah dengan penjaga lama Palasik,” jawab Bahri.
Ucup berjalan sambil menenteng kantong kacang yang mulai menipis. “Kalau begini terus, stok kacangku habis sebelum kita tamat.”
Ajo menoleh sambil cengar-cengir. “Ya udah, nanti kita cari ladang kacang. Biar bisa panen langsung.”
Mereka menuju rumah Mak Tundun. Di sana, perempuan tua itu duduk di tikar, dikelilingi beberapa ibu kampung yang menjaganya. Yuniar terbaring lemah di sisi lain ruangan.
“Mak Tundun,” sapa Bahri pelan. “Kami butuh tahu lebih banyak tentang doa pengurung itu. Lembaran yang hilang.”
Mak Tundun membuka matanya. Pandangannya sudah lebih tenang daripada kemarin.
“Ada satu tempat... yang belum kalian datangi. Rumah lama datuk Kampuang. Dulu di sanalah semua tulisan asli disimpan. Di balik dinding bambunya, ada lemari tua. Tapi tempat itu... sudah lama dikunci.”
“Kunci masih ada?” tanya Reno.
“Tidak. Tapi konon, pintu itu hanya terbuka saat malam purnama.”
Ucup langsung terduduk. “Apa?! Jadi kita harus nunggu purnama? Emangnya ini kuis malam Jumat?”
Ajo menepuk bahunya. “Tenang. Kita bisa manfaatin waktu buat nyusun strategi.”
Malam harinya, mereka mengunjungi rumah tua itu. Bangunannya berdiri di tepi sungai kecil, dinaungi pohon asam yang besar dan berusia ratusan tahun. Dinding bambunya sudah menghitam, dan pintunya dililit dengan ijuk.
Bahri menempelkan telapak tangan ke pintu. “Ini pintu mantra. Butuh lebih dari kunci fisik.”
Reno membuka buku catatan kecil. “Kalau waktu ritual dulu gagal, bisa jadi karena pintu ini juga dijaga oleh entitas.”
Ucup mengangkat senter dan mengarahkannya ke atas pintu. Ada tulisan tua di sana, nyaris pudar.
“‘Siapa yang membuka tanpa hati bersih, akan dibawa masuk tanpa kembali.’ Waduh...”
“Tapi kita niatnya menyelamatkan, bukan mencuri,” kata Ajo.
Bahri mengambil sejumput garam dan mengusapkannya ke sela-sela pintu. Lalu ia menggambar simbol kecil di tanah depan pintu dengan pisau kecil.
“Ini segel pemurnian. Kita duduk melingkar. Fokuskan pikiran.”
Mereka pun duduk. Ucup sempat curi-curi membuka mata. “Bahri... kalau pas kita meditasi, tiba-tiba pintunya kebuka dan keluar kepala terbang, kita gimana?”
“Paling enggak, kita sudah dalam formasi defensif,” jawab Bahri.
Sinar bulan mulai menyusup dari sela dedaunan. Perlahan, lilitan ijuk di pintu mulai terbuka sendiri. Bunyi ‘krak... krak...’ mengisi udara.
“Dia terbuka...” bisik Reno.
Mereka berdiri dan membuka pintu pelan. Di dalam, ruangan itu gelap dan lembap, dipenuhi debu dan sarang laba-laba. Di sudut ruangan, tampak lemari kayu tua.
Bahri berjalan lebih dulu. Ia membuka lemari itu, dan di dalamnya, tersusun gulungan daun lontar dan beberapa naskah lusuh.
“Ada ini!” serunya. “Doa pengurung lengkap... dan simbol segel tambahan!”
Reno menyorotkan senter. Di balik naskah itu, terdapat sketsa—simbol besar yang tampak seperti gabungan dari matahari, ular, dan wajah manusia setengah tengkorak.
“Inilah kunci utama penyegelan. Tapi ini... bukan sekadar mantra. Butuh pengorbanan.”
Mereka saling pandang.
“Pengorbanan apa?” tanya Ucup waspada.
Bahri membaca pelan tulisan di bawah sketsa. “‘Yang ingin menutup gerbang, harus rela menyerahkan satu kenangan yang paling dicintai.’”
Ajo mengerutkan dahi. “Apa maksudnya?”
“Entah. Tapi jelas, ini bukan ritual biasa. Kita harus siap menghadapi konsekuensinya.”
Ucup menarik napas dalam. “Kalau itu harga yang harus dibayar... ya sudah. Yang penting jangan suruh aku serahkan kacang ini. Soalnya ini kenanganku sama dunia nyata.”
Tawa kecil pecah di antara mereka. Tapi dalam hati, mereka tahu: jalan di depan akan makin berat.
biar nggak tegang kali ya... kan bahaya...😂😂
semangat Thor... semoga sukse...