NovelToon NovelToon
Menikah Dengan Dosen Killer

Menikah Dengan Dosen Killer

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Nikahmuda
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: santi puspita

Naya, gadis kaya raya yang terkenal dengan sikap bar-bar dan pembangkangnya, selalu berhasil membuat para dosen di kampus kewalahan. Hidupnya nyaris sempurna—dikelilingi kemewahan, teman-teman yang mendukung, dan kebebasan yang nyaris tak terbatas. Namun segalanya berubah ketika satu nama baru muncul di daftar dosennya: Alvan Pratama, M.Pd—dosen killer yang dikenal dingin, perfeksionis, dan anti kompromi.

Alvan baru beberapa minggu mengajar di kampus, namun reputasinya langsung menjulang: tidak bisa disogok nilai, galak, dan terkenal dengan prinsip ketat. Sayangnya, bagi Naya, Alvan lebih dari sekadar dosen killer. Ia adalah pria yang tiba-tiba dijodohkan dengannya oleh orang tua mereka karna sebuah kesepakatan masa lalu yang dibuat oleh kedua orang tua mereka.

Naya menolak. Alvan pun tak sudi. Tapi demi menjaga nama baik keluarga dan hutang budi masa lalu, keduanya dipaksa menikah dalam diam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6

Rumah Keluarga Alvan,Sore Hari

Rumah besar bergaya modern minimalis itu tampak sunyi seperti biasa. Dinding putih, rak buku berjejer rapi, dan aroma teh melati menyambut dari dapur.

Alvan baru saja pulang dari kampus. Langkahnya tenang, kemeja masih terpakai rapi, hanya lengan yang sedikit digulung. Ia menggantung tas kerja di gantungan dekat pintu, lalu berjalan menuju ruang tengah.

“Alvan, Ayah dan Ibu ingin bicara sebentar.”

Suara Bu Rina, ibunya, memanggil dari ruang duduk. Di sana, Pak Hermawan sudah duduk dengan segelas teh hangat di tangan. Suasana tampak serius, namun tidak tegang.

Alvan duduk dengan tenang, menatap kedua orang tuanya. “Ada apa?”

Pak Hermawan tidak langsung menjawab. Ia menatap istrinya sejenak, lalu berkata pelan, hati-hati.

“Kami bertemu lagi dengan orang tua Naya. Mereka masih berharap rencana perjodohan bisa dilanjutkan.”

Alvan mengerutkan alis, tapi tidak terlihat marah. Lebih ke... lelah.

“Perjodohan?” ulangnya datar.

Bu Rina menimpali, suaranya lembut namun menekan.

“Nak, kamu tahu kami tidak pernah memaksa. Tapi mereka datang dengan niat yang baik. Lagipula, kami melihat sendiri... gadis itu punya karakter".

Alvan menatap lurus ke depan. “Karakter keras kepala, mungkin maksud Ibu.”

Pak Hermawan tertawa pelan. “Tapi kamu juga bukan orang yang gampang ditundukkan, Van. Justru... kalian berdua mungkin bisa saling mengimbangi.”

Alvan berdiri, berjalan ke arah rak buku di sudut ruangan. Tangannya menyentuh punggung buku-buku, namun matanya kosong.

“Dia mahasiswa Alvan,” ucapnya tanpa menoleh. “Dan Alvan tidak nyaman melihat semua ini dibicarakan seolah Aku tidak punya pilihan.”

Bu Rina mendekat, berdiri di belakangnya. “Kami hanya ingin kamu punya pendamping yang bisa menjadi tempat kamu pulang. Dan... ayahnya, Pak Firman, orang yang kami percaya. Naya mungkin tidak sempurna, tapi mungkin justru itu yang kamu butuhkan.”

Alvan diam cukup lama sebelum akhirnya berbalik.

“Kalau saya tolak?”

Pak Hermawan menatapnya tenang. “Kami tetap menghargai. Tapi jangan putuskan dengan emosi. Kenali dulu. Mungkin kamu akan menemukan sesuatu yang belum pernah kamu lihat sebelumnya.”

Alvan hanya mengangguk kecil, lalu melangkah pergi ke kamarnya.

