NovelToon NovelToon
Gelora Berbahaya Pria Simpanan

Gelora Berbahaya Pria Simpanan

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Cinta Terlarang / Suami Tak Berguna
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Rizky Rahm

Laura tidak pernah membayangkan pernikahannya akan terasa seperti penjara. Nicholas, suaminya, selalu sibuk, dingin, dan jauh. Di tengah sunyi yang menusuk, Laura mengambil keputusan nekat-menyewa lelaki bayaran untuk sekadar merasa dicintai.Max hadir seperti mimpi. Tampan, penuh perhatian, dan tahu cara membuatnya merasa hidup kembali. Tapi di balik senyum memikat dan sentuhannya yang membakar, Max menyimpan sesuatu yang tidak pernah Laura duga.Rahasia yang bisa menghancurkan segalanya.Ketika hasrat berubah menjadi keterikatan, dan cinta dibalut bahaya, Laura dihadapkan pada pilihan: tetap bertahan dalam kebohongan atau hancur oleh kebenaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky Rahm, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Makan Siang

Hampir satu jam lamanya, yang dilakukan Laura di rumahnya hanyalah menatap jam dinding yang terus berputar.

Detik demi detik berlalu, jarum jam bergerak tanpa henti, seakan mengejeknya.

Jantungnya berdebar—dan ia membenci kenyataan bahwa ia tahu alasannya.

Bukan karena ia gugup akan makan siang itu. Bukan karena ia takut Max akan mengatakan sesuatu yang tidak ingin ia dengar.

Tapi karena ia sadar, di dalam dirinya yang terdalam, ia menantikan pertemuan itu.

Laura menghela napas panjang. Ini bodoh. Ia tidak seharusnya begini. Ia hanya ingin mengalihkan pikiran dari Nicholas, dari rumah yang semakin terasa hampa, dari luka yang terus menganga meskipun sudah berulang kali ia coba abaikan.

Namun, bukankah ini justru semakin buruk?

Karena kali ini, ia sadar kehadiran Max memberi pengaruh padanya.

"Tidak, ini tidak seharusnya terjadi." Laura mengambil ponselnya, menggigit bibirnya, menatap layar ponsel dengan perasaan bimbang.

Ia ingin membatalkan janji itu. Ia harus membatalkannya.

Jari-jarinya melayang di atas nama Max di daftar panggilan terakhirnya, lalu dengan sedikit ragu, ia akhirnya menekan tombol panggil.

Nada pertama berdering. Tidak ada jawaban.

Nada kedua—

Klik.

Laura tersentak saat pintu kamarnya terbuka.

Nicholas.

Refleks, tangannya langsung melempar ponselnya ke atas ranjang, seolah benda itu adalah barang terlarang. Ia bahkan tidak sempat melihat apakah panggilannya telah terjawab atau belum. Ia hanya berharap… tidak.

Dadanya berdebar keras saat ia mendongak, berhadapan dengan suaminya yang berdiri di ambang pintu.

Mata Nicholas menyapu dirinya sekilas, lalu beralih ke ponsel yang tergeletak di atas kasur.

Kecurigaan tersirat di matanya.

“Kamu terlihat gugup,” katanya, suaranya tenang, tapi dingin. “Ada yang salah?”

Laura cepat-cepat menggeleng, berusaha menenangkan ekspresinya. “Tidak. Aku hanya… terkejut.”

Nicholas tidak langsung menjawab. Tatapannya masih mengamati setiap gestur kecilnya.

“Kamu pulang?” suara Laura terdengar sedikit lebih lemah dari yang ia harapkan. “Kenapa tidak memberitahuku?”

Nicholas menarik napas pendek. “Perlu?”

Satu kata. Datar. Tanpa emosi.

Dan itu cukup untuk membuat Laura merasa lebih bersalah daripada sebelumnya.

Laura meremas tangannya, berusaha mengendalikan kegelisahannya. Ia melirik ponselnya di atas kasur, berharap panggilannya tadi tidak terjawab. Jika Max sempat mendengar sesuatu…

Ia menelan ludah, mencoba memancing percakapan agar suasana tidak terlalu mencekam. “Dokumenmu tinggal?” tanyanya, pura-pura santai.

