Hulya Millicent harus terjebak dalam obsesi cinta seorang bos mafia. Dia bahkan tidak tahu kalau dirinya telah dinikahi oleh sang mafia semenjak usianya baru 18 tahun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 : Dessert
...•••Selamat Membaca•••...
Hulya tertidur di atas tubuh tegap Marchel, mereka baru saja menonton televisi dan Marchel mendekap Hulya dengan penuh kasih sayang. Semenjak Hulya pergi, dia tidak pernah lagi bersantai seperti ini. Marchel tersenyum ketika mendengar dengkuran halus dari bibir Hulya, yang menandakan kalau dia tertidur pulas.
“Aku sadar, kata maaf saja tidak akan bisa menebus kesalahanku padamu Hulya, aku telah membunuh anak kita yang jelas tak bersalah, aku juga hampir membunuhmu, aku berharap jika suatu saat nanti atau tak lama lagi, kau bisa menerima diriku kembali, aku tidak sanggup berpisah darimu begitu lama,” gumam Marchel lalu mencium kepala Hulya.
Ponsel Marchel bergetar di dalam saku celananya, hal itu membuat Hulya terbangun.
“Shit,” umpat Marchel dalam hati karena membuat Hulya terbangun.
Hulya mengerjapkan mata lalu bangun dari tubuh Marchel, dia terlihat kaget.
“Maaf Marchel, aku ketiduran,” ucap Hulya lalu dia menutup mulut ketika menguap.
“Kalau kamu nyaman, ya tidur saja.”
“Tidak, aku akan ke dalam kamar, kamu istirahatlah.” Hulya berjalan menuju kamarnya, Marchel hanya memperhatikan Hulya dengan senyum getir.
“Padahal dulu aku bebas menyentuhmu kapan saja, tapi sekarang, satu kamar denganmu begitu mustahil,” jerit hati Marchel, dia duduk lalu menatap layar ponsel yang menandakan ada panggilan dari nomor tak dikenal.
Marchel mengangkatnya dan mendengar suara Tifani, Marchel langsung mematikan ponselnya dan berjalan ke kamar yang telah disediakan oleh Hulya, kamar itu berada di hadapan kamar Hulya.
Marchel membuka jas dan kemeja yang dia kenakan, lalu menaruhnya di atas sofa dan membaringkan tubuh dengan telanjang dada. Baru saja memejamkan mata, Marchel mendengar suara ketukan pintu di kamarnya, dengan cepat dia membuka pintu, menampakkan Hulya yang berdiri di depan kamar sambil membawa pakaian untuk Marchel.
“Aku membawa beberapa pakaianmu saat pergi, pakailah, aku tahu kalau kau tidak nyaman dengan pakaian formalmu itu.” Marchel tersenyum dan mengambil baju dari tangan Hulya.
“Terima kasih, ternyata kau masih menyimpan pakaianku.”
“Ya untuk melepas rindu saja, selamat malam Marchel.”
“Malam Hulya.”
Hulya kembali ke kamarnya, dia merasakan ngilu di bagian kepala dan seluruh tubuh. Sakitnya kembali kambuh, dia segera mencari obat pereda nyeri.
“Yah habis, aku lupa beli.” Hulya memakai cardigan rajut miliknya lalu keluar dari kamar, tujuan utamanya saat ini jelas ke apotik.
Hulya berjalan menuju pintu keluar dan Marchel ikut keluar kamar saat mendengar suara pintu kamar Hulya terbuka.
“Kamu mau ke mana?” tanya Marchel dengan wajah khawatir, Hulya tersenyum.
“Ke apotik, obatku habis.”
“Tunggu sebentar, aku akan menemanimu.” Marchel mencari kunci mobilnya dan menyusul Hulya.
“Ayo.”
Mereka berdua keluar dari apartemen dan pergi ke apotik yang biasa Hulya kunjungi selama di sana.
Dia keluar dari mobil dan membeli obat yang diperlukan, kepalanya masih terasa berat dan seluruh tulang di tubuhnya terasa ngilu.
Dari dalam mobil, Marchel bisa melihat gestur tak nyaman dari Hulya, sesekali perempuan itu meringis, memegangi kepala dan lengannya.
“Pasti tubuhnya terasa ngilu, dasar bodoh kau Marchel, kau sudah menyakiti dia sedemikian rupa, lihatlah bagaimana wanita yang kau cintai kesakitan,” gumam Marchel pada dirinya sendiri sambil menghapus air mata yang menetes di pipinya.
Hulya masuk ke dalam mobil membawa obat, dia memasang seatbelt lalu tersenyum pada Marchel.
“Apa mau aku pijat?” tawar Marchel pada Hulya.
“Tidak usah, minum obat ini nanti akan sembuh.” Hulya meminum obat yang barusan dia beli, Marchel mengusap kepala Hulya dengan lembut.
“Aku boleh minta sesuatu tidak?” tanya Hulya dengan tampang imut, seperti anak kecil yang mau minta permen pada orang tuanya.
“Tentu boleh, kamu mau apa?” tanya Marchel sembari mengusap pipi Hulya.
“Aku mau dessert matcha dan cokelat, apa kau mau membelikannya untukku?”
“Oke kita akan ke toko dessert.” Hulya bertepuk tangan kegirangan, dia seakan lupa diri ketika bersama dengan Marchel.
Marchel mengalihkan wajahnya dari Hulya dan mengusap air mata yang kembali menitik, padahal dia sudah berusaha menahan.