Namun sesaat sebelum menutup pintu, ia bergumam nyaris tak terdengar.

“Naya... bahkan nama itu masih terdengar seperti masalah.”

___

Sementara itu Ruang Kerja Pak Firman Malam Hari

Lampu meja menyala temaram. Di ruangan beraroma kayu cendana dan dokumen berjejer rapi, Pak Firman duduk sambil menulis sesuatu di laptop, sementara Bu Mita duduk di kursi sebelah, memainkan cangkir tehnya pelan.

“Ayahnya Alvan sudah bicara lagi hari ini,” ucap Pak Firman tanpa menoleh.

“Hmm...” sahut Bu Mita santai, “Dan seperti yang saya duga, mereka masih bersedia.”

Pak Firman mengangguk pelan. “Tapi... Naya masih keras kepala. Kita harus cari cara agar dia tidak hanya menurut, tapi juga merasa itu pilihannya sendiri.”

Bu Mita tersenyum tipis. Lalu meletakkan cangkirnya di meja kaca dengan bunyi ting pelan.

“Kalau begitu, biarkan dia merasa dunia luar tak lagi memihaknya.”

Pak Firman menatap istrinya, agak bingung. “Maksud kamu?”

“Beri tekanan. Perlahan. Tapi bukan langsung dari kita. Batasi aksesnya. Jauhkan dari teman-teman yang selalu membenarkannya. Buat dia merasa satu-satunya tempat aman itu… rumah dan kamu.”

Pak Firman menatap istrinya lebih tajam. “Kamu bicara seolah aku harus jebak anakku sendiri.”

Bu Mita tertawa pelan. “Saya hanya membantu menyiapkan jalan terbaik. Lagipula, Alvan itu pria luar biasa. Kalau Naya tidak mengambil kesempatan ini… dia akan kehilangan segalanya. Papa, kamu bilang sendiri kamu ingin anakmu punya masa depan pasti, kan?”

Pak Firman menghela napas, berat. Matanya menatap ke arah jendela ruang kerjanya, ke luar yang gelap dan sunyi. Tangannya mengepal perlahan di atas meja.

“Aku hanya ingin Naya punya hidup yang lebih tertata. Lebih... disiplin. Kalau aku biarkan dia bebas, dia akan terus tersesat.”

— Flashback: Tiga Tahun Lalu —

Malam. Jam dinding menunjukkan pukul 01.30 dini hari.

Pak Firman berdiri di ruang tamu dengan wajah tegang, sementara suara mobil terdengar memasuki garasi. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan muncullah Naya muda masih mengenakan dress pendek, rambut acak-acakan, dan aroma alkohol samar menguar dari tubuhnya.

“Papa?” Naya terkejut, langkahnya goyah.

“Dari mana kamu?” suara Pak Firman dalam dan dingin.

Naya hanya tertawa kecil. “Nonton... party ulang tahun temen. Nggak usah marah gitu, Pa. Aku kan udah besar.”

Pak Firman tidak menjawab. Hanya menatapnya tajam. Matanya membaca semuanya mata merah, lipstik berantakan, dan pesan-pesan aneh dari ponsel Naya yang sempat dilihatnya diam-diam.

Malam itu, Pak Firman tidak berkata banyak. Tapi di dalam hatinya, kepercayaan sebagai seorang ayah pecah seperti kaca.

 

— Flashback: Satu Tahun Lalu —

Sebuah foto dikirim oleh seorang kolega tanpa nama pengirim.

Di dalamnya, Naya terlihat tengah merokok elektrik di sebuah café malam, duduk dengan sekelompok teman-teman laki-laki dan perempuan, berpakaian bebas, tertawa keras.

Pak Firman duduk diam di ruang kerjanya, menatap foto itu dengan tangan bergetar.

Ia tidak menunjukkan apapun ke Naya. Tapi hatinya semakin yakin anaknya untuk sedikit keras kepada naya.

— Kembali ke Masa Kini —

Pak Firman memejamkan mata sejenak, menahan rasa lelah yang menumpuk bertahun-tahun. Suaranya kembali pelan, nyaris seperti gumaman.

