--- **“Luna adalah anak angkat dari sebuah keluarga dermawan yang cukup terkenal di London. Meskipun hidup bersama keluarga kaya, Luna tetap harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sekolahnya sendiri. Ia memiliki kakak perempuan angkat bernama Bella, seorang artis internasional yang sedang menjalin hubungan dengan seorang pebisnis ternama. Suatu hari, tanpa diduga, Luna justru dijadikan *istri sementara* bagi kekasih Bella. Akankah Luna menemukan kebahagiaannya di tengah situasi yang rumit itu?”**
--- Cerita ini Murni karya Author tanpa Plagiat🌻 cerita ini hanya rekayasa tidak mengandung unsur kisah nyata🌻
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 14 tunggu aku pulang
Akhirnya mereka tiba di kantor milik Bryan. Begitu memasuki area lobi, asisten pribadinya, Jhon, segera menghampiri dengan langkah cepat.
“Tuan, ada kabar penting,” ucap Jhon dengan wajah serius. Bryan menatap asistennya sejenak, memahami bahwa situasinya mendesak. “Baik, kita bahas di ruanganku,” jawabnya tegas. Ia kemudian menoleh pada Luna, sorot matanya berubah lembut.
“Mia Cara, pulanglah lebih dulu. Sepertinya aku harus menangani urusan mendadak. Aku akan meminta pengawal pribadiku, Mark, untuk mengantarmu.” Luna tersenyum kecil, mencoba menenangkan suaminya. “Baiklah, tidak apa-apa, Mio Caro" Bryan mengusap lengan Luna pelan sebelum beranjak. “Aku akan menyusul secepatnya.”
Luna mengangguk dan melangkah menuju pintu keluar bersama Mark, sementara Bryan masuk ke lift bersama Jhon. Namun sebelum pintu tertutup, ia sempat menoleh sekilas, memastikan istrinya aman. Di dalam lift, wajah Bryan kembali dingin dan fokus. Apa pun kabar penting yang dibawa Jhon, ia tahu ini mungkin bukan masalah kecil—dan ia harus menyelesaikannya sebelum pulang kepada Luna.
"mari nona" sebelum memasuki mobil, Luna menatap gedung pencakar langit, ia melihat kearah jendela ruangan Bryan, mungkin Luna tidak bisa melihat dengan jelas kedalam ruangan dibalik jendela kaca besar itu. sebenarnya Luna masih ingin berlama lama namun dia tidak ingin egois, ia harus pulang sesuai perkataan Bryan.
***
“Ada pengkhianat di perusahaan ini, Tuan. Sebagian data perusahaan bocor ke tangan pesaing” lapor Jhon, suaranya terdengar hati-hati. Bryan yang sedang membaca laporan bulanan langsung menghentikan gerakan tangannya. Tatapannya berubah tajam, namun ekspresinya tetap terkontrol seperti seseorang yang terbiasa menghadapi badai tanpa kehilangan arah.
“Data apa yang bocor?” tanyanya, kali ini dengan nada dingin namun stabil. “Beberapa rencana proyek baru, Tuan"
"Ulangi,” ujar Bryan dengan nada rendah namun menyimpan ancaman. "Seluruh rencana proyek baru, Tuan. Termasuk detail investasi dan jadwal peluncuran, Tapi tim keamanan berhasil menghentikannya sebelum semuanya keluar. Kita masih aman.” jawab Jhon, menelan ludah.
Bryan mengangguk pelan, dia menatap dingin asistennya “Jadi hanya sebagian kecil,” gumamnya. “Perusahaan ini tidak akan goyah hanya karena satu orang tidak tahu diri.”
Ia menutup berkas di mejanya dengan gerakan tegas. “Cari semua informasinya, Jhon. Saya tidak peduli siapa pun dia karyawan lama atau baru selama ada bukti, seret ke ruangan saya, Secepatnya.”
“Baik, Tuan,” jawab Jhon.
Bryan bangkit dari kursinya, berjalan ke arah jendela besar kantornya. Ia menatap keluar pada gedung-gedung yang berdiri kokoh, seolah mencerminkan perusahaan yang telah ia bangun dari nol. “Kita sudah menghadapi hal yang lebih buruk bertahun-tahun lalu,” ucapnya tenang, meski nadanya tetap tajam. “Perusahaan ini tidak akan jatuh hanya karena satu pengkhianat. Pastikan tim menjaga semua sistem dalam mode siaga.”
“Sudah saya sampaikan, Tuan. Seluruh tim sedang memperkuat firewall dan memantau aktivitas mencurigakan.” “Bagus.” Bryan menarik napas dalam.
Jhon mengangguk. “Perusahaan tetap stabil, Tuan. Semua divisi berjalan normal.” Bryan mengangkat dagunya sedikit. “Dan pastikan akan terus begitu.”