Nicholas tidak langsung menjawab.

Alih-alih, pria itu mulai membuka kancing kemejanya satu per satu, lalu menariknya dari tubuhnya yang tegap.

Baru saat itu Laura menyadari sesuatu. Nicholas masih mengenakan pakaian yang sama seperti kemarin.

Perasaan aneh menggelitik dada Laura, membuatnya gelisah dengan cara yang berbeda dari sebelumnya. Namun ia segera menepisnya dan kembali melirik ponselnya, berharap panggilannya tidak tersambung.

Atau lebih tepatnya… berharap Max tidak akan menelepon balik.

Nicholas baru saja hendak mengambil kemeja dari lemari ketika tatapannya menangkap sesuatu—Laura, yang sejak tadi terus melirik ponselnya.

Gerak-geriknya gelisah. Jemarinya bahkan sedikit gemetar saat meremas ujung kausnya.

Nicholas mengerutkan kening.

"Ada apa dengan ponsel itu?" tanyanya dingin.

Laura tersentak. Matanya membesar seketika.

Belum sempat ia menyusun alasan, Nicholas sudah mengulurkan tangan, bermaksud mengambil ponselnya yang tergeletak di kasur.

Panik menyergap Laura lebih cepat dari akalnya.

Tanpa berpikir, ia melangkah maju dan—

Memeluk Nicholas dari belakang.

Jemarinya mencengkeram erat tubuh pria itu, wajahnya menempel di punggungnya yang kokoh.

"Nick..." suaranya nyaris bergetar, tapi ia berusaha menetralkannya. Laura memejamkan mata erat-erat, lalu berbisik, "Aku ingin punya anak."

Nicholas terdiam sejenak. Tubuhnya tetap tegap, tetapi ada ketegangan yang tampak jelas dari rahangnya yang mengeras.

Perlahan, ia meraih jemari Laura yang melingkar di perutnya, satu per satu melepaskannya tanpa terburu-buru.

Begitu ia berbalik, tatapannya tajam, menusuk.

"Omong kosong apa ini?" suaranya dingin, hampir terdengar menghina.

Laura menelan ludah. Ia sendiri tidak tahu kenapa mulutnya tiba-tiba mengeluarkan keinginan itu, sesuatu yang tidak pernah benar-benar ia inginkan sebelumnya. Tetapi sekarang, ia justru merasa ngotot.

Mungkin karena ingin mengalihkan fokus Nicholas. Mungkin karena ingin memastikan dirinya masih memiliki kendali dalam percakapan ini.

"Kurasa kita harus memikirkannya, Nick," katanya dengan suara lebih mantap dari yang ia harapkan.

Nicholas tertawa kecil, tetapi tidak ada kehangatan di dalamnya, membuat Laura merasa semakin kecil.

“Kamu benar-benar lucu, Laura.” Tatapannya dingin, penuh cemooh. “Anak? Kamu bahkan tidak bisa mengurus dirimu sendiri, bagaimana kamu mau mengurus anak?”

Laura mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, tetapi tetap berdiri di tempatnya.

Nicholas mendekatkan wajahnya, masih dengan senyum mengejek dan setiap kata yang keluar justru terasa lebih menusuk.

“Kamu tidak bisa bangun pagi tanpa keluhan. Kamu tidak bisa menghabiskan harimu tanpa mencari pelarian. Kamu bahkan tidak bisa mempertahankan fokusmu saat berbicara denganku.” Tatapannya melirik sekilas ke arah ponsel yang tadi sempat dicurigainya.

Dada Laura terasa sesak. “Nick—”

“Jangan panggil namaku dengan suara seperti itu.” Nicholas memotong, mendekatkan wajahnya ke arah Laura hingga ia bisa merasakan napas pria itu di kulitnya. “Jika kamu berpikir anak bisa menyelamatkan apa pun di antara kita, kamu salah besar. Jangan pernah berpikir menjebakku dengan cara semurah itu.”

Laura terhenyak. Ia ingin menyangkal, ingin mengatakan bahwa itu bukan maksudnya, tetapi suaranya seakan tercekat di tenggorokannya.

