Namanya Kevin. Di usianya yang baru menginjak angka 20 tahun, dia harus mendapati kenyataan buruk dari keluarganya sendiri. Kevin dibuang, hanya karena kesalahan yang sebenarnya tidak dia lakukan.
Di tengah kepergiannya, melepas rasa sakit hati dan kecewa, takdir mempertemukan Kevin dengan seorang pria yang merubahnya menjadi lelaki hebat dan berkuasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rcancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hubungan Keluarga
Setelah urusan di kantor Hernandez selesai, Kevin pulang, dengan pikiran yang cukup berkecamuk. Sepanjang perjalanan, anak itu lebih banyak diam sembari memikirkan semua yang telah dia lalui sampai saat ini.
Kevin tidak menyangka, perjalanan hidupnya dipenuhi banyak kejutan tak terduga. Sempat terbesit dalam hati benak anak muda itu, betapa uniknya takdir yang dia lalui hingga detik ini.
Namun yang pasti, sejak hari itu, Kevin merasakan sesuatu yang tidak pernah dia rasakan sejak Nenek dan Kakeknya meninggal. Kevin merasakan hangatnya sebuah keluarga setelah takdir mempertemukannya dengan Hernandez.
"Nadira, lebih baik, kamu ajak Kevin untuk berbelanja," ucap Lavia, kala Kevin dan Nadira sedang berkumpul di ruangan tempat wanita itu dirawat. "Dia pasti membutuhkan banyak barang."
"Emang Papi belum ngasih jatah buat Kevin?" tanya Nadira yang saat itu sedang asyik menikmati buah apel.
"Sepertinya belum," jawab Lavia. "Mungkin nanti, pulang dari kantor."
"Ya udah," balas Nadira. "Ayo, Vin kita ke Mall. Daripada di rumah nggak ngapa-ngapain."
"Sana, Nak, main sama Nadira," titah Lavia.
"Baiklah," Kevin pasrah. "Aku ganti baju dulu." Anak itu lantas pamit. Begitu juga dengan Nadira.
Setelah dua anak muda itu keluar kamar, seseorang masuk ke ruangan tersebut.
"Sepertinya, Nyonya hari ini kelihatan sangat senang?" tanya sosok yang menjadi perawat pribadi Lavia.
Lavia lantas tersenyum. "Aku senang, karena sekarang, Nadira resmi memiliki saudara. Jadi anam itu tidak terlalu kesepian jika lagi di rumah."
"Semoga, Tuan Kevin juga bisa menjadi pelindung Nona Nadira, ya, Nyonya," sambung sang perawat. "Kasihan Nona Nadira, di usianya yang masih muda, malah sering sendirian. Jarang berkumpul dengan teman-temannya."
"Yah, aku juga merasa kasihan sama anakku," ujar Lavia. "Seandainya tidak ada yang mengusik ketenangan kami, mungkin Nadira akan sangat bebas menikmati hidup."
"Semoga saja, otak utama yang melakukan tindak kejahatan terhadap keluarga Nyonya, bisa cepat tertangkap. Benar-benar harus dihukum berat orang-orang seperti itu," sang perawat menjadi geram sendiri.
Lavia tersenyum. Dalam hati, dia juga berharap yang sama, seperti yang dikatakan si perawat.
Di sisi lain, beberapa menit kemudian, Kevin dan Nadira sudah siap untuk berangkat.
"Kamu sudah bisa mengemudikan mobil belum, Vin?" tanya saat mereka memasuki ruamh parkir mobil.
"Belum lah," balas Kevin. "Emang kita mau pergi pakai mobil?"
"Iya lah, kan nanti kita bawa banyak barang," jawab Nadira. "Kamu jangan khawatir, aku sudah mampu mengemudikan mobil dengan baik kok."
"Khawatir sih nggak," bantah Kevin. Keduanya lantas memasuki mobil yang akan mereka gunakan. "Nanti, kalau di sana, ada musuh Ayah kamu, bagaimana?"
"Ayah kita," Nadira langsung meralat ucapan Kevin, membuat pemuda itu, tertegun sejenak lalu dia tersenyum.
"Ya... intinya itu maksud saya," kilah Kevin. "Nanti kalau mereka lihat kamu, pasti kamu akan diburu kan?"
Nadira tersenyum sembari menyalakan mesin mobil. "Kan aku udah cerita, musuh Papi tuh belum mengenali wajahku. Orang Nenek Margita saja belum pernah melihatku, apa lagi orang lain?"
"Nenek Margita?"
"Ibu kandungnya Papi," balas Nadira. "Dia, kalau tahu Papi mengangkat anak, pasti bakalan murka banget."
"Emang kenapa? Kok Ibunya Papi, bisa sampai segitunya?"