Setelah Jhon keluar, Bryan bersandar di kursinya. Wajahnya masih serius, namun ada ketenangan yang menunjukkan bahwa ia mengendalikan keadaan. Badai boleh datang, tetapi ia selalu siap menghadapi.
Setelah Jhon pergi, Bryan berjalan menuju kursi nya dan bersandar. Wajahnya masih serius, namun pikirannya sudah tidak sepenuhnya berada di kantor. Ia menutup mata sejenak, mencoba meredakan ketegangan.
Namun tanpa ia sadari, bayangan seseorang langsung muncul di benaknya. *Luna.* “Tiba-tiba…” Bryan menghela napas pelan, “…kenapa aku malah memikirkan dia?Apakah wanita itu baik-baik saja? Sudah sampai rumah kah? Apakah dia baik baik saja atau malah terlalu lelah setelah hari panjang ini?
Meski perusahaannya sedang berada dalam situasi sensitif, pikirannya justru kembali pada istrinya, seolah Luna adalah tempat ia mencari ketenangan setelah hari yang penuh tekanan. Bryan membuka ponselnya. Jemarinya sempat ragu menekan layar, tapi akhirnya ia mengirim pesan singkat. *Sudah di rumah, Mia Cara?*
Ia menatap layar ponsel beberapa detik, menunggu. Ada sedikit rasa yang bahkan ia sendiri sulit jelaskan—bukan cemas, bukan pula takut… hanya untuk memastikan Luna baik-baik saja. Untuk pertama kalinya sore itu, ekspresi Bryan melunak.
.
.
.
Mobil yang ditumpangi Luna masih melaju menembus keramaian jalan. Di tengah suara mesin yang stabil, ponselnya berbunyi pelan menandakan sebuah notifikasi baru. Luna menunduk, lalu tersenyum begitu melihat nama pengirimnya suaminya.
*Aku masih dalam perjalanan, Caro,* begitu isi pesannya. Senyum Luna melembut. Jemarinya sempat berhenti di atas layar, seolah ingin menahan rasa hangat yang tiba-tiba memenuhi dadanya. Meskipun Bryan sedang sibuk dengan urusannya, pria itu tetap meluangkan waktu untuk mengabarkan keberadaannya. Luna merasa perhatiannya itu sederhana, namun sangat berarti.
Dengan hati-hati, ia mengetik balasan. Udara di dalam mobil terasa lebih hangat dibanding sebelumnya, seolah kehadiran Bryan menyertai perjalanan itu meski hanya lewat sebuah pesan singkat. Mobil mulai memperlambat laju ketika memasuki kawasan perumahan tempat tinggal mereka. Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya lembut ke wajah Luna, membuatnya terlihat semakin tenang.
Sebelum mobil benar-benar berhenti, ponsel Luna kembali berbunyi—pesan lain dari Bryan. *Aku akan menyusul. Tunggu aku di dalam, Mia Cara.* Luna menarik napas pelan, senyumnya tak bisa disembunyikan. Ada rasa aman yang menyelimuti dirinya setiap kali membaca kalimat dari pria itu.
*Aku akan menunggumu.*
Luna tersenyum setelah mengirim balasan itu. Ia kemudian memasukkan ponsel ke dalam tas kecilnya dan melangkah masuk ke dalam penthouse mewah milik Bryan.
Begitu pintu otomatis terbuka, aroma lembut dari diffuser beraroma bunga Gardenia menyambutnya. Ruangan itu luas, dengan jendela kaca setinggi langit-langit yang menampilkan panorama kota malam yang berkilauan. Namun kehangatan ruang itu tidak berasal dari kemewahan—melainkan dari kenyataan bahwa tempat ini adalah rumahnya bersama Bryan.
Luna melepas sepatunya perlahan, lalu menaruh tasnya di atas meja marmer kecil dekat pintu. Ia berjalan masuk, menyentuh permukaan sofa yang rapi, seolah memastikan dirinya benar-benar ada di sana. Lampu-lampu temaram memberikan suasana tenang, membuat hatinya terasa lebih nyaman.
Ia duduk di sofa besar yang menghadap langsung ke pemandangan kota. Tangan Luna meraih selimut tipis yang biasanya digunakan Bryan saat bekerja larut malam di ruang tengah. Ia menarik selimut itu ke pangkuannya, tanpa sadar tersenyum karena aromanya masih melekat—hangat dan familiar.
Ponselnya berbunyi lembut. Sebuah pesan masuk kembali dari Bryan. *Aku tidak akan lama, Mia Cara. Istirahatlah sebentar.*
Luna membaca pesan itu sambil memeluk selimut tipis tersebut.
ia memilih untuk tidak membalas. Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan rasa rindu yang lembut itu menyelimuti dirinya. Di luar, lampu-lampu kota berpendar, namun tidak ada pemandangan yang lebih ia nantikan selain melihat Bryan membuka pintu dan kembali padanya malam itu.
.
.
.
.
🌻🌻🌻🌻🌻