Lalu, tiba-tiba, ponselnya bergetar di atas kasur.

Nicholas melirik ke arahnya. Ekspresi wajahnya menegang.

Ia kembali menatap Laura dengan tajam. “Siapa?”

Laura meraih ponselnya dengan cepat, berharap Nicholas tidak sempat melihat nama yang tertera di layar. Ia menggigit bibir, berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih kacau setelah konfrontasi tadi.

"Bukan siapa-siapa," katanya singkat, lalu berbalik menuju pintu.

Nicholas tidak mengatakan apa-apa, tapi Laura bisa merasakan tatapan tajam pria itu menusuk punggungnya. Ia tidak peduli. Saat ini, yang ia inginkan hanyalah keluar dari kamar itu secepat mungkin sebelum lebih banyak kata-kata menyakitkan keluar dari mulut Nicholas.

Begitu pintu tertutup di belakangnya, Laura bersandar di dinding lorong dan menghela napas panjang. Ponselnya masih bergetar dalam genggamannya.

Seila.

Laura menatap nama sahabatnya di layar, tetapi tidak berusaha mengangkatnya. Ia tahu Seila pasti akan langsung menyadari ada sesuatu yang salah. Dan saat ini, Laura tidak ingin menjelaskan apa pun.

Panggilan itu berakhir, lalu tak lama muncul notifikasi pesan.

“Laura? Kenapa tidak dijawab? Kamu baik-baik saja?”

Laura mengetuk layar, menimbang apakah ia harus membalas atau tidak. Tapi akhirnya, ia mengunci ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku.

Ia tidak baik-baik saja. Tapi untuk saat ini, ia tidak ingin membicarakannya.

Tidak berapa lama, langkah berat terdengar mendekat. Laura menegang ketika melihat Nicholas muncul di ambang pintu. Pria itu sudah rapi dengan setelan abu-abu yang dipadukan dengan dasi hitam. Wangi parfum khasnya menguar, mengisi ruangan dengan aroma maskulin yang dingin dan tajam.

"Aku ada rapat keluar kota," ucapnya tanpa basa-basi.

Laura diam, menunggu apakah pria itu akan mengatakan sesuatu yang lebih baik kali ini. Tapi harapannya hancur saat Nicholas menambahkan dengan nada sarkastik,

"Jangan berulah saat aku tidak ada. Aku tidak ingin mendengar laporan sampah saat kembali."

Laura mengepalkan tangan, menahan diri agar tidak membalas. Matanya menatap lurus ke arahnya, tapi Nicholas hanya memberikan tatapan datar sebelum melangkah pergi.

Saat suara pintu depan tertutup, Laura menyadari betapa dadanya terasa sesak. Ia menelan ludah, mencoba mengabaikan rasa sakit yang menusuk di hatinya.

Seharusnya ia sudah terbiasa dengan sikap Nicholas. Tapi entah kenapa, setiap kata-kata pria itu masih mampu menghancurkan dirinya sedikit demi sedikit.

Laura merasakan getaran ponselnya lagi. Matanya melirik layar. Pesan dari Max.

"Aku akan datang menjemputmu."

Jantungnya berdetak lebih cepat. Tanpa berpikir panjang, Laura segera bergegas ke kamar mandi untuk bersiap. Namun, baru beberapa langkah, kakinya mendadak berhenti.

Pikirannya melayang ke ponselnya yang masih tergenggam. Ia menatap layar, dan jemarinya buru-buru memeriksa log panggilan sebelumnya.

Napasnya tertahan.

Panggilan itu tersambung selama dua menit.

Tubuhnya membeku.

Apa saja yang didengar Max?

Pikiran Laura kacau. Dua menit. Itu bukan waktu yang sebentar. Apa Max mendengar semuanya? Suara dingin Nicholas? Kata-kata kasarnya? Atau… bagian ketika Laura tiba-tiba mengatakan ingin punya anak?

Tiba-tiba layar ponselnya menyala lagi. Panggilan masuk dari Max.

Laura menggigit bibirnya, tangannya sedikit gemetar saat hendak menekan tombol hijau. Namun, sebelum ia sempat memutuskan, notifikasi lain muncul. Pesan dari Max.