“Aku tidak kuat melihat senyumanmu ini Hulya, bayangan ketika aku menyiksamu kembali membuat aku resah. Bagaimana aku bisa kehilanganmu kalau begini? Kau masih bisa tersenyum dan bermanja padaku setelah apa yang telah aku lakukan padamu,” batin Marchel, menahan rasa sesak luar biasa di dadanya, dia mengusap kembali mata yang sudah merah karena menahan tangis.
Sesampainya di toko dessert, Marchel turun sendiri karena Hulya tidak mau turun, dia berjalan memasuki toko itu. Sebenarnya Hulya mengetahui kalau Marchel menangis, dia menumpahkan tangisnya ketika Marchel tidak ada.
“Papa benar, dia memang pria yang baik dan sangat menjagaku, tapi aku terlalu takut untuk menghadapi emosinya,” rintih Hulya, dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Marchel memasuki mobil dengan membawa 3 dessert yang Hulya mau.
“Kenapa belinya tiga? Kan aku pesannya dua.”
“Kamu kan suka tiramisu, makanya aku beli juga.”
“Makasih ya, kamu ingat ternyata.”
“Masihlah. Mau makan di sini atau di apartemen?”
“Apartemen saja, kalau di mobil nanti aku muntah pula.” Marchel terkekeh karena memang kebiasaan Hulya ketika ngemil di mobil, ya muntah.
“Kamu menangis?” tanya Marchel tiba-tiba, Hulya menatap Marchel dengan mata bengkak dan merah.
“Tidak, kenapa?”
“Mata kamu tidak bisa bohong, Hulya.”
“Iya aku nangis.”
“Kalau memang masih sakit, ayo kita ke rumah sakit, aku tidak mau kamu kenapa-napa, Hulya.”
“Aku nangis bukan karena sakit.”
“Lalu?”
“Karena tadi aku lihat kamu juga nangis.”
“Kenapa kau ikut menangis ketika melihat aku menangis?” tanya Marchel sembari menangkup wajah Hulya.
“Aku tidak tau, aku sedih saja melihat kau menangis begitu. Aku merindukanmu Marchel, ketika aku merasakan sakit atau nyeri, aku ingat padamu hiks.” Tangis Hulya pecah setelah mengungkapkan perasaannya, Marchel langsung memeluknya.
“Aku berpikir jika jauh darimu itu akan lebih baik, ketika aku sibuk, mungkin aku tidak ingat denganmu, tapi ketika aku merasa sakit dan sendiri, aku ingin kau datang dan aku bisa bermanja padamu,” ungkap Hulya lagi, Marchel memeluk erat wanita itu, dia juga merasakan hal yang sama selama ini.
“Sebodoh itu aku ternyata, melukai wanita sepertimu.”
“Aku selalu meyakinkan hatiku untuk berpaling darimu, semakin aku paksa, semakin aku menderita,” jelas Hulya lagi.
“Aku di sini, aku akan menemanimu Hulya, selama kondisimu belum sepenuhnya sembuh, aku akan di sini untukmu.” Hulya mengangguk, dia tidak bisa terus-terusan menahan ego.
“Jangan kasar lagi padaku ya, aku takut,” pinta Hulya yang dibalas anggukan oleh Marchel.
“Sekarang apa yang sakit?” tanya Marchel dengan lembut.
“Tidak ada, semua sudah sembuh.” Marchel tertawa lalu Hulya menggigit bahu Marchel dengan kuat.
“Aw sakit Hulya,” ringis Marchel.
“Kenapa kau ini selalu merusak suasana hah? Aku ini sedang bersedih dan kau malah menertawakan aku.”
“Oke maaf sayang, aku tidak bermaksud menertawakan kamu, oke oke maafkan aku.” Marchel kembali membawa Hulya dalam pelukannya.
“Marchel, gimana kalau malam ini kita main kembang api?” entah kenapa tiba-tiba ide itu muncul di kepala Hulya.
“Ide bagus, ayo kita beli.” Hulya mengangguk, mereka kini meluncur ke toko kembang api.
Marchel membawa Hulya ke tempat di mana mereka bisa bermain kembang api dengan leluasa.
Hulya melompat kegirangan saat melihat kembang api yang dibakar oleh Marchel berkilauan, dia tertawa dengan lepas begitu pula dengan Marchel.
Puas dengan kembang api, Hulya mengambil dessert di dalam mobil dan memakannya bersama Marchel. Marchel duduk di atas mobil dengan kaki terjulur keluar dan pintu mobil terbuka.
“Kamu mau?” tanya Hulya sambil mengulurkan dessert di tangannya ke arah Marchel.
“Sini,” titah Marchel pada Hulya, mantan istrinya itu mendekat lalu Marchel menarik Hulya ke pangkuannya hingga Hulya terduduk di atas paha Marchel.
Marchel mencolek dessert tersebut dengan telunjuknya dan menaruh di bibir Hulya, dengan cepat, Marchel menjilati dan memakan dessert tersebut dari bibir Hulya. Dia melumat bibir itu dengan lembut dan sangat mesra.
“Enak, manis,” puji Marchel dengan senyuman di wajah tampannya, Hulya terdiam, sentuhan bibir Marchel tadi begitu membuai.
Marchel kembali mencolek dessert itu dan kini mengoleskannya ke dagu Hulya, dia menjilat dan menghisap dagu itu.
Tatapan mereka kini bertemu, Hulya melakukan hal yang sama pada Marchel, dia mencolek dessert lalu menempelkannya di bibir Marchel.
Hulya melumat bibir Marchel dan mereka melakukan ciuman dengan intens kali ini. Ciuman yang menunjukkan rasa saling rindu, rindu yang terpendam walau hanya berpisah selama satu minggu.
...•••BERSAMBUNG•••...