“Dia terlalu mudah jatuh ke lingkungan yang salah. Terlalu cepat percaya dengan orang yang hanya ingin memanfaatkannya. Aku tidak bisa lagi diam dan berharap dia berubah sendiri.”

Bu Mita mendekat, pura-pura mengelus lengannya.

“Makanya... kita bantu arahkan dia, Pa. Dengan cara yang... halus.”

Pak Firman mengangguk pelan, meski hatinya tetap berat. Ia tahu Naya bukan anak kecil. Tapi ia juga tahu, kalau dibiarkan, putrinya yang keras kepala itu bisa hancur pelan-pelan tanpa sadar.

Dan satu-satunya cara yang ia tahu…

Adalah dengan memaksanya menikah dengan orang yang ia percayai lebih baik dari siapa pun yang pernah dekat dengan Naya.

___

Sebuah Kafe di Tengah Kota – Malam Hari

Musik akustik mengalun lembut dari sudut ruangan. Lampu-lampu gantung bergaya industrial menyala temaram, menciptakan suasana santai yang disukai anak muda kota. Aroma kopi dan rokok elektrik bercampur dengan tawa yang riuh.

Di salah satu sudut kafe, Naya duduk melingkar bersama enam orang lainnya. Tiga laki-laki, dua perempuan dan salah satunya adalah Sarah, sahabat lamanya dari kampus.

Naya mengenakan jaket kulit hitam, rambut diikat tinggi, dan sepatu sneakers yang mahal. Gelas mocktail setengah habis berada di depannya. Ia tertawa keras saat salah satu laki-laki melempar lelucon, meski matanya tak sepenuhnya bersinar bahagia.

“Gila, Nay. Lo masih aja glowing walaupun kuliah lo kayaknya lebih sering drama daripada skripsi,” celetuk Sarah sambil menyenggol lengannya.

Naya tertawa kecil. “Daripada hidup lo yang kayak sinetron religi tiap sorehilang dari kampus, muncul tiba-tiba, langsung update gosip.”

Sarah pura-pura tersinggung. “Eh gue tuh sibuk nyari cuan. Lo aja yang nggak nyari gue.”

Salah satu cowok menyela sambil menyeruput kopinya. “Lo tuh harus sering-sering ikut nongkrong lagi, Nay. Soalnya lo doang yang bisa ngimbangin Sarah kalau dia mulai ngegas.”

Naya hanya tersenyum. Tapi dalam hatinya...

senyumnya tak benar-benar sampai ke mata.

Ponselnya bergetar.

Pesan dari Papa:

> “Kamu di rumah, kan?”

Naya menatap pesan itu beberapa detik.

Lalu menjawab cepat,

> “Iya, Pa. Lagi belajar.”

Ia mengembuskan napas pelan. Bohong sudah jadi kebiasaan.

Sarah menatapnya, sedikit memperhatikan perubahan ekspresi Naya.

“Lo nggak capek, Nay? Bohong terus begini?”

Naya menoleh, tersenyum pahit.

“Kalau gue jujur, yang ada hidup gue makin dikekang. Kadang... pura-pura bahagia itu lebih gampang daripada hadapi kenyataan.”

Sarah mengangguk pelan. Ia mengerti, meski tak bisa menolong banyak.

Di luar kafe, malam berembus dingin.

Tak satu pun dari mereka tahu bahwa dunia Naya perlahan membentuk jebakan di sekelilingnya rumah yang mengatur, dan calon suami yang bahkan belum ia terima.

Sementara itu, di rumah, Pak Firman masih duduk di ruang kerjanya, membuka kembali laporan-laporan kerjatak pernah menyadari bahwa anak yang ingin ia “selamatkan” sedang menertawakan hidupnya sendiri di luar sana.

🍒🍒🍒

1
Reni Anjarwani
bagus bgt ceritanya doubel up thor
sanpus: heheh iya
total 1 replies
Reni Anjarwani
buat naya jatuh cinta pak dosen dan buat dia bahagia
sanpus: copy 😀
total 1 replies
Reni Anjarwani
lanjut thor
sanpus: siap🙏😅
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!