"Kamu masih mau makan siang denganku?"

Laura menelan ludah. Tidak ada tanda-tanda bahwa Max marah atau menyindir. Tapi bukankah itu justru lebih menakutkan?

Tangannya mengepal. Ia harus bersikap biasa saja. Seolah tidak ada yang terjadi.

Dengan cepat, Laura membalas pesan itu.

"Tentu."

Tidak sampai lima detik kemudian, balasan Max muncul.

"Bagus. Aku sudah di depan rumahmu."

Jantung Laura mencelos. Sejak kapan?!

Laura buru-buru menghampiri jendela dan mengintip ke luar. Dan benar saja, sebuah mobil hitam terparkir di depan rumahnya.

Tangannya kembali mengetik cepat.

"Aku belum siap. Aku belum berdandan."

Hanya butuh beberapa detik bagi Max untuk membalas.

"Dan? Aku tidak ingat meminta kau berdandan untukku."

Laura mendengus, tapi sudut bibirnya terangkat tanpa sadar. Ia mengetik lagi.

"Aku butuh waktu."

Lalu, balasan Max datang dengan cepat.

"Aku bisa menunggumu selamanya. Tapi itu akan jadi masalah besar, bukan?"

Laura tertegun. Hatinya mencelos, entah kenapa.

Ia menggigit bibirnya, lalu tanpa membalas lagi, ia segera berlari ke kamar mandi. Sial. Kenapa dia selalu tahu cara membuatku kehilangan kata-kata?

Selesai berdandan, Laura buru-buru turun ke bawah. Dia berhenti. Ia perlu menenangkan dirinya.

Tarik napas. Buang napas. Ini hanya makan siang.

Ia melangkah menuju pintu, tangannya ragu-ragu sebelum akhirnya membukanya.

Max berdiri di sana, bersandar santai dengan satu tangan di saku celananya. Ia mengenakan kemeja hitam dengan lengan yang digulung hingga siku, rambutnya sedikit berantakan dengan cara yang tampak terlalu sempurna.

Senyumnya muncul begitu melihat Laura. "Siap?"

Laura menelan ludah. Ia merasa harus mengatakan sesuatu—apa pun—untuk mengembalikan kendali atas situasi ini.

Namun sebelum ia bisa membuka mulut, Max sudah lebih dulu bersuara.

"Atau… kamu berubah pikiran, Lau?" Mata gelapnya menyipit, ekspresinya seperti seseorang yang tahu jawabannya sebelum pertanyaan itu diajukan.

Laura tahu ia seharusnya mengatakan ‘Ya, aku berubah pikiran.’

Tapi entah kenapa, kata itu tidak keluar.

Sebaliknya, ia mendengar dirinya sendiri berkata, "Ayo pergi."

Dan dari kilatan di mata Max, Laura sadar ia baru saja membuat kesalahan yang lebih besar daripada sekadar mengundangnya makan siang.

1
lyani
bang iky...vote nya k lau aja y ....elara ngga usah?
lyani
semoga max tak jauh beda dengan Nic.
apakah seila narik uang sepengetahuan Nic?
lyani
korban lagi... kalian mgkn senasib
lyani
nahhhh betul
lyani
paman Robert bukan si yg nyuruh
lyani
pasti
lyani
nahhhh
lyani
sdh menduga ada org dibalik max....nah siapakah?
lyani
ahhhh akhirnya setelah sekian lama terlihat
lyani
nahhhh betul
lyani
kesalahan Laura saat memegang perusahaan sepertinya Krn jebakan
lyani
hati2 dengan dokumen lau
lyani
max ini teman kecil Laura mgkn?
lyani
betul
lyani
ooooooooooo
lyani
max....mata2 ayah Laura kali.....maximal bener penasarannya dahhhhhhh
lyani
seila dan ibunya?
lyani
msh seribu tanya....
lyani
hidup si pilihan lau...
istri itu hrs patuh sama suami tp patuhnya atuh jangan kebangetan. diselidiki dl kek ntu suami
lyani
meninggalnya ortu Nic ada hubungannya dengan ortu Laura atau mungkin dengan Laura sendiri ngga si?
malangnya Laura
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!