Nadira tersenyum sinis dan dia mulai melajukan kendaraan yang dia gunakan. "Yang pasti, Nenek Margita tuh nggak mau, kalau hartanya Papi jatuh ke tangan orang lain. Dia merasa menjadi orang yang paling berhak atas semua harta Papi. Padahal di saat Papi susah, boro-boro dia mau bantu, peduli juga tidak."
Kevin mengangguk pelan dan samar. "Katanya, Papi dulu ditinggalkan Ibunya dipanti asuhan waktu masih kecil? Kok bisa mereka saling kenal? Apa selama di panti, mereka sering bertemu?"
"Tidak juga lah," jawab Nadira. "Katanya, Papi ketemu sama Nenek kembali, waktu aku masih dalam kandungan. Saat itu Papi sedang mengunjungi Panti asuhan, tempat Papi dibesarkan. Papi kaget saat melihat Nenek. Ternyata Papi masih mengenali wajah wanita yang membuangnya."
Kening Kevin berkerut. "Dipanti? Apa wanita itu, datang kesana untuk menemui Papi?"
"Awalnya Papi pikir begitu," jawab Nadira.
"Papi pikir, Nenek datang ke panti karena ingin bertemu dan meminta maaf. Tapi beberapa hari kemudian, Papi tak sengaja menemukan fakta kalau Nenek cuma iseng saat memastikan keadaan Papi. Setelah tahu Papi memiliki usaha yang maju Nenek beserta keluarga barunya mulai banyak drama. Kalau dengar ceritanya dari Mami, pokoknya ngeselin banget lah."
Kevin spontan tersenyum melihat tingkah Nadira. "Terus, sampai sekarang, mereka nggak pernah akur?"
"Nggak lah," balas Nadira. "Lagian, masa, anaknya Nenek dari suami barunya, minta jabatan Manager sedangkan sekolah menengah atas pun nggak sampai lulus. Nggak masuk akal banget kan? Kaya nggak ada malunya gitu."
"Hahaha... ngeselin banget sih itu," ucap Kevin. "Terus, apa mereka meminta jatah juga?"
"Pasti lah," jawab Nadira. "Meski sakit hati, Papi ngasih jatah tiap bulan sama Nenek. Sebenarnya Papi enggan melakukannya, tapi Mami yang maksa. Biar bagaimanapun Nenek adalah wanita yang telah melahirkan Papi."
Kevin kembali mengangguk beberapa kali. Tapi untuk kali ini dia tidak bersuara. Kevin kehabisan bahan yang bisa dijadikan pertanyaan.
"Gimana?" Ucap Nadira tiba-tiba. "Ternyata jadi orang kaya, tidak selamanya menyenangkan bukan?"
Kevin mengangguk setuju.
####
Sementara itu di tempat lain, wanita tua yang namanya sedang dibicarakan Kevin dan Nadira, sedang mengalami rasa terkejut yang luar biasa, setelah mendengar kabar dari anaknya.
"Hernandez memiliki anak laki-laki? Bagaimana bisa?" tanya perempuan yang akrab dipanggilan Margita. "Bukankah Hernandez hanya memiliki anak perempuan?"
"Yang aku tahu juga gitu, Mom," jawab sang anak yang akrab dipanggil Dorman. "Apa dia memiliki anak lain yang dirahasiakan?"
"Nah, pasti itu," balas wanita lain yang ada di sana. Dia adalah istrinya Dorman. "Jangan-jangan Hernandez memiliki selingkuhan, Mom?"
"Wahh, bisa jadi tuh," sahut suami Margita. "Pasti dia punya anak dari perempuan lain. Bukankah tadi anak buah kita laporan, kalau Hernandez sedang berbicara dengan pengacara di kantornya? Bisa jadi mereka sedang membicarakan harta Hernandez."
"Iya juga ya, Dad," sahut Dorman.
"Kurang ajar! Ini nggak bisa dibiarkan," geram Margita. "Aku nggak akan tinggal diam jika harta Hernandez jatuh ke tangan selingkuhannya."
"Ya udah, Mom, lebih baik kita cari tahu, wanita yang menjadi selingkuhan Hernandez," usul Clara, istri dari Dorman. "Kita bisa menggunakan wanita itu untuk mengancam Hernandez. Bayangkan saja, bagaimana kalau Lavia tahu Hernandez memiliki anak dari wanita lain."
"Wahh, ide bagus tuh," sahut Dorman. "Benar, apa yang dikatakan Clara, Mam. "Kita bisa ancam Hernandez. Aku yakin, Hernandez pasti tidak bisa berbuat apa-apa dan akan menuruti semua permintaan kita."
"Bagaimana kalau kita menggunakan awak media, untuk menyebarkan berita perselingkuhan Hernandez?" Usul Clara.
Seketika semua saling tatap satu sama lain, dan tak lama kemudian, senyum jahat mereka, terkembang satu